1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiEropa

Anak-anak di Kamp Pengungsi Rindu akan Rumah

Sofia Kleftaki
24 Juni 2024

Ayham mengungsi bersama orang tuanya dari Suriah, pertama ke Turki lalu ke Yunani. Keluarga itu tinggal di Schisto dekat Athena. Konsep rumah dan berada di rumah sendiri kerap jadi pertanyaan anak-anak di kamp pengungsi.

https://p.dw.com/p/4hQFt
Kamp pengungsi Schisto di dekat Athena, Yunani
Ayham Albash, 11, tinggal di kamp pengungsi Schisto dekat Athena selama tujuh bulan bersama adik perempuannya Lin, 8, dan kedua orang tua.Foto: Sofia Kleftaki/DW

Kamp pengungsi Schisto terletak di lanskap tandus di pinggiran Athena, sekitar setengah jam perjalanan dari pusat ibu kota Yunani. Dari luar terlihat tembok, gerbang masuk, dan kawat berduri dari kompleks Angkatan Laut Yunani yang terletak berdekatan.

Pagi-pagi, suhu di sini sudah mencapai lebih dari 30 derajat Celsius. Angin sepoi dan panas bertiup. Udara kering dan berdebu. Seorang anak laki-laki, berusia sekitar lima tahun, berlarian tanpa alas kaki di tanah berkerikil yang berdebu, menyaksikan sekelompok petugas pemadam kebakaran melakukan latihan keselamatan.

Sedikitnya 193 anak berusia 0 hingga 17 tahun saat ini tinggal bersama keluarga mereka di Schisto. Mereka sebagian besar berasal dari Suriah, Afganistan, Somalia dan Irak.

Di Schisto tidak ada lagi anak di bawah umur tanpa pendamping. Di masa lalu, kamp pengungsi di Yunani, punya semacam "zona aman" untuk kelompok anak-anak ini. Anak-anak di bawah umur yang berada di Yunani yang tanpa orang tua ditempatkan di kamp terpisah.

"Kami berada di jalan selama tiga hari"

Ayham Albash, 11, sudah tinggal di Schisto selama tujuh bulan bersama adik perempuannya Lin, 8, dan orang tuanya. Anak laki-laki ini duduk di kantor integrasi sosial bersama seorang penerjemah dan anggota tim Schisto.

Gambar berwarna-warni dan kerajinan tangan tergantung di dinding, dan ada sebuah ponsel dipajang di langit-langit dengan tulisan "kebahagiaan" di atasnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Keluarga Ayham mengungsi dari Suriah ke Turki dan tinggal di kota Mersin di pantai Mediterania selama delapan tahun. Pada November 2023, keluarga ini tiba di Pulau Kos, Yunani, dan sebulan kemudian ke Schisto. "Kami berada di jalan selama tiga hari, saya ingat itu," kata Ayham. Dia tidak ingat rincian lain tentang pelariannya ke Yunani.

Pengalaman buruk di Turki

"Apa yang kami alami di Turki sangatlah buruk. Sangat mengerikan saat anak-anak pulang dari sekolah dan memberi tahu Anda bahwa mereka mengalami kekerasan. Ini bukan negara yang aman,” kata ibu Ayham, Alaa Alhatab, 34.

Alaa Alhatab mengatakan dia merasa aman di Yunani. Karyawan tim Schisto memperlakukan dia dan keluarganya dengan baik. Namun, mereka juga tidak bisa membantu. Permohonan suaka keluarga ini sudah dua kali ditolak. 

Alaa Alhatab bersama kedua anaknya, Lin dan Ayham
Alaa Alhatab bersama kedua anaknya, Lin dan Ayham, di sebuah acara jalan-jalan yang diselenggarakan pengurus kamp pengungsi.Foto: Sofia Kleftaki/DW

Alhatab mengatakan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan hanya bisa menunggu. Dia jelas tidak ingin kembali ke Suriah. Anak-anak di Schisto mengetahui dari orang tua mereka bahwa Yunani adalah semacam persinggahan. Namun, untuk berapa lama masih belum jelas.

Rumah, pertanyaan harian anak-anak

Setiap keluarga di Schisto tinggal di dalam ‘kontainer' masing-masing. Terdiri dari dua kamar tidur terpisah dengan tempat tidur single dan susun, dapur dengan kompor, kulkas, dan kamar mandi. Air panas di Schisto disediakan oleh sistem tenaga surya dan ketel listrik. Semua kontainer juga dilengkapi AC. Selain itu, terdapat bangunan khusus penyandang disabilitas.

Karena saat ini di Yunani sedang liburan musim panas dan anak-anak tidak bersekolah, mereka menghabiskan sebagian besar waktu di dalam kontainer ber-AC pada siang hari. Hanya pada malam hari, ketika suhu mulai agak turun, barulah mereka bermain di luar, di taman bermain, dan di sebuah lapangan sepak bola kecil. 

Suasana di dalam kamp pengungsian Schisto
Thomas Papakonstantinou (kiri depan) dan timnya memelihara anak-anak dan keluarga mereka di kamp pengungsi Schisto.Foto: Sofia Kleftaki/DW

Alaa Alhatab menemani kedua anaknya dalam perjalanan ke Pekan Pengungsi di pusat kota Athena. Anak-anak yang datang ke sana sibuk mengecat rumah-rumahan yang terbuat dari karton. Ini adalah lokakarya interaktif tentang topik dan simbolisme tentang "rumah" dan "berada di rumah".

"Hal tersulit bagi saya adalah pertanyaan yang hampir setiap hari diajukan anak-anak tentang kapan kami akhirnya akan pindah ke rumah sendiri,” kata Aala Alhatab.

Persiapkan diri untuk kehidupan di luar kamp

Kebanyakan anak sudah bisa berkomunikasi dalam bahasa Yunani, banyak juga yang bisa berbahasa Inggris. Anak-anak usia sekolah semuanya terdaftar di sekolah-sekolah Yunani. Namun ada pula yang tidak bersekolah. "Kami tidak bisa dan tidak ingin memaksa anak-anak dan orang tua mereka," ujar Thomas Papakonstantinou, kepala di Schisto.

Papakonstantinou telah menjalankan kamp di Schisto sejak 2020. Ia melihat tugasnya tidak hanya menyediakan akomodasi dan perawatan medis bagi para pengungsi. Baginya, yang terpenting adalah terus meningkatkan kehidupan di kamp tersebut dengan berbagai cara. 

Harapan Anak-anak di Kamp Rafah untuk Tahun 2024

Papakonstantinou dan timnya sangat mementingkan pemberian berbagai dukungan kepada anak-anak dan memberikan wawasan di luar Schisto. Manajer kamp secara teratur menyusun waktu untuk mengunjungi acara olahraga dan budaya. Baru-baru ini, Ayham dan Lin mengunjungi final Liga Konferensi UEFA dan Stadion Kallimamarro untuk melihat upacara Api Olimpiade 2024.

Ayham mengeluarkan bola voli dari wadahnya dan berbicara penuh semangat tentang kunjungannya ke final Liga Konferensi UEFA. Sekitar 12 anak dari Schisto, termasuk Ayham dan saudara perempuannya Lin, diizinkan mendampingi pemain tim Yunani Olympiakos ke lapangan.

Hussein yang berusia tiga belas tahun bahkan diberikan tugas menyerahkan bola pada pertandingan tersebut. "Anak-anak tidak mau melepas seragam mereka selama seminggu setelah pertandingan," kata seorang karyawan tim Schisto.

"Saya diperbolehkan mendampingi pemain yang mencetak gol!" kata Ayham bangga. Namun kelak, ia tidak ingin jadi pemain sepak bola. Ia ingin menjadi dokter atau pilot. Lin juga menyukai sepak bola, seperti kakaknya. Namun karir impiannya adalah menjadi dokter anak.

(ae/hp)