1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiTurki

Deportasi Tanpa Kepastian Bayangi Pengungsi Suriah di Turki

Diana Hodali
4 Juli 2024

Meski terdapat kritik internasional, Turki tetap mendeportasi pengungsi Suriah ke negara asalnya. Organisasi HAM mengkritik situasi tidak aman dan memperingatkan konsekuensi serius bagi mereka yang dideportasi.

https://p.dw.com/p/4ho8d
Perbatasan Turki dan Suriah, Bab El Hawa
Hafez A. dideportasi melalui penyeberangan Bab el Hawa di perbatasan turki dan SuriahFoto: Rami Alsayed/NurPhoto/picture alliance

Hafis A. sedang dalam perjalanan untuk bekerja di sebuah restoran di Istanbul, Turki. Pemuda dari Suriah ini berpikir ini adalah hari-hari sebagaimana biasa, tapi perkiraannya salah.

Pagi itu, otoritas keamanan Turki menghentikannya dan meminta surat-suratnya. Izin tinggalnya sudah tidak berlaku dua hari sebelumnya dan dia belum sempat memperpanjangnya. Itulah awal masalahnya.

Petugas keamanan membawanya, mula-mula ke pusat deportasi. Beberapa hari kemudian dia dan warga Suriah lainnya diberangkatkan melalui kota Antakya di Turki ke perbatasan Bab el Hawa di Provinsi Idlib di barat laut Suriah. "Mereka membiarkan saya keluar setelah melewati perbatasan dan tiba-tiba saya kembali ke tanah Suriah," katanya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Hafis A. sebenarnya berasal dari Damaskus. Pada tahun 2020, ketika berusia 22 tahun, dia meninggalkan Suriah karena khawatir akan direkrut menjadi militer oleh rezim Suriah. "Saya tidak menginginkan itu, saya ingin hidup," katanya. Dia melarikan diri sendirian ke Turki melalui Idlib setelah mendengar bahwa Turki menerima pengungsi Suriah.

Sentimen terhadap warga Suriah di Turki

Tidak ada negara lain menerima pengungsi dari Suriah sebanyak Turki. Menurut UNHCR, sekitar 3,6 juta warga Suriah tinggal di sana dengan perlindungan sementara sejak perang berkecamuk pada 2011. Uni Eropa dan Turki pada 2016 menyepakati sebuah pakta untuk mencegah pengungsi menyeberang ke Eropa lewat Laut Aegea.

Hafis A. juga mendapati Istanbul sebagai rumah barunya. Dia punya semua surat formalitas yang diperlukan untuk tinggal di sana, mendapat pekerjaan, dan bahkan kemudian membeli mobil kecil. Dia mulai membangun kehidupan baru di sana. 

Hafis A. pengungsi Suriah
Hafis A. sangat ingin bisa kembali ke IstanbulFoto: privat

Semuanya berjalan lancar, sampai bulan Maret tahun ini. Hafis A. mengatakan bahwa suasana belakangan ini sedang tegang. "Suasana di negara ini sudah lama seperti itu, sehingga orang-orang sadar bahwa mereka sebenarnya ingin menyingkirkan kami, warga Suriah." Hafis mengatakan bahwa salah satu teman dekatnya juga dideportasi meski sedang sakit.

"Pengungsi Suriah hanya menikmati perlindungan sementara di Turki," kata Anita Starosta dari organisasi Medico International. "Warga Suriah selalu dan akan diperlakukan seperti tamu. Mereka tidak boleh menetap dan menjadi warga negara Turki."

Gelombang deportasi besar migran Suriah

Namun informasi online dari otoritas migrasi Turki memberikan informasi mengenai kepulangan sukarela sebagai berikut: "Pemulangan dilakukan sesuai dengan prinsip kepulangan secara sukarela, aman dan bermartabat sesuai dengan hukum internasional. Di negara kami, tidak ada orang asing yang berada di bawah perlindungan sementara atau internasional, akan dikembalikan secara paksa ke negara asalnya; orang itu tidak akan dipaksa kembali ke negara asalnya," menurut otoritas itu. 

Tenda pengungsi di Idlib
Sekitar 2,9 juta orang di wilayah Idlib, Suriah, menjadi pengungsi di negeri mereka sendiri, banyak yang tinggal di tenda di sepanjang perbatasan dengan TurkiFoto: Omar Albam/DW

"Ada gelombang deportasi yang lebih besar sejak tahun 2018,” kata Starosta. Deportasi pengungsi Suriah dari Turki memicu kecaman, terutama menjelang pemilihan presiden tahun 2023. Menurut Human Rights Watch (HRW), pihak berwenang Turki mendeportasi lebih dari 57.000 warga Suriah dan lainnya melalui penyeberangan perbatasan antara Januari dan Desember 2023.

Tak mudah bagi Hafis A. membangun kehidupan baru di Idlib. Sebagian besar Provinsi Idlib adalah wilayah terakhir yang dikuasai pemberontak dan kelompok ISIS. Kelompok ini sebagian besar berada di bawah kendali milisi Islam, khususnya kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Kelompok ini baru muncul kemudian dari apa yang disebut Front Al-Nusra yang berafiliasi dengan al-Qaeda. Namun situasi sedang memanas di kawasan ini.

Kawasan ini penuh dengan kemiskinan, sekitar 2,9 juta pengungsi bergantung pada bantuan internasional, meski jumlahnya semakin berkurang. Hafis A. mendapatkan pekerjaan kecil-kecilan di sebuah kafe. Namun pendapatannya tidak bisa dibandingkan dengan yang ia hasilkan di Turki. 

Kesulitan yang dihadapi Hafez A. dan warga Suriah lainnya yang dideportasi ke Suriah utara tidak berakhir di situ. Selain masalah keamanan, para pengungsi yang dideportasi juga harus berurusan dengan pengelolaan properti yang mereka tinggalkan di Turki. Hafis A. juga masih memiliki mobil di Istanbul, dan sejumlah uang di rekeningnya.

Suriah dijadikan pion politik Turki

Saat berada di perbatasan, Hafis A. mengaku tidak diberitahu ke mana harus pergi. Berbeda dengan orang-orang lain yang dideportasi, banyak dari mereka dimukimkan kembali oleh otoritas Turki di kota-kota yang disebut sebagai zona aman.

Tempat-tempat ini terletak di Suriah utara, berada di bawah kendali Turki dan dirancang sebagai daerah kembali yang aman bagi pengungsi Suriah. Wilayah tersebut juga berfungsi sebagai zona penyangga terhadap kelompok dan milisi Kurdi.

Menteri Dalam Negeri Turki, Ali Yerlikaya, pada bulan Februari mengumumkan bahwa "sekitar 625.000 warga Suriah telah secara sukarela kembali ke Suriah" karena kondisi kehidupan di sana telah membaik. Di kota Jarablus, Al-Bab dan Azaz (catatan redaksi: kota-kota yang berada dalam zona keamanan), upaya telah dilakukan untuk membatasi migrasi tidak teratur ke Turki.

Namun Human Rights Watch baru-baru ini merilis sebuah laporan bahwa wilayah-wilayah ini jauh dari aman: "Turki telah gagal menjamin keselamatan dan kesejahteraan penduduk sipilnya. Kehidupan 1,4 juta penduduknya di wilayah ini diwarnai pelanggaran hukum dan ketidakamanan," kata HRW.

"Turki selalu menggunakan pengungsi Suriah sebagai alat politik, baik melalui kesepakatan UE-Turki dan miliaran euro yang terkait dengannya, atau untuk memengaruhi reorganisasi Suriah jika rezim di sana digulingkan," kata Anita Starosta dari Medico International.

Untuk saat ini, Hafez A. tidak punya pilihan selain tinggal di kota Idlib. Tapi dia tidak mau putus asa. "Kami, warga Suriah, sudah terlalu sering memulai semuanya dari awal. Itu membuat kami lelah. Saya ingin sekali kembali ke Turki." (ae/hp)

Elmas Topcu berkontribusi untuk artikel ini.