1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Suara Jerman dari Gaza: Raga Selamat, Pikiran Tertinggal

7 Oktober 2024

Karena tak dapat meninggalkan Gaza pada awal perang Israel-Hamas, Abed Hassan menjadi “suara Jerman dari Gaza,” mendokumentasikan perang di media sosial. Kini di Berlin, ia bertanya-tanya apakah perang akan berakhir.

https://p.dw.com/p/4lTo8
Abed Hassan
Abed Hassan, seorang warga Jerman-Palestina yang tinggal di Berlin. Ia terjebak di Gaza selama lima minggu.Foto: DW

Di lingkungan Kreuzberg, Berlin, kehidupan berlangsung seperti biasa. Cuaca di bulan September dengan sedikit sinar matahari dan beberapa awan mendung. Tulisan "Free Gaza” dicat di dinding beberapa bangunan di Taman Viktoria, namun kebanyakan orang hanya berlalu tanpa terlalu memedulikannya.

Bagi Abed Hassan, perang di Gaza selalu ada.

Baru saja ada laporan tentang serangan udara Israel yang menghantam apa yang disebut sebagai "zona aman” di kamp pengungsi Al-Mawasi. Menurut Pasukan Pertahanan Israel (IDF), itu adalah serangan yang ditargetkan pada "teroris Hamas”. Kantor-kantor berita melaporkan puluhan korban jiwa, dan video-video di media sosial menunjukkan orang-orang menggali untuk menemukan harta benda mereka yang bisa diselamtkan.

Abed Hassan belum tahu apakah ada orang yang ia kenal yang menjadi korban, apakah itu teman, kenalan, atau anggota keluarga. Dua sepupunya mengirimkan kabar terbaru dari Gaza setiap kali ponsel mereka memiliki daya yang cukup dan dapat digunakan.

"Saya merasa lumpuh,” katanya kepada DW. "Kematian, kematian, kematian setiap hari. Sesekali, teman, seseorang yang  dikenal. Dan semuanya hancur. Hal ini berdampak pada diri kita,” tambahnya.

Abed Hassan | Deutsch-Palästinenser
Abed Hassan mengunggah foto ini di akun Instagram-nya dan menerima 25.000 likesFoto: Privat

Di Berlin, Hassan merasa aman namun juga tak berdaya. Sementara masih banyak yang berada di tempat  yang sama seperti Abed Hassan setahun yang lalu: di tengah perang di Gaza, yang dipicu oleh serangan teror Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.

Israel mulai menyerang daerah kantong pesisir tersebut pada hari yang sama membalas serbuan Hamas, yang oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Jerman, dan negara-negara lain telah ditetapkan sebagai organisasi teroris. Serangan darat  militer Israel segera menyusul kemudian. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 41.000 warga Palestina telah terbunuh dalam perang tersebut, dan sebagian besar wilayah Jalur Gaza menjadi reruntuhan.

Abed Hassan, the 'German voice from Gaza'

'Suara Jerman dari Gaza' di Instagram

Hassan berada di sana. Dia menyaksikan bom demi bom berjatuhan dengan matanya sendiri. Ia juga turut menarik orang-orang dari reruntuhan dan berlari menyelamatkan diri.

Pada awal Oktober 2023, ia dan ibunya pergi ke Gaza untuk mengunjungi anggota keluarga. Ayahnya telah membeli sebuah apartemen di Kota Gaza. Ketika Hassan sedang merenovasi apartemen tersebut, tiba-tiba ia terjebak di tengah-tengah perang.

Israel dan juga Mesir, telah menutup jalur perbatasan. Hassan terjebak di Gaza selama lima minggu.

Dia mengabadikan apa yang dialaminya dengan kamera ponselnya dan membagikan klip-klip tersebut di Instagram. Tak lama kemudian, ia memiliki lebih dari 80.000 pengikut dan menjadi populer sebagai "German voice from Gaza.

Blokade Gaza juga berarti bahwa wartawan asing tidak dapat memasuki zona perang. Hal ini masih terjadi hingga hari ini.

Namun, Hassan ada di sana dan berbicara dalam bahasa Jerman dalam videonya.

"Ke mana pun kita pergi, bom-bom itu mengikuti kita seperti kutukan,” katanya dalam sebuah video pada 8 Oktober 2023. Tangis, ketakutan, serta keputusasaan terlihat jelas di matanya.

"Saya baru saja menarik seorang perempuan keluar (dari reruntuhan). Dia masih bernapas. Dia masih bernapas!” katanya.

Ia terus mengunggah foto-foto Kota Gaza yang berantakan dan bertanya-tanya kapan rumahnya akan dihantam.

"Saya sebenarnya sudah menduganya hampir setiap hari,” katanya kepada DW. "Ketika saya pergi tidur, saya diam-diam mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang dan berpikir bahwa hal itu bisa terjadi kapan saja.”

Kembali ke Berlin, tapi terjebak di Gaza

Berkat paspor Jerman yang dimilikinya, ia dan ibunya bisa keluar dari Gaza setelah 34 hari. Pada November 2023, ia masuk dalam daftar Kementerian Luar Negeri Jerman dan diizinkan untuk pergi ke Mesir melalui perbatasan Rafah. Setelah tiba kembali di Berlin, ia merasa raganya telah kembali ke Jerman, tetapi pikirannya masih berada di Gaza.

Ia masih merasa bersalah. Apa yang akan dipikirkan oleh kerabatnya jika mereka melihat betapa "normalnya” kehidupannya di Berlin? Bagaimana jika ia tidak mencoba segala yang ia bisa untuk mengakhiri perang yang mengerikan ini?

Dia mulai memberikan wawancara dan tampil di acara bincang-bincang dan program berita Jerman. Ia juga berbagi panggung dengan seorang penyintas pembantaian di festival musik Supernova di Israel pada tanggal 7 Oktober 2023.

"Sangat penting bagi saya,” katanya, ”untuk berbicara dengan orang-orang yang berada di pihak yang berlawanan karena saya tidak memiliki pikiran rasis atau kebencian dalam diri saya.”

Abed Hassan | Deutsch-Palästinenser
Abed Hassan menjadikan keiatan sepeda sebagai terapi sekaligus cara untuk mengumpulkan dana bagi rumah sakit di GazaFoto: Privat

Bersepeda dari Jerman ke Timur Tengah

Bersepeda menjadi bentuk terapi baginya, di mana ia bisa mengayuh sepeda dan fokus pada jalan di depannya. Pada bulan April, ia memulai tur bersepeda ke Gaza, bersepeda melalui Austria, Slovenia, Kroasia dan akhirnya sampai ke Bosnia.

Di sana, ia berbicara dengan para penyintas pembantaian Srebrenica, pembantaian massal yang menewaskan 8.000 orang selama Perang Bosnia. Dia merasakan persahabatan dengan orang-orang di Bosnia, yang beragama Islam seperti dirinya dan, seperti yang dia lihat, selamat dari genosida seperti dirinya.

Istilah genosida menjadi topik yang kontroversial  sehubungan dengan perang Israel-Hamas di Gaza. Afrika Selatan mengajukan gugatan terhadap Israel ke Mahkamah Internasional, dengan mengatakan bahwa Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza. Israel telah menolak tuduhan tersebut.

Dari Bosnia, ia bersepeda menuju Turki dan akhirnya terbang ke Yordania. Ia mendokumentasikan perjalanan bersepedanya, dan membagikannya dengan para pengikutnya di Instagram, mengumpulkan donasi untuk rumah sakit  di Gaza.

Namun perjalanannya berakhir di perbatasan Tepi Barat yang diduduki Israel. Hassan, yang memiliki paspor Palestina dan paspor Jerman, ditolak oleh tentara Israel.

"Meskipun saya memiliki paspor Jerman, Israel menolak kami masuk,” katanya kepada DW. Hal itu membuatnya marah dan sedih.

Ia merekam sebuah video yang dimaksudkan untuk menjelaskan situasi warga Palestina di bawah pendudukan Israel. Setelah itu, ia hanya menangis.

"Yerusalem, Masjid Al-Aqsa, tempat bersejarah, tempat penting yang saya rindukan sepanjang hidup saya, tetap menjadi tempat yang mungkin tidak akan bisa saya masuki sebelum saya mati,” katanya dalam video tersebut.

Israelischer Luftangriff in Gaza-Stadt
PBB memperkirakan lebih dari separuh bangunan dan infrastruktur di Gaza rusakFoto: Fatima Shbair/AP/picture alliance

Warga Palestina di Jerman

Sejarah keluarga Abed Hassan diwarnai dengan pengungsian. Kakek dan neneknya berasal dari desa yang menjadi bagian dari Israel ketika negara itu didirikan pada tahun 1948. Orang tuanya dibesarkan di kamp-kamp pengungsi di Gaza.

Ia lahir dan dibesarkan di Berlin, namun baru mendapatkan kewarganegaraan Jerman pada usia 16 tahun. Jerman, seperti halnya Amerika Serikat, tidak mengakui negara Palestina, tidak seperti mayoritas negara anggota PBB.

"Jika saya harus menyebutkan kewarganegaraan saya dan saya mengatakan Palestina, mereka akan mengatakan: 'Palestina tidak ada. Anda tidak memiliki kewarganegaraan'. Hal ini membuat Anda bertanya-tanya siapa saya, dari mana saya berasal, dan di mana asal-usul saya.”

Ketika berusia 14 tahun, orang tuanya membawanya ke Gaza untuk pertama kalinya. "Itu sangat mengejutkan,” kenangnya. "Di sana sangat, sangat ramai. Ketika saya membuka keran air, airnya terasa asin, dan tidak ada listrik untuk mengisi daya ponsel saya.”

Namun kemudian ia mulai bertemu dengan teman-teman dan tetangga orang tuanya, yang menyiapkan pesta untuk keluarga dari Jerman sebagai makan malam penyambutan. Beberapa orang harus berhutang untuk itu. Mereka lebih ramah daripada semua orang yang ia kenal di Berlin.

Setelah liburan musim panas selama enam minggu, ia merasa lebih betah di Gaza daripada di Jerman.

"Saya adalah orang Berlin seperti warga Berlin lainnya. Namun demikian, selalu ada perasaan semacam rasisme laten: Anda tidak pantas berada di sini,” katanya. Hari ini, ia merasakannya lebih dari sebelumnya.

Gazastreifen | Geflüchtete in Rafah
Menurut PBB, 90% orang di Gaza mengungsi karena konflik Israel-HamasFoto: Abed Zagout/Anadolu/picture alliance

Perang di Gaza telah berlangsung selama satu tahun, tetapi Hassan percaya bahwa "Kita tidak bisa melawan kekerasan dengan kekerasan.”

Jerman terus mendukung Israel, sebagian besar tanpa kritik. Jerman terus memasok senjata ke Israel dan tanpa pandang bulu menyebut para demonstran pro-Palestina sebagai antisemit. Setidaknya begitulah pandangan Hassan terhadap negara tempat ia dilahirkan.

"Saya merasa bahwa perspektif Palestina tidak ada di Jerman, bahwa apa pun yang saya katakan, apa pun yang saya derita, apa pun yang terjadi pada kami, saya diberitahu bahwa 'tetapi Israel adalah negara demokrasi, tetapi Israel adalah negara konstitusional. Tidak bagi kami. Apa yang terjadi pada kami, rakyat Palestina, tidaklah adil dan tidak demokratis. Dan jika saya mengatakan itu sendirian, saya takut dikucilkan dari masyarakat.”

Hassan masih ingin berdialog dengan orang-orang dan menjelaskan perspektif Palestina. Ia berharap perang di Gaza berakhir dan akan masa depan yang lebih damai. Namun, ia merasa hal ini semakin sulit terwujud.

"Kita sampai pada keadaan di mana tidak bisa lagi merasakan, di mana hati menjadi keras.”

Artikel ini diterbitkan dalam bahasa Jerman.