1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jaringan Baru 5G Bisa Persulit Prakiraan Cuaca ?

13 Februari 2020

Jaringan seluler 5G bisa mengganggu prakiraan cuaca di masa depan. Masalahnya, frekuensinya hampir sama dengan frekuensi yang digunakan satelit cuaca.

https://p.dw.com/p/3Xj2l
BdTD Satellitenbild Hurrikan Dorian an US-Küste
Foto: AFP/Rammb/Noaa/Ho

International Telecommunication Union (ITU) pada konferensi tahun 2019 memutuskan bahwa jaringan seluler yang baru, 5G, harus beroperasi di kisaran frekuensi 24,25 dan 27,5 GHz (Gigahertz). Di sinilah letak masalahnya. Pasalnya gelombang telefon seluler termodern ini hanya terpaut  lebar spektrum 0,25 GHz dengan spektrum uap air di atmosfer yang biasanya diukur satelit cuaca.

Kadar uap air di atmosfer –  yang berasal dari air yang menguap dan kemudian berubah menjadi uap atau gas, adalah salah satu data penting untuk meramalkan kondisi cuaca. Kalau uap atau gas itu mendingin, terbentuklah awan.

Analisa kondisi cuaca biasanya dilakukan dengan menggunakan sensor pasif. Sensor-sensor itu dapat mendeteksi sinyal gelombang mikro yang sangat lemah pada spektrum gelombang antara 23,6 GHz hingga 24 GHz.

"Pancaran frekuensi jaringan seluler itu pasti tidak berhenti tepat pada 24 GHz. Pasti ada luberan frekuensi karena setiap pemancar mentransmisi pada lebar gelombang tertentu, yang tidak terhindarkan akan berinterferensi dengan spektrum di bawahnya", kata Dr Clemens Simmer, profesor meteorologi di Universitas Bonn, Jerman

Selain itu radiasi uap air juga sangat lemah. "Kami mengukur perubahan energi amat kecil pada molekul uap air. Setiap gangguan atau cemaran pada sinyal, akan mempersulit pengukuran", papar Simmer lebih lanjut.

Satelit yang dioperasikan oleh Badan Antariksa Eropa (ESA) dan badan antariksa Amerika, NASA, ibaratnya membuat uap air ini kasat mata. Itu sangat penting bagi pakar meteorologi. Semakin akurat datanya, semakin presisi pula ahli meteorologi dapat meramalkan badai, angin topan, serta kapan dan di mana peristiwa cuaca itu akan terjadi. Namun jika data yang mereka dapatkan terkontaminasi, prediksi para ahli metorologi bisa salah atau melenceng sejauh ratusan kilometer.

Prof. Dr. Clemens Simmer, Bonn, Jerman
Dr Clemens Simmer, profesor meteorologi di Universitas Bonn, JermanFoto: Rheinische Friedrich-Wilhelms Universität Bonn

Pemancar kecil dengan efek besar

Satelit cuaca memiliki resolusi raster permukaan bumi antara 10 hingga 30 kilometer. Jika menara jaringan seluler atau perangkat seluler mengganggu frekuensi yang kritis, pengukuran data satelit cuaca untuk kawasan raster bersangkutan bisa tidak ada gunanya.

Masalah gangguan frekuensi mula-mula akan menjadi lebih parah di kawasan pusat kota dan daerah perumahan. Karene teknologi 5G juga akan menunjang beroperasinya kendaraan otonom, potensi gangguan terhadap satelit cuaca akan makin besar dan luas.

"Diyakini jaringan 5G akan diimplementasikan juga pada kapal laut dan pesawat terbang," kata Simmer. "Jadi gangguan lakan terasa di seluruh dunia."

Satelit cuaca vs.transmisi data supercepat

Organisasi Meteorologi Dunia WMO telah meminta agar kekuatan pemancar 5G dibatasi, sebagai upaya untuk meminimalkan risiko gangguan pengukuran data pada satelit cuaca, WMO mengusulkan agar menara seluler yang frekuensinya beroperasi berbatasan frekuensi satelit cuaca dikurangi dayanya hingga kurang dari 10 mikrowatt.

Namun para negosiator ITU pada konferensi internasional tahun 2019 yang dilaksanakan di Sharm el-Sheikh tidak menanggapi tuntutan WMO. Sebaliknya, mereka justru menetapkan batas  kekuatan sinyal hingga 1 milliwatt.  ITU mengatakan mereka baru akan mebuat aturan yang lebih ketat mulai tahun 2027, dengan membatasi daya untuk menara seluler dan perangkat penerima  seperti ponsel. (hp/as) 

Fabian Schmidt
Fabian Schmidt Editor redaksi sains yang berfokus pada teknologi dan inovasi.