1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Media Sosial: Duit Receh Untuk Teroris

19 Oktober 2017

Kelompok teroris semakin mengandalkan media sosial untuk menjaring donasi demi membiayai aktivitas terorisme. Fenomena tersebut dikeluhkan mempersulit kerja otoritas keamanan dalam melacak sumber pendanaan teror.

https://p.dw.com/p/2m9vM
Indonesien Propaganda Islamischer Staat
Foto: picture-alliance/AP Photo

Upaya menecegah tindak terorisme di Indonesia dipersulit dengan model baru pendanaan teror yang dilakukan lewat media sosial. Jika dulu penyandang dana teror mencari uang lewat cara-cara ilegal seperti pencurian kendaraan bermotor atau perampokan, kini mereka bergantung pada donasi kecil-kecilan yang disumbangkan para simpatisan.

Tren ini sudah dideteksi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2015 silam.

Sejak itu pula kedua lembaga menetapkan donasi lewat media sosial dan pendanaan pribadi dengan risiko tertinggi. Artinya model transaksi semacam itu kian marak dan aparat keamanan harus mengawasi aktivitas mencurigakan di media sosial dengan lebih ketat.

Sebaliknya risiko pendanaan lewat curanmor kini diturunkan menjadi level menengah dan prospek aliran dana lewat perdagangan narkoba dinilai berisiko rendah.

Kendati berupa uang receh, skala pendanaan terorisme lewat media sosial dinilai cukup untuk membiayai aktivitas kelompok teror. Kepala BNPT, Suhardi Alius, mengklaim kelompok teror Islamic State alias ISIS membutuhkan dana untuk kegiatan operasional, pembelian senjata dan bahan peledak, serta pelatihan jihadis.

Kepada CNN Indonesia, pengamat terorisme Wawan Purwanto menilai kampanye lewat sosial media bisa memicu partisipasi para netizen."Semua gerakan bisa dimunculkan melalui media sosial, salah satunya menarik simpati orang. Dari simpati lalu muncul empati, dari empati lantas muncul partisipasi," ujarnya.

Gejala itu juga termaktub dalam buku putih pendanaan terorisme yang dirilis BNPT dan PPATK belum lama ini. "Penggunaan media sosial meningkat pesat lantaran kemudahan membuka akun dan membuat identitas palsu. Situasi ini mempersulit upaya otoritas keamanan mengidentifikasi dan memburu jejak pelaku pendanaan."

Namun demikian Kepala PPATK, Kiagus Badrudin, mengaku pihaknya masih bisa melacak rekening teror meski sulit. "Uang yang masuk itu yah, susah kita bedakan mana yang teroris mana yang bukan," ujarnya kepada KBR 68H. "Biasanya tuh tidak banyak-banyak, paling tinggi 1000 US Dolar. Tapi dia mengalir terus, kita punya ciri-cirinya yang bisa kita duga ini akan digunakan untuk teroris. Misalnya uang yang mengalir itu bermuara di rekening tertentu, nah itu salah satunya."

rzn/yf (CNN Indonesia, Antara, Kompas, Tempo, KBR68H)