1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakAsia

Jina Mahsa Amini: Wajah Perlawanan di Iran

Dialika Neufeld (Spiegel)
8 Desember 2022

Kematian Jina Mahsa Amini menggerakkan protes massal terhadap kekuasan para mullah di Iran. Bersama anggota keluarga, DW Farsi dan mingguan Der Spiegel merekonstruksi ulang kehidupan perempuan muda itu.

https://p.dw.com/p/4KbGd
Protes demi Jina Mahsa Amini di Belanda
Plakat protes bergambar Jina Mahsa Amini di BelandaFoto: Peter Dejong/AP Photo/picture alliance

"Kami tidak mengira hari itu akan tiba, ketika mama menangis hingga tertidur di ranjangmu, ayah terduduk di pojok kamar sembari menahan tangis, dan aku tidak lagi mampu membuka kompartemen di dalam mobil karena takut melihat jilbabmu yang tertinggal di sana,” tulis Ashkan Amini, saudara laki-laki Jina Mahsa Amini, lewat akun Instagramnya pada 11 Oktober silam.

"Satu-satunya keinginanku saat ini adalah untuk bisa memelukmu...”

Pada Selasa akhir Oktober silam, 39 hari setelah kematiannya, Diako Aili, sepupu Jina, membuka album foto bersampul hitam di rumahnya di sebuah desa di dekat kota Bergen, Norwegia. "Ini dia, " kata dia, inilah Jina,” tuturnya menunjuk gambar seorang gadis kecil dengan celana bercorak bunga dan rambut hitam berkilat yang jatuh di pundaknya. 

"Mahsa,” kata Diako, "adalah bukan nama aslinya.” Tidak seorangpun di lingkaran keluarga atau teman yang memanggilnya dengan nama tersebut. Dia mendapat nama Persia untuk kemudahan birokrasi karena nama Kurdi sering tidak diterima untuk dokumen negara. 

Jina, begitu dia dipanggil dalam bahasa Kurdi, hidup di Saghes, sebuah kota Kurdi berpenduduk 140.000 di barat Iran, tidak jauh dari perbatasan Irak. Pada 13 September lalu dia ditahan polisi moral sebelum meninggal dunia dengan luka di kepala.

Anggota keluarganya ketakutan berbicara dengan wartawan. Sambungan telepon dan komunikasi disadap dan ancaman berdatangan tidak lama setelah kematian Jina. Sebabnya kehatian-hatian mendominasi jalannya pembicaraan antara Der Spiegel dan DW dengan keluarga. 

Mimpi dan harapan

Di depan sebuah butik fesyen di pusat Kota Saghes tergerai sebuah tirai besi yang tergembok rapat. Ia terlihat kontras dengan keriuhan di toko-toko sekitar. Ketika para pedagang perhiasan atau smartphone sibuk melayani pelanggan, toko milik Jina Amini diselimuti kegelapan.

"Best Boutique,” begitu ia dinamakan, baru dibuka pada pertengahan tahun. Setiap pagi dan petang, Jina selalu diantar oleh sang ayah atau saudara laki-lakinya, kisah anggota keluarga di Norwegia. Mereka hidup di sebuah rumah berlantai dua di Shahrak Daneshgah, kawasan kelas menengah di Saghes.

Kepadanya, Jina meminta untuk tetap membuka butik tersebut, kisah sang ayah, Amjad Amini, seorang pensiunan pegawai asuransi, lewat sambungan telepon. 

Pada saat Aliya Aili pulang ke Saghes dari Norwegia pada pertengahan 2022, sang bibi berulangkali mendapat peringatan dari keponakannya agar mengenakan jilbab sesuai ketentuan Syariah. "Mereka sangat ketat,” kata Jina kepadanya. Dia mengaku bisa memahami rasa takut perempuan Iran terhadap polisi moral atau aparat keamanan secara umum.

Aliya berusia 40 tahun. Dia meninggalkan Iran di usia 18 tahun pada awal 90an silam. Semua anak-anaknya lahir dan besar di Norwegia. Tapi ketika anak perempuan Aliya bisa "mengekspresikan apapun yang dia mau, berpakaian secara bebas atau menjadi siapapun yang dia mau,” Jina Amini tumbuh di dunia yang berbeda.

Baginya diwajibkan jilbab dan pakaian yang menutupi bentuk tubuh. Kecuali wajah, pergelangan tangan dan mata kaki, tidak ada bagian tubuh lain yang boleh dibiarkan terbuka. 

Menjemput kematian

Jina lahir pada 21 September 1999 dan sejak itu tiada hari terlewat tanpa senda gurau dengan kakeknya, Rahman Aili, yang dihubungi DW via telepon di Saghes.

Perempuan yang gemar berwisata itu menjalani hari terakhirnya untuk menggapai impian terbesar. Bersama keluarga, dia pergi ke Urmia untuk mendaftarkan diri di universitas lokal. Di sana, dia diterima untuk jurusan Biologi. 

Reporting on the Iran protests

Menjelang petang pada 13 September lalu, Jina dan dua sepupunya sedang berpelesir di kota, ketika mereka dihadang Gasht-e Ershad, polisi Syariah, di sebuah stasiun bawah tanah. Atas tuduhan melanggar "larangan berpakaian non-Islami,” Jina dibawa ke kantor polisi seorang diri.

Menurut sepupunya, Jina sempat berusaha melawan tindak penahanan, tapi diseret oleh aparat ke dalam mobil. Kedua sepupunya lalu menyusul ke kantor polisi. Dua jam kemudian, sejumlah perempuan yang berada di ruang tunggu berteriak "mereka membunuhnya!” Beberapa saat berselang, ambulans datang dan membawa Jina ke rumah sakit Kasra, di mana dia dinyatakan meninggal dunia.

"Saya yakin dia mendapat tidak kekerasan,” ujar kakeknya, Rahman Aili. 

Kepada DW, ayahnya, Amjad Amini, mengatakan betapa pelakunya harus mendapat hukuman setimpal. "Hari ini Mahsa dan besok mungkin perempuan lain,” timpal pamannya. 

Bibinya di Norwegia mengatakan Jina berulangkali mengungkapkan niat ingin meninggalkan Iran setelah lulus kuliah. Impian yang sama juga dimiliki banyak kaum muda Iran lainnya, yang kini turun ke jalan menuntut perubahan. "Jina terkasih, kamu tetap hidup. Namamu akan menjadi ikon,” bunyi tulisan di atas batu makamnya. (rzn/yf)

Laporan ini dibuat lewat kerja sama antara mingguan Jerman, Der Spiegel, dan Deutsche Welle Redaksi Farsi