1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Danau Toba: Bidadari Cantik Yang Jadi Toilet Raksasa

31 Januari 2019

Pencemaran air di Danau Toba semakin mengkhawatirkan. Pembuangan limbah secara ilegal oleh sentra produksi dan hotel-hotel di sekitar turut mengancam kesehatan penduduk setempat.

https://p.dw.com/p/3CUg4
Sebuah keramba jaring apung milik peternak lokal di Danau Toba
Sebuah keramba jaring apung milik peternak lokal di Danau TobaFoto: picture-alliance/dpa/Francis

Pujian sempat mengalir dari ucapan Presiden Joko Widodo tentang keindahan Danau Toba dalam kunjungannya pada 2017 silam. Dia ingin mengubah kawasan itu menjadi destinasi pariwisata andalan Indonesia. Namun masalah lingkungan mengancam ambisi pemerintah.

Pasalnya kondisi Danau Toba saat ini dianggap kian memperihatinkan, lantaran maraknya pencemaran limbah dan polusi dari sentra produksi yang berada di sekitar danau. Terutama kasus pembuangan bangkai ikan oleh perusahaan budidaya perikanan milik Swiss, PT. Aquafarm Nusantara sedang menjadi buah bibir di kalangan aktivis lingkungan.

Baca juga: Bagaimana Opera Batak Berjuang Melawan Pencemaran Danau Toba

Kasus ini berawal dari kisah seorang penyelam yang pekan lalu menemukan beberapa karung berisikan bangkai ikan di dasar danau di dekat Ajibata. Karung-karung tersebut sudah dibebani agar tidak mengapung.  PT. Aquafarm yang memiliki keramba jaring apung terbesar di kawasan itu pun dituding jadi tersangka utama.

Ironisnya PT. Aquafarm Nusantara yang dimiliki Regal Springs asal Swiss itu masih mengantongi sertifikat berkelanjutan dari Aquaculture Stewardship Council yang antara lain masih berlaku hingga 2021. Lembaga independen ini mengawasi metode produksi berkelanjutan pada setiap sentra produksi budidaya ikan air tawar.

PT. Aquafarm tidak sendirian dalam memanfaatkan Danau Toba sebagai tempat pembuangan akhir.  PT Alegrindo Nusantara yang merupakan perusahaan peternakan babi juga dituding membuang limbah kotoran ternak ke dalam danau. Tidak cuma itu, "sekitar 80% hotel di sekitar Danau Toba belum memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Dana Tarigan.

"Kalau saya menyebutnya, Danau Toba tidak lagi seperti bidadari yang cantik," kata dia kepada Deutsche Welle. "Kalau kata saya bilang malah seperti toilet raksasa, karena semuanya dibuang di situ dan dibiarkan oleh pemerintah," imbuhnya.

Pencemaran air di Danau Toba, kata Dana, sudah mencapai ambang batas yang diizinkan. Jangankan untuk pariwisata, bak air di sekitar sentra produksi bahkan tidak lagi layak dikonsumsi untuk penduduk lokal. "80% masih digunakan untuk air minum oleh masyarakat."

Baca juga: Sampah Mengalir Sampai Laut - Bagaimana Pemerintah Kesulitan Bersihkan Sungai

Saat ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumatera Utara masih menyelidiki limbah ikan busuk yang dibuang ke dasar Danau Toba di areal PT Aquafarm Nusantara. Seperti dilaporkan Tribun Medan, bangkai ikan yang ditenggelamkan itu berada persis di depan Pos PT. Aquafarm yang juga tidak jauh dari Gudang dan Keramba Jaring Apung milik perusahaan.

Menurut Dana Tarigan, lemahnya penegakan hukum dan perlindungan lingkungan perlahan membunuh ekosistem danau. Kajian Bank Dunia yang dibuat pada 2017 silam menyebut upaya pemulihan Danau Toba bisa membutuhkan waktu hingga 80 tahun dengan dana yang tidak sedikit. "Jika sudah selama itu waktu pemulihannya, bisa Anda bayangkan separah apa kotornya air Danau Toba itu," kata dia.

Polisi saat ini dikabarkan sudah menindaklanjuti laporan terkait dugaan pembuangan limbah oleh PT. Aquafarm Nusantara.

rzn/hp (dari berbagai sumber)

Metode Penangkaran Ikan Laut Lebih Ramah Lingkungan