1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Situs Web Arab Pertama Bagi Orang Tua Penyandang Disabilitas

Claudia Mende
16 Januari 2020

Reem Al Farangi dari Gaza membuat situs web berbahasa Arab pertama bagi orang tua dari anak-anak disabilitas. "Habaybna" -yang tercinta- memberi informasi penting dan hubungkan orang tua dari berbagai penjuru dunia.

https://p.dw.com/p/3WHP2
Gaza | Reem Al Farangi
Foto: Claudia Mende

Reem Al Farangi pernah mengalami masa-masa yang suram. Ibu dari dua anak yang menderita autis itu pernah berada ‘di titik terendah‘ dalam hidupnya. Namun sekarang ia tampak berseri-seri dan penuh optimisme. Ia punya sesuatu yang berarti bagi banyak penyandang disabilitas di dunia. 

Berangkat dari  keprihatinan pribadi, perempuan Palestina yang berusia hampir kepala empat itu membangun web "Habaybna" (secara harfiah dapat diartikan: "orang yang kita cintai") - platform digital Arab pertama untuk orang tua dari anak-anak penyandang disabilitas.

Sejak tahun 2017, website Habaybna telah memberikan informasi penting tentang pengenalan dan terapi dini, dukungan keuangan,  upaya swadaya, peningkatan kesadaran,  dan kehidupan sehari-hari  terkait anak-anak disabilitas.

Mulai dari konten tentang  gangguan konsentrasi hingga sindrom down, kesulitan belajar hingga cerebral palsy (lumpuh otak), situs web ini mencakup spektrum luas menyangkut persoalan disabilitas.

Sekitar seribu video pendek di situs ini menawarkan saran berharga dalam bahasa yang mudah dipahami bagi mereka yang berbahasa Arab. Sejauh ini masih ada kebutuhan besar akan informasi yang dapat diandalkan di suatu wilayah, di mana perawatan terapeutik untuk para penyandang disabilitas belum tersedia secara menyeluruh.

Saat bom berhujanan

Habaybna adalah buah dari kepedihan Reem dan suaminya Mohammed,  di masa-masa sulit yang pernah mereka lalui. Mereka berdua berasal dari Gaza, jalur sempit antara Israel, Mesir, dan Mediterania, yang telah berulang kali dilanda konflik militer antara Israel dan Hamas.

Di Gaza itulah, setelah perjalanan nan panjang, mereka akhirnya menerima kepastian medis bahwa kedua putra mereka Amro dan Aboud - yang saat itu berusia empat dan enam tahun - menderita Autistic Spectrum Disorder.

Untuk jangka waktu yang lama, pasangan itu berpikir bahwa kondisi peranglah yang bertanggung jawab atas kesulitan yang dihadapi anak-anak mereka dalam membangun percakapan dan interaksi sosial. Pada akhir tahun 2008 dan awal 2009, bom Israel mulai berjatuhan di Gaza lagi, sebagai  balasan atas serangan roket yang dilakukan oleh kelompok Hamas.

Saat itu, bom juga berjatuhan di sekitar apartemen keluarga Al Farangi. Semenjak peristiwa itu, anak-anak mereka ‘membatu‘, kata Reem. Anak yang lebih kecil kecil dari kedua bocah itu berhenti berbicara sama sekali. Setelah bolak-balik pemeriksaan medis, dokter akhirnya menyampaikan diagnosis mereka pada tahun 2011. "Saya terkejut dan benar-benar bingung," kenangnya.

Laksana berada di terowongan yang gelap

Tidak ada terapi yang tersedia di Gaza untuk kedua anaknya. "Kala itu saya sedang dalam proses membangun studio fotografi untuk perempuan." Situasi itu memukulnya laksana hantaman di perut, ujarnya. "Pada saat itu, saya pikir hidup saya sudah berakhir dan anak-anak saya tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk berkembang."

Ia menambahkan: "Dunia tampak seperti terowongan gelap, dan ia tidak bisa keluar dari terowongan." Orang-orang di sekitar acuh tak acuh terhadap kondisi anak-anaknya. Taman kanak-kanak  menolak menerima bocah-bocah tersebut. Sementara tetangga mengalihkan pandangan mereka dan menghentikan anak-anak mereka bermain jika ada Aboud dan Amro. "Masih ada rasa malu dan stigma terhadap penyandang disabilitas di sini, bahkan sampai saat ini," kata Reem.

Di Gaza, masih ada juga kasus  penyandang disabilitas yang dikurung, papar Reem lebih lanjut. Dalam keputusasaan, Reem dan suaminya Mohammed mencari informasi penanganan anak autis di internet, tetapi tidak menemukan apa pun yang cocok dengan situasi mereka di Timur Tengah.

Pada tahun 2011, keluarga itu berhasil pindah ke Amman, ibu kota Yordania, untuk mendapatkan perawatan bagi anak-anak. Mereka mendapatkan izin tinggal di negara itu. Perawatan kesehatan relatif baik di Yordania, dan banyak orang dari negara-negara Arab lainnya pergi ke sana untuk perawatan medis. "Saya merasa seperti tokoh dongeng Alice di Negeri Ajaib."

Anak laki-lakinya ditempatkan di sekolah untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, di mana mereka merasa nyaman dan kebutuhan pribadi mereka terpenuhi. Reem menemukan kelompok orang tua di sekolah. "Pertukaran  pandangan dengan orang tua lain sangat membantu saya," katanya dengan tegas. "Mereka masih jadi jaringan saya, sampai hari ini."

Lalu ia muncul dengan gagasan untuk menghubungkan para orang tua yang berasal dari Gaza dan menyediakan informasi yang selama ini sulit mereka dapatkan. Dalam membangun jaringannya, ia memikirkan khususnya daerah yang dilanda krisis seperti Gaza, Libya, Yaman, Suriah, dan juga daerah pedesaan di Mesir atau Yordania, di mana orang tua dari anak-anak penyandang disabilitas  mengharapkan bantuan. Dia ‘membaptis‘ proyek websitenya dengan nama:  "Habaybna" - "Orang yang kita cintai" - sebuah nama yang dirancang untuk menunjukkan bahwa anak-anak ini dicintai sebagaimana adanya.

Pada bulan November 2017, dia memenangkan penghargaan yang diberikan oleh Bank Etihad di Yordania untuk proyeknya. Hadiahnya berupa uang yang dia gunakan untuk  menyewa kantor, memperluas situs web dan mempekerjakan dua orang lainnya. Berbekal gelar bisnisnya di Universitas Gaza, dia belajar bagaimana membangun start-up. Dia membuat konten-konten video bermanfaat untuk para orang tua yang membutuhkan informasi.

Penerimaan positif

Para pakar, orang tua dan terapis yang tampil di videonya mau berkontribusi tanpa bayaran. "Kami menyewa studio dan syuting di sana dari pagi hingga sore tanpa istirahat." Suaminya mendukungnya dan terutama bertanggung jawab dalam segi teknis organisasi. Reem sekarang juga melakukan sesi pelatihan untuk perusahaan telekomunikasi Yordania yang ingin menyekolahkan karyawannya dalam menangani penyandang disabilitas. Karena itu pendanaan "Habaybna"  terjamin untuk saat ini. UNICEF juga tertarik untuk bekerja sama dengan Reem.

Proyek ini beresonansi dengan sejumlah besar orang. "Saya mendapat banyak umpan balik positif dari orang tua, dari seluruh wilayah." Baru-baru ini, katanya, seorang ibu dari Mesir menulis kepadanya: putrinya yang berusia tiga tahun menderita kondisi langka yang disebut Sindrom Angelman (gangguan berupa kondisi  hiperaktif dan keterbatasan kognitif). Perempuan itu meminta bantuannya, karena dia merasa ditinggalkan. Reem mampu menghubungkan ibu dari anak itu dengan seorang wanita Yordania yang anaknya memiliki masalah serupa. "Mereka senang akhirnya bisa saling ‘curhat‘ dan bertukar saran."

Jaringan yang diperluas

Seorang ayah dari bocah laki-laki dengan autisme menulis di situs web itu: "'Habaybna' telah memberi saya informasi yang dapat dipercaya, yang membantu saya menghadapi berbagai fase kehidupan keluarga kami."

"Habaybna" tidak dapat membantu setiap kasus. Situs web tidak dapat menggantikan dokter, atau memberikan informasi komprehensif untuk kecacatan langka. Tetapi situs web ini dapat menghubungkan orang-orang dalam situasi yang sulit,memberi mereka petunjuk untuk membantu diri sendiri dan, dengan itu, membuahkan harapan baru.

Pada akhir bulan Oktober 2018, "Habaybna" menambahkan layanan lain. Dalam sesi pelatihan jarak jauh gratis, orang tua dapat mengajukan pertanyaan mereka kepada spesialis yang memberikan pelatihan sesuai keahlian mereka secara pro bono. "Untuk pertama kalinya, saya merasa bahwa saya tidak sendirian dalam perjalanan panjang ini dengan putra saya," kata Zeinah Zawahneh, ibu dari seorang anak laki-laki yang memiliki masalah cerebral palsy, setelah percakapannya dengan seorang spesialis. "Saya mendapat banyak tips untuk menangani tantangan sehari-hari dalam hidup bersama putraku. Saya jauh lebih percaya diri sekarang."

Tujuan paling penting dari proyek ini adalah untuk mempromosikan pendekatan yang lebih inklusif, dan penerimaan yang lebih besar terhadap para penyandang disabilitas.  "Habaybna" berfokus bukan pada kekurangan anak-anak, tetapi pada potensi individu mereka.

© Qantara.de 2020