1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dilanda Krisis, Filipina Siapkan Miliaran untuk Pertanian

Ana P. Santos (Manila)
27 Agustus 2022

Dengan perubahan iklim yang mengancam ketahanan pangan, pemerintah Filipina berupaya meningkatkan produksi pertanian sebagai salah satu prioritas utamanya. Namun, langkah ini mungkin tak cukup mencegah krisis pertanian.

https://p.dw.com/p/4G4RA
Seorang petani di provinsi Isabela, Filipina
Cuaca ekstrem kerap kali merusak lahan pertanian di FilipinaFoto: Villamor Visaya/AFP/Getty Images

Pemerintah Filipina akan mengalokasikan lebih banyak uang untuk memerangi krisis pertanian, dengan meningkatkan anggaran 40% dibanding tahun 2021. Sekitar €3,3 miliar (Rp48,7 triliun) akan digelontorkan untuk pertanian, yang telah ditetapkan sebagai salah satu dari lima prioritas anggaran utama pemerintah, di samping pendidikan, infrastruktur , bidang kesehatan, dan perlindungan sosial.

Presiden Ferdinand Marcos Jr. bertujuan untuk mengubah pertanian "dari menjadi penghambat ekonomi menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan dan lapangan kerja," kata para pejabat dalam sebuah pernyataan.

Memerangi krisis iklim adalah kunci

Ekonom Jan Carlo Punongbayan mengatakan kepada DW bahwa cara membantu pertanian adalah dengan memerangi krisis iklim.

"Kecuali pemerintah mengedepankan mitigasi dan manajemen perubahan iklim, pertanian akan terus lesu dalam beberapa dekade mendatang," kata Punongbayan.

Terletak di kawasan Cincin Api Pasifik, Filipina adalah salah satu negara yang paling terkena dampak perubahan iklim di dunia. Negara ini dilanda rata-rata 20 topan setiap tahunnya. Menurut data pemerintah, hasil pertanian tahun lalu menyusut sekitar 2,6% setelah anjloknya hasil panen yang disebabkan oleh kondisi cuaca buruk.

Hasil panen 'benar-benar hanyut'

Ahli lingkungan Ryan Bestre mengatakan kepada DW bahwa petani di Filipina tidak mendapatkan dukungan pemerintah yang memadai dalam bentuk subsidi dan asuransi untuk pulih dari bencana alam.

"Panen mereka dan semua yang telah mereka kerjakan dengan susah payah benar-benar hanyut. Sebelum mereka bahkan dapat pulih, topan lain datang," kata Bestre.

Dia merupakan aktivis sekaligus pendiri I Am Hampas Lupa, sebuah organisasi yang mengadvokasi peningkatan status pertanian dengan mengatasi hubungan antara pertanian hingga perubahan iklim.

"Petani kami, di antara masyarakat termiskin, adalah yang terus-menerus didera dampak perubahan iklim," kata Bestre.

Menurut Indeks Risiko Iklim, Filipina adalah negara kelima yang paling terdampak oleh perubahan iklim, tetapi hanya menyumbang sekitar 0,3% dari emisi global.

Aktivis mendorong keadilan iklim

Bestre dan aktivis lingkungan lainnya menyerukan "keadilan iklim" dan menuntut akuntabilitas dari perusahaan besar yang bertanggung jawab atas perubahan iklim.

"Keadilan iklim adalah ketika orang Filipina dan komunitas lain yang terkena dampak iklim di seluruh dunia dilindungi undang-undang dan perusahaan yang bertanggung jawab atas perubahan iklim dimintai pertanggungjawabannya,” kata Virginia Benosa-Llorin, dari Greenpeace Filipina.

"Orang Filipina berada di garis depan darurat iklim," katanya.

Pada bulan Mei, Komisi Hak Asasi Manusia (CHR) merilis laporan Penyelidikan Nasional tentang perubahan iklim. Dalam laporan tersebut, mereka menyerukan pemberlakuan undang-undang untuk mengekang perusahaan dan bisnis dari melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

"Dampak perubahan iklim bersifat lintas sektoral dan hak asasi manusia secara keseluruhan, seperti hak untuk hidup, kesehatan, air, sanitasi, pendidikan, dan lingkungan yang sehat,” kata Roberto Cadiz, mantan Komisaris CHR yang mengepalai penyelidikan.

"Isu perubahan iklim juga merupakan masalah keadilan iklim, di mana mereka yang berkontribusi paling sedikit terkena dampaknya," kata Cadiz kepada DW.

Banyaknya petani yang sudah lanjut usia

Rata-rata petani Filipina berusia 57-59 tahun. Tahun lalu, Departemen Pertanian memperingatkan bahwa penurunan lapangan kerja di sektor pertanian dikombinasikan dengan petani yang sudah lanjut usia akan berkontribusi pada kekurangan petani yang kritis hanya dalam 12 tahun. Namun, ada juga kelompok pemuda yang ingin mengubah citra bertani agar tidak tampak hanya untuk orang tua dan orang miskin.

"Krisis iklim adalah krisis yang menentukan generasi kita," Antonio Flores, dari Farm Lab, mengatakan kepada DW.

LSM Flores bekerja dengan petani untuk menerapkan teknik yang tidak terlalu merusak lingkungan. "Pertanian dan komunitas pertanian kita akan menjadi yang paling terpukul, tetapi juga memiliki potensi besar untuk meregenerasi bumi,” kata Flores.

Generasi muda menanamkan harapan di bidang pertanian

Aktivis seperti Norhaya Vasquez Demacaling fokus pada mendidik generasi yang mereka sebut wirausahawan pertanian, yakni petani Filipina jenis baru.

Anggota penjaga pantai Filipina mengambil makanan dari truk di daerah banjir
Badai tropis terbaru yang melanda Filipina adalah Ma-onFoto: Philippine Coast Guard/AP Photo/picture alliance

Demacaling adalah Direktur Kampus untuk School for Experiential and Entrepreneurial Development, yang bertujuan untuk melatih ribuan siswa di tiga lokasi di seluruh Filipina pada tahun 2024.

Pria berusia 29 tahun itu mengatakan kepada DW bahwa perubahan iklim telah berdampak pada keberlanjutan pertanian sebagai pekerjaan, menghindari karier yang berhubungan dengan pertanian karena mereka melihatnya sebagai tiket satu arah menuju kemiskinan," kata Demacaling.

Data pemerintah menunjukkan bahwa pada 2018 jumlah orang Filipina yang bekerja di sektor pertanian turun menjadi 9,9 juta, angka terendah sejak 1995. Filipina adalah rumah bagi sekitar 110 juta orang.

"Melalui agri-entrepreneurship, kita bisa membuat pertanian menjadi menyenangkan, seksi, menggairahkan, dan menguntungkan,” kata Demacaling.

(ha/hp)