1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dari Kepatutan Sosial hingga Industri Gaya Hidup Islami

Kalis Mardiasih
25 Mei 2018

Foto-foto apa yang sering Anda nikmati dari akun media sosial kawan-kawan Anda? Kebahagiaan rumah tangga yang sakinah? Kesempurnaan hidup mereka? Berikut opini Kalis Mardiasih.

https://p.dw.com/p/2xvLH
Symbolbild Bildung Migranten Schule Lernen Lesen Schulbuch
Foto: picture-alliance/Joker

Lini masa instagram adalah simulakra catatan harian seseorang dalam serangkaian unggahan gambar. Bagi akun pribadi non-komersil, album instagram adalah narasi tentang keluarga bahagia, prestasi tumbuh kembang anak, menu MPASI, menu restoran ternama hingga destinasi wisata. Seorang temanku telah memiliki seorang putri nan lucu. Dalam sebuah foto unggahan, ia menulis kalimat, "Umi tidak menuntut anak umi pintar matematika, bahasa Inggris atau Fisika. Umi hanya berharap anak Umi menjadi anak salihah.”

Kebijakan untuk tidak menuntut anak macam-macam adalah satu hal, tetapi salihah sebagai kata sifat yang mengacu pada segala karakter yang baik adalah hal lain. Bukankah untuk menjadi orang baik, seseorang mesti mampu menerima input dengan utuh, memproses dan memetakan persoalan, menyimpulkan gagasan, lalu mengartikulasi input-input itu dalam bentuk tindakan? Artinya, seseorang yang berkarakter baik, seharusnya adalah sekaligus seseorang yang pintar. Kepintaran dan karakter baik bukan sesuatu yang dikotomis.

Unggahan ibu Muslimah muda masa kini cukup menarik. Buku-buku Islami hingga boneka listrik hafidz quran yang dapat mengeluarkan suara bacaan surat-surat dalam Al Quran. Harga perangkat-perangkat itu tidak murah, mencapai jutaan rupiah. Harga yang cukup mencengangkan jika dibandingkan dengan mainan serupa bola plastik atau boneka bantal biasa.  Toh, kehadiran mainan anak islami itu berhasil menjadi tren baru. Selain menjadi anggota komunitas "brand” hijab tertentu, para ibu muda itu membeli mainan multifungsi tersebut dengan cara membikin komunitas arisan.   

Sejak populernya tayangan perlombaan hafiz cilik di layar televisi, banyak ibu berhasrat menjadikan anaknya penghapal Al Quran sedini mungkin. Sekolah Islam terpadu semakin menjamur hingga tingkat pedesaan. Banyak sekolah Taman Kanak-Kanak yang menyesuaikan tren ini dengan mempromosikan jam mengaji atau program hafalan Quran agar institusi pendidikan mereka tidak sepi peminat. Meskipun karakter anak adalah sesuatu yang bersifat organik yang lahir dari kebiasaan sehari-hari dan interaksi, namun segala hal yang bersifat islami hari ini merupakan norma sosial yang penting untuk digaris bawahi.    

Jadi bahan pergunjungan                                    

Seorang teman lain bercerita tentang sebuah candaan di perkantoran zaman ini. Jika dahulu satu orang perempuan Muslim memakai jilbab di kantor menjadi bahan pembicaraan, kini sebaliknya, satu orang perempuan Muslim yang memutuskan menanggalkan jilbab menjadi objek pergunjingan. Konon, hal itu terjadi karena jilbab kini adalah sesuatu yang sangat umum. Kain identitas perempuan Muslim yang dulu merupakan hal privat itu kini bahkan menjadi simbol tren hijrah yang bersifat populis. Antar perempuan tak lagi segan untuk bertanya kepada sesamanya perihal kapan kawannya itu akan memakai jilbab. Lalu, seseorang yang memakai jilbab akan digelari telah berhijrah secara mutakhir. Padahal, spiritualitas seseorang semestinya adalah sesuatu yang melampaui segala ukuran matematis dan merupakan sebuah proses yang terus-menerus.

Tren fashion Muslim memang sebuah topik yang menarik. Tahun 2016 dan 2017, merek-merek Internasional yang sama sekali jauh dari kesan "syar'i” seperti Dolce & Gabbana, Marks&Spencer dan Nike telah meluncurkan seri produk yang khusus ditujukan untuk konsumen Muslim. Pasar industri seakan tak mau ketinggalan untung menimbang prediksi PEW Research Center bahwa populasi Muslim akan meningkat 70% hingga 40 tahun ke depan dan tentu memiliki pengaruh amat besar pada kondisi pasar.

Indonesia, khususnya, memiliki ciri unik dalam merespons tren ini. Pertama, karakter milenial Muslim yang percaya bahwa agama bukan lagi pembatas untuk mengekspresikan diri. Milenial Muslim berkarakter tidak anti pada perkembangan industri fashion atau produk kebudayaan lainnya. Kedua, identitas fashion Muslim di Indonesia cukup resisten dengan identitas fashion Arab Saudi atau Timur Tengah, sehingga kita menemukan beragam brand desainer atau blogger fashion dengan karakter berwarna-warni, penuh pola dan detil variasi, atau dengan kata lain tidak hanya berwarna gelap dengan corak monoton.

Manfaatkan Media Digital bagi Anak-Anak

Reina Lewis, Profesor jurusan Cultural Studies darI London College of Fashion berujar bahwa tren beragama yang terjadi dewasa ini, berkaitan dengan fashion sebagai identitas, seringkali justru mengakibatkan lunturnya nilai-nilai relijius yang asli dan berfokus kepada kegiatan belanja semata.

Jika jejak gaya muslimah berhijab di masa lalu dapat kita telusur lewat narasi sejarah mengenai tokoh-tokoh pembawa ajaran Islam serta kondisi politik dan sosial ruang hidup secara spesifik, gaya berhijab masa kini yang cepat berubah merupakan sesuatu yang sama sekali tercerabut dari akar budaya tertentu. Tren pakaian muslimah masa kini adalah arus katalog merk dan label terkini.

Yang paling menarik, produk-produk fashion hingga perangkat mainan anak yang membangun citra Islami itu seringkali diiklankan pula oleh para ustadz populer atau artis-artis yang belakangan disemati pencapaian hijrah. Hijrah, dalam konteks keartisan lekat dengan ciri memakai hijab, berhenti main film atau sinetron, kemudian membuka bisnis yang menjual produk industri Islami.

Jadi ajang pamer atau kompetisi?

Para pendakwah yang populer di kanal youtube atau instagram digemari ibu muda sebab cukup diakses lewat gawai dalam genggaman. Kebanyakan pendakwah jenis baru itu sama sekali tak berlatar belakang pendidikan agama. Modal utama mereka adalah keterampilan komunikasi yang hebat, keunggulan dalam bicara di depan umum, dan penggunaan media baru.

Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia (2015) menjelaskan bahwa banyak dari kaum Muslim kaya baru ini secara terang-terangan menampilkan hasrat yang besar terhadap hal-hal yang berkilauan dari dunia kapitalisme industrial yang tidak islami, baik yang berasal dari Asia maupun dari Barat. Karenanya, mereka harus mengatasi pertentangan yang muncul dari gairah untuk menikmati kenyamanan modern dan integritas moral seorang religius yang bisa menjadi pembenaran bagi kenyamanan dan gengsi yang mereka peroleh tersebut.

Agama yang bersinggungan dengan industri jelas sangat profan. Sama halnya seperti banyak partai politik yang meskipun mengaku Islami, toh manusia yang membawa nilai politik praktis sering tak mampu memanifestasikan kesakralannya. Segala perangkat dan simbol-simbol boleh menjadi medium, tapi dalam arus budaya massa, alih-alih menjadi saleh, ia lebih sering tenggelam dan hanyut dalam hingar-bingar laku pamer dan kompetisi.

Penulis: Kalis Mardiasih (ap/vlz)

Penulis opini lepas dan penerjemah. Bergiat sebagai riset dan tim media Jaringan nasional Gusdurian Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.