1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikSudan

Kedua Rival Perang di Sudan Sepakat Lindungi Warga Sipil

12 Mei 2023

Kedua faksi yang bertikai di Sudan berkomitmen menghormati prinsip kemanusiaan, namun menolak gencatan senjata. Dari lingkaran diplomat AS disebutkan, negosiasi damai sejauh ini berlangsung sangat alot.

https://p.dw.com/p/4RFNk
Pertempuran di Khartoum
Pertempuran di KhartoumFoto: Mohamed Nureldin/REUTERS

Deklarasi kepatuhan terhadap prinsip-prinsip humaniter ditandatangani perwakilan militer Sudan dan pasukan paramiliter RSF di kota pelabuhan Jeddah, Arab Saudi, Kamis (10/5). Di dalam deklarasi itu, kedua pihak sepakat untuk menghormati hak-hak warga sipil.

Selama sebulan sejak meletusnya perang di Sudan, tercatat sudah sebanyak 750 korban meninggal dunia, lebih dari 5.000 orang mengalami luka-luka dan hampir satu juta penduduk terpaksa mengungsi

"Kami sepakat bahwa kepentingan dan kemaslahatan penduduk Sudan adalah prioritas tertinggi dan menegaskan komitmen kami untuk menjamin bahwa semua warga sipil harus dilindungi setiap saat,” demikian bunyi deklarasi yang ditandatangani delegasi kiriman panglima militer, Abdel Fattah al-Burhan dan komandan tertinggi RSF, Mohamed Hamdan Daglo.

"Komitmen ini mencakup pembentukan koridor kemanusiaan agar warga sipil bisa meninggalkan wilayah perang secara sukarela, ke arah yang mereka pilih sendiri.”

Khartoum mother tells DW her story

Pemulihan kehidupan publik

Kesepakatan itu terutama membuka pintu bagi penyaluran bantuan kemanusiaan bagi warga sipil. Sebelum tercapainya kata sepakat tersebut, organisasi kemanusiaan asing di Sudan sering mengeluhkan terjadinya serangan dan penjarahan terhadap bahan bantuan.

Deklarasi juga mewajibkan kedua pihak menjamin pemulihan layanan publik, berupa restorasi jaringan listrik dan air bersih, serta menarik pasukannya masing-masing dari rumah sakit dan menghormati hak bagi "pemakaman yang terhormat” untuk korban yang tewas.

Amerika Serikat dan Arab Saudi, yang giat melakukan mediasi di Sudan mengatakan, kedua pihak sedang mempertimbangkan proposal gencatan senjata selama 10 hari. Jeda kemanusiaan itu diharapkan bisa membuka jalan bagi perundingan menuju damai yang berkelanjutan.

Diplomat AS juga mengabarkan, kedua pihak untuk pertama kalinya menyepakati kerangka kerja untuk memantau gencatan senjata. Namun begitu, perundingan diklaim berlangsung "sangat alot,” dan kedua pihak diakui kemungkinan punya maksud terselubung dalam pemantauan gencatan senjata.

Pengawasan Dewan HAM PBB

Meski militer dan RSF menyepakati deklarasi kemanusiaan, pertempuran dan penjarahan dikabarkan masih berlangsung di ibu kota Khartoum. Diplomat AS mewanti-wanti terhadap harapan berlebih pada perjanjian di Jeddah itu.

"Kesepakatan ini bukan gencatan senjata,” kata seorang diplomat kepada kantor berita AFP. "Ini adalah komitmen terhadap kewajiban mereka di bawah hukum kemanusiaan internasional,” imbuhnya, sembari menambahkan betapa posisi militer dan RSF masih "terpisah sangat jauh.”

Sementara itu, Dewan HAM PBB meloloskan mosi untuk memantau kejahatan kemanusiaan di Sudan, Kamis (11/5). Ironisnya, legislasi yang diusulkan AS dan Inggris itu tidak mendapat dukungan satu pun negara Afrika.

Dalam laporan Reuters, diplomat AS menyalahkan Arab Saudi yang dituduhkan melobi negara-negara Afrika untuk menolak mosi kejahatan kemanusiaan di Sudan. Negara-negara Arab juga menolak intervensi Dewan HAM PBB dengan dalih bisa membahayakan mediasi Arab Saudi di Sudan.

"Kenapa Anda memaksakan sesi ad hoc pada masa ini, terutama ketika tidak mendapat dukungan dari semua negara Afrika atau Arab?" tukas Duta Besar Sudan, Hassan Hamid Hassan.

rzn/as (afp,ap,rtr)