1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Smartphone dan Depresi Pada Remaja

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
24 Juli 2018

Gangguan kejiwaan sama mengancamnya sebagaimana penyakit fisik. Salah satu faktornya adalah rasa terpinggirkan. Ponsel pintar jadi salah satu faktornya? Simak opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/2zgHG
Symbolbild Depression
Foto: Fotolia/LoloStock

Tiba-tiba saja perilaku D (19 tahun) berubah drastis. Dulu dia dikenal sebagai anak yang periang dan sering berkumpul dengan teman-temannya. Sudah dua hari D tidak masuk kuliah dengan alasan sakit.

Teman-temannya mulai khawatir dan mengengok D ke tempat kosnya. Di kamarnya, D tidur terus menerus dan kehilangan gairah hidup. Ia mengalami kesedihan mendalam dan enggan untuk melakukan kegiatan apapun, berat badan D juga berkurang drastis. Pada suatu ketika, teman D yang peduli datang sendiri dan bertanya tentang keadaannya.

Teman itu tidak memaksa D bercerita tentang mengapa D menjadi sedih berlarut-larut, temannya menyarankan D pergi ke dokter atau psikolog karena nampaknya D mengalami depresi. Dan sebagai teman yang baik, dia juga mau menemani D pergi ke dokter. Dia membantu mencarikan psikolog, menemani D dan mengajak D makan bersama sampai akhirnya D bercerita apa yang menyebabkan dia sedih berkepanjangan.

 Nadya Karima Melati : Essais dan pengamat masalah sosial.
Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: N. K. Melati

Apa yang dialami D adalah gejala dari depresi. Depresi adalah sebuah penyakit mental yang ditandai oleh sedih berkepanjangan dan terus menerus. Depresi bisa terjadi akibat perubahan kimia otak yang terpelatuk oleh sebuah peristiwa tertentu entah itu kematian seseorang, penerimaan lingkungan ataupun karena gangguan kepribadian tertentu seperti bipolar atau PTSD. Semua orang dari rentang umur muda, dewasa hingga tua rentan mengalami depresi dan depresi memiliki resiko untuk bunuh diri. Namun pada hari ini, kepedulian tentang kesehatan mental remaja mendapatkan posisinya di masyarakat sehingga cukup banyak kajian yang membahas soal depresi yang terjadi pada remaja.

Remaja hari ini yang dekat dengan penggunaan telpon pintar dan media sosial, dicurigai menyebabkan mereka mudah terkena depresi. Tapi apakah benar seperti itu?

Penyebab Depresi Anak Muda

Penyebab depresi beragam berdasarkan faktor personalmaupun lingkungan sosial. Faktor penyebab depresi bisa jadi masalah personal seperti gangguan kepribadian, masalah sosial seperti viktimisasi korban perkosaan ataupun ekonomi.

Seringkali penyebab depresi disalahpahami oleh media. Seringkali media salah memberitakan dan menganalisis penyebab depresi dan bunuh diri. Hal ini justru memperparah depresi dan kecenderungan bunuh diri juga menyebarkannya. Pemberitaan tentang bunuh diri oleh media pun harus dilakukan secara hati-hati karena rentan membuat orang lain menjadi terpicu untuk melakukannya.

Seperti ketika lagu fenomena booming lagu Gloomy Sunday pada tahun 1930-an, lagu ini dituduh sebagai penyebab bunuh diri yang tinggi di Hungaria dan negara-negara lain hingga pada dekade tersebut sehingga dilarang diputar di BBC. Ini adalah bentuk kesalahpahaman penyebab depresi, sebuah lagu dianggap bisa menyebabkan depresi dan itu adalah mitos. Padahal pada tahun tersebut, Eropa mengalami depresi ekonomi besar-besaran pasca perang dunia pertama sehingga banyak orang depresi, putus asa dan memutuskan untuk bunuh diri.

Pada hari ini, ketika komunikasi dan informasi berkembang pesat, kesadaran kesehatan mental tidak hanya ditujukan kepada orang dewasa saja. Remaja dan dewasa muda berusia 12 - 24 tahun rentan mengalami depresi yang berujung pada bunuh diri. Saya melakukan wawancara dengan Iqbal Maesa Febriawan seorang Digital Behavior & Mental Health Enthusiast yang tergabung dalam Into The Light Indonesia, menyatakan bahwa American Psychological Association (APA) telah melakukan sebuah studi epidemiologi skala global terkait depresi remaja dan menemukan bahwa populasi remaja yang mengalami depresi adalah sekitar 11%, namun demikian efeknya tidak bisa dibilang ringan karena 75% penderita depresi saat remaja berpotensi melakukan bunuh diri di usia dewasa. Dan kerentanan depresi yang terjadi pada anak muda harus dipandang secara holistik (bio-psiko-sosial).

Beberapa dugaan mengapa depresi pada remaja bisa terjadi seperti perkembangan bagian otak yang belum sempurna, kapasitas diri dalam menghadapi stres dalam kehidupan, maupun relasi interpersonal yang kurang memadai sebagai salah satu mekanisme meredakan stres.

Masalah sosial lain yang rentan memicu depresi pada remaja seperti penerimaan diri dan lingkungan. Remaja LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Interseks) sangat rentan mengalami depresi akibat maslaah penerimaan diri dan lingkungan. Begitu juga remaja yang pernah mengalami trauma tertentu seperti perkosaan atau kasus yang sekarang sering terjadi, revenge porn atau penyebaran konten porno dengan tujuan balas dendam oleh mantan pacar, tuntutan orangtua dalam pendidikan dan pekerjaan dan lainnya. Sering sekali bias generasi juga membuat analisis terjadinya depresi pada remaja hari ini menjadi salah kaprah. Generasi Millenial X, Y, Z yang lekat dengan penggunaan aplikasi dan ponsel pintar mendapat streotip generasi yang lemah karena tidak mengalami masa-masa seperti perang dunia, perang dingin atau masa konflik. Tanpa memahami masalah personal dan sosial remaja, orang luar khususnya orangtua sering kali menuduh ponsel pintar, gadget favorit remaja menjadi penyebab depresi dan gangguan sosial lainnya.

Plus-Minus Interaksi Gawai dalam Penanganan Depresi

Apakah benar ponsel pintar adalah penyebab depresi remaja? seperti yang telah dijabarkan di atas, depresi harus dianalisis secara holistik. Dan menuduh satu alasan tertentu seperti lagu sedih ataupun gadget sebagai penyebab depresi terlampau menyederhanakan masalah. Bagaimana ponsel pintar dan penanganan depresi sebenarnya? Menurut Iqbal lagi, penelitian-penelitian yang mengkaji teknologi dan masalah kesehatan mental belum menemukan jawaban yang konklusif. Kebanyakan studi justru menemukan hubungan positif antara penggunaan teknologi dan masalah kesehatan mental. Beberapa tidak menemukan data yang signifikan. Sebuah studi berjudul ‘Seeing Everyone Else's Highlight Reels: How Facebook Usage is Linked to Depressive Symptoms' yang dipublikasikan pada Journal of Social and Clinical Psychology, Universitas Houston. Peneliti Mai-Ly Steers menyatakan mengurangi penggunaan Facebook mampu membantu seseorang dalam mengatasi depresi.

Facebook sendiri bukanlah penyebab dari depresi namun media sosial seperti facebook membuat kita membandingkan hidup kita dengan teman-teman dan mengurangi paparan informasi di Facebook membuat remaja yang mengalami depresi tidak merasa buruk lagi. Salah seorang narasumber saya, F yang pernah mengalami depresi berat pada tahun 2017 berkata ia sempat menutup sementara semua akun media sosial sebagai bagian dari terapinya. Sekarang F merasa lebih baik dan merasa lebih mampu mengendalikan pikiran dan emosinya. Beristirahat sementara dari media sosial ditemukan efektif dalam meningkatkan kondisi kesehatan mental.

Gawai juga tidak selalu buruk dalam penanganan depresi. Beberapa studi malah memanfaatkan memanfaatkan aplikasi dalam ponsel pintar untuk mengajak remaja khususnya untuk berkontribusi aktif menangani masalah kesehatan mental melalui aplikasi dan media sosial, platform yang jangkauannya lebih luas dan lebih fasih digunakan daripada media penyuluhan. Selain itu, internet maupun aplikasi gawai juga dimanfaatkan untuk intervensi berupa konseling awam dan terapi klinis. Into The Light Indonesia adalah salah satu organisasi pencegahan bunuh diri pada remaja dan dewasa muda yang memberikan pemahaman kesadaran mentalremaja melalui internet dan media sosial dan organisasi ini berhasil memeberikan pemahaman kesadaran bahwa remaja juga rentan terkena depresi dan membantu untuk sintas bersama-sama melalui kelompok pendukung sebaya (peer support group).

Bantuan bila Mengalami Depresi

Penggunaan ponsel pintar dan remaja tidak berpengaruh secara langsung pada depresi remaja. Depresi yang tidak ditangani secara serius akan menjurus pada bunuh diri. Untuk itu kesadaran penanganan kesehatan mental dibutuhkan apabila kita atau teman kita mengalami gejala depresi seperti disebutkan di atas. Seringkali penderita gangguan mental menolak untuk pergi ke rumah sakit dan bantuan profesional karena stigma. Menderita penyakit mental tertentu dianggap lebay dan dicap sebagai ‘orang gila'. Padahal, rujukan informasi yang benar sangat dibutuhkan dalam penanganan penyakit mental dan self diagnosis tidak dibenarkan karena akan memperparah keadaan. Mendatangi kelompok pendukung sebaya (peer support group) membantu untuk menghalau stigma dan mengakses bantuan psikolog profesional di rumah sakit. Ini lebih baik daripada mendiagnosis diri sendiri melalui informasi di Internet.

Kelompok pendukung sebaya efektif membantu masalah kesehatan mental dan belajar menangani stres pada remaja secara bersama-sama. Penanganan yang tepat akan membantu penderita depresi untuk sintas.

@Nadyazura

Essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah...