1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hidup Karena Jargon, Mati Karena Jargon

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
5 Januari 2019

Politik merupakan dunia yang ditempeli jargon di sana-sini. Dan sulit menyalahkan semata para politikus untuk bergerlapannya tempelan di jagatnya. Perlukah jargon-jargon? Ikuti opini menarik Geger Riyanto berikut ini.

https://p.dw.com/p/3AcGH
Indonesien Präsidentschaftswahlen Joko Widodo
Foto: AFP/Getty Images

"Winter is coming." Anda tentu ingat kata-kata Jokowi yang disampaikannya dalam pembukaan Rapat Pleno Pertemuan IMF-Bank Dunia 2018. Jokowi nampak gagah menyampaikannya. Warganet menaburinya dengan pujian selepasnya. Ia melekatkan pada dirinya citra Ned Stark, Raja dari Utara di jagat Game of Throne, yang tengah mengingatkan dengan karismatik bahaya yang tak terbilang akan datang.

Namun, omong-omong, apakah yang persisnya dibicarakan Jokowi dalam pertemuan tersebut? Perang dagang? Kalau iya, ingatkah kita sebagai pemerhati awam dengan posisi Indonesia yang ditawarkan Jokowi dalam pidato tersebut.

Penulis:  Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Saya curiga, tidak.

Skor, Jokowi satu, masyarakat sipil yang kritis, nol

Sekarang jargon yang lebih kolosal lagi: revolusi mental. Pada hari-hari menjelang pemilu 2014, idiom revolusi mental mengiringi Jokowi ke mana-mana dan membumbungkan imajinasi orang-orang tentang bakal presiden kita tersebut. Bakal presiden kita itu terbalur dengan citra sang pendobrak karenanya. Ia akan mendobrak kemandekan negara, dan memenangkan politik kembali untuk warga Indonesia.

Hari ini? Tentu, kita menjadi saksi atraksi sang presiden yang dengan lincah mendirikan infrastruktur di sana-sini. Ia juga berdinas ke daerah satu dan daerah lain lebih sering dibandingkan presiden yang sudah-sudah dan menggugah masyarakat di daerah-daerah dengannya.

Akan tetapi, revolusi mental sudah menjadi idiom masa silam. Ia sudah menunaikan fungsinya dan masuk dalam tenggat kadaluwarsanya. Anda akan menemukannya dalam program-program pemerintahan, betul. Sayangnya, bukan program pemerintahan yang terbukti manjur merevolusi watak dan tabiat orang-orang. Situs revolusi mental sendiri, wajah paling depannya, bahkan, dalam tiga tahun hanya menghasilkan enam infografis dan 294 dukungan. Keleletan ini terjadi terlepas pengelolaannya sepanjang sembilan bulan terakhir mencapai Rp 450 juta.

Idiom yang menjadi urat nadi janji Jokowi mengatasi labirin berbelit-belit birokrasi tenggelam dalam labirin berbelit-belit birokrasi itu sendiri. Ironis. Dan Jokowi sendiri nampak tak pernah mengacuhkannya lagi.

Skor, Jokowi banyak, masyarakat sipil yang kritis, nol

Kita terus-menerus menyerukan bahwa kita seyogianya kritis dalam memeriksa para bakal pejabat kita. Mari kita cermati kemasukakalan, dampak dan keberpihakan dari rancangan kebijakan mereka, batin kita. Namun, selagi kita berusaha melakukannya, yang terus-menerus kita temukan adalah jargon-jargon membius.

Kita meyakinkan diri bahwa jargon yang tak kunjung habis membentengi mereka tersebut merupakan isyarat impotensi nalar mereka. Kendati demikian, percayalah, para bakal pejabat lebih cerdas dari yang kita duga. Dan maksud saya dengan lebih cerdas: lebih penuh siasat.

Mereka sadar siapa yang mereka hadapi dalam ajang pemilu, satu-satunya ajang yang berarti untuk mereka. Pakar hanya segelintir, warga awam membeludak. Kalau Anda adalah pakar, Anda tidak akan tampak di mata mereka dan mereka punya pembenaran untuk berpikir demikian.

Walhasil, tidak ada alasan buat mereka untuk berumit-rumit ria dengan data dan angka kecuali data dan angka survei yang mengisyaratkan peluang keterpilihan mereka.

Dan mereka pun sadar, mereka hidup karena jargon, mereka juga dapat mati karena jargon. Kritik yang paling mengancam Jokowi, katakanlah, bukanlah kritik yang komprehensif terhadap kebijakan dan manuver kekuasaannya. Kritik "pemimpin kalajengking," yang sempat bergaung di mana-mana, berpijak dari pidato Jokowi yang hanya mengangkat bisnis racun kalajengking sebagai guyonan.

Kritik "penista agama," katakanlah, yang menjatuhkan Gubernur DKI Jakarta petahana waktu itu bahkan bukan hanya beranjak dari selip lidah sang gubernur. Tak sedikit dari antara orang-orang yang menggebu-gebu menjatuhkan sang gubernur tak tahu asal-muasal peristiwanya, dan tergugah semata lantaran identitas "penista agama" yang keburu melekatinya.

Kita berharap jargon akan kehilangan tempatnya dalam jagat politik. Sayangnya, harapan semacam itu adalah harapan yang akan membuat kita kalah sangat banyak. Kalah telak.

@gegerriy

Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.