1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJepang

Jepang: Menghormat Bukan Sekadar Membungkukkan Badan

25 Desember 2023

Walaupun samurai sudah tidak menguasai Jepang lagi, membungkukkan badan tetap menjadi tanda penghormatan. Itu juga sambutan dan meminta maaf, hormat dan pemujaan, dan ada banyak perbedaan kecil yang tidak terlalu jelas.

https://p.dw.com/p/4aUk9
Pelatih Hajime Moriyasu membungkukkan badan setelah gagal membawa tim menang di Piala Dunia Qatar 2022
Pose membungkukkan badan yang memiliki banyak arti di JepangFoto: Anne-Christine Poujoulat/AFP/Getty Images

Bagi orang Jepang, membungkukkan badan mereka lakukan setiap hari. Anak-anak melakukannya kepada guru, sambil mengatakan "ohayou gozaimasu" atau "selamat pagi" di awal setiap hari sekolah. Pertemuan bisnis juga tidak bisa dimulai sebelum orang membungkukkan tubuh secara formal.

Staf di toko, kondektur kereta api, pekerja hotel, tukang bersih-bersih, dan pengantar paket juga membungkukkan badan kepada orang-orang yang mereka layani. Itu bentuk sapaan yang sopan. Namun bagi orang Jepang, gerakan tubuh itu juga memberikan informasi, setiap variasi nuansanya berbeda dan menyampaikan pesan yang berbeda pula.

"Membungkukkan badan adalah bagian kunci penyapaan di Jepang," kata Kiyomoto Ogasawara, calon kepala sekolah etiket Ogasawara-ryu ke-32. Gerakan itu menunjukkan rasa percaya dan perdamaian, dengan menunjukkan kerentanan, karena kita menundukkan mata dan menunjukkan kepala, demikian dijelaskan Ogasawar. Keluarganya sudah menjadi pengajar bagi banyak generasi shogun atau penguasa di Jepang, sejak sekolah itu didirikan lebih dari 830 tahun lalu.

Memanah dan memahami etiket

Selain mengajarkan "reiho" atau etiket, para guru juga mengajarkan disiplin dalam memanah dan memanah sambil menunggang kuda. Itu menjadi kemahiran militer yang penting dan ritual keagamaan di kuil-kuli Shinto sejak zaman dahulu kala.

Walaupun memanah dan etiket tidak tampak saling berkaitan, Ogasawara mengatakan, mengikutsertakan etiket yang benar ke dalam kehidupan sehari-hari penting agar orang bisa memiliki kaki yang kuat dan postur tubuh yang baik sehingga dengan kedua tangan yang bebas, orang bisa menembakkan panah dari kuda yang sedang berlari.

Diperkirakan, membungkukkan badan menjadi cara menyapa yang diterima secara luas di masyarakat sejak masa Asuka, antara tahun 593 dan 710. Ketika itu agama Buddha mulai menyebar ke Jepang dari dataran Asia dan perubahan terjadi dalam hal tradisi kesenian, sosial, dan politik di Jepang.

Kaisar Naruhito dan istrinya, Kaisar Masako
Kaisar Naruhito dan istrinya, Kaisar Masako, membungkukkan badan di depan tugu peringatan korban gempa bumi dan tsunami saat upacara peringatan di TokyoFoto: Behrouz Mehri/REUTERS

Dalam keyakinan Buddha, membungkukkan badan hingga sekarang tetap menjadi tanda pemberian hormat dan kesalehan, yang kemudian diadopsi untuk menunjukkan hormat kepada masyarakat Jepang yang sangat hirarkis.

Sekarang, gerakan tubuh itu masih tanda menunjukkan hormat, tapi juga berlaku untuk mengucapkan selamat berpisah, di awal dan akhir pertemuan atau upacara, dan untuk menunjukkan terima kasih. Ini juga dilakukan sebagai permintaan maaf, jika meminta sesuatu dan menunjukkan simpati atau apresiasi. Ini dilakukan jika orang memuja sesuatu atau saat upacara formal, dan ini adalah elemen kritis dalam bela diri.

Dari tidak formal sampai sangat formal

Ada tiga tipe utama membungkukkan badan dalamdunia bisnis Jepang. Setiap gerakan berawal pada punggung yang tegak, kaki yang tegak, dan posisi tubuh yang tegak.

Ketika membungkukkan badan dari pinggang, orang harus menarik nafas. Dalam posisi itu orang juga kemudian menghembuskan nafas. Ketika sudah kembali menegakkan tubuh, orang bisa menarik nafas lagi.

"Eshaku" adalah tipe pemberian hormat yang tidak resmi. Misalnya antara orang berstatus sama, atau jika formalitas tidak terlalu penting. Untuk itu orang hanya perlu membungkuk sekitar 15° selama beberapa detik.

"Keirei" adalah tipe paling umum di dunia bisnis Jepang. Untuk itu orang membungkuk sekitar 30° dan melihat ke tanah dengan jarak sekitar satu meter dari kakinya. Ini digunakan untuk menyapa klien, ikut rapat, atau saat interaksi dengan atasan.

"Saikeirei" adalah indikasi rasa hormat yang mendalam. Untuk itu orang membungkukkan badan dari pinggang sekitar 70° selama beberapa detik untuk menunjukkan kejujuran. "Saikeirei" diberikan kepada orang yang sangat penting, misalnya anggota keluarga raja, untuk mengekspresikan penyesalan, atau meminta sesuatu yang penting.

Jika pria melakukan Saikeirei, maka kedua tangannya harus berada di samping kaki, sedangkan perempuan biasanya menumpukkan kedua tangan di depan tubuh.

"Zarei" adalah tipe membungkukkan tubuh saat duduk, biasanya di atas tikar tatami dalam acara tradisional, misalnya upacara minum teh atau turnamen dalam seni bela diri. Untuk itu orang harus duduk di atas kedua betis, dalam posisi berlutut. Tangan ditempatkan di atas kedua paha.

"Saikeirei" yang diberikan dalam posisi duduk berarti orang harus membungkuk ke depan sampai dadanya menyentuh pangkuan, dan wajahnya hanya berjarak sekitar lima sentimeter dari tanah.

Sedangkan "Futsurei" adalah variasi membungkuk saat duduk di tikar, tetapi tidak terlalu formal. Orang hanya membungkuk hingga kepalanya berjarak sekitar 30 sentimeter dari tanah.

Lain lagi tipe membungkukkan badan yang disebut "Dogeza". Untuk tipe ini, orang harus berada dalam posisi seperti merangkak, dan wajahnya menghadap ke tanah. Di zaman dulu, tipe ini digunakan jika seseorang memohon agar tidak dibunuh, misalnya setelah dianggap menghina orang lain yang lebih berkuasa.

Menghormat dengan benar sangat penting

Jika orang ingin menunjukkan hormat saat perpisahan, orang harus membungkuk dengan cara yang benar. Jika tidak melakukan dengan benar, tanda itu tidak akan dihargai. Dalam situasi bisnis dan pekerjaan, orang harus melakukan segalanya dengan benar karena itu jadi jaminan bagi keselarasan di tempat kerja. Demikian dijelaskan Matthew Strecher, profesor di bidang sastra Jepang di Universitas Sophia di Tokyo.

Kiyomoto Ogasawara mengatakan, generasi muda Jepang kurang mengerti perbedaan gerakan tubuh yang jadi bentuk terpenting komunikasi tanpa suara di Jepang. Biasanya tradisi itu memang diajarkan di rumah, tapi perbedaan satu tipe dengan lainnya juga bisa dipelajari, demikian ditambahkan Ogasawara. (ml/hp)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW? Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!