1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Seni

Bagaimana Opera Batak Berjuang Melawan Pencemaran Danau Toba

26 Januari 2018

Sebuah pertunjukan Opera Batak mencoba merangkum perjuangan perempuan melawan pencemaran air Danau Toba yang semakin tidak terkendali. Bersama Co-Sutradara, Thompson HS, DW berbincang mengenai seni dan perlindungan alam

https://p.dw.com/p/2rZeC
Thompson HS, Sastrawan dan sutradara Opera Batak
Thompson HS, Sastrawan dan sutradara Opera BatakFoto: DW/A. Setiawan

Wawancara Thompson HS: Opera Batak Melawan Polusi Danau Toba

Air adalah kausa terbesar adanya kehidupan di muka Bumi. Ketika tercemar, maka yang pertama kali terancam adalah kehidupan itu sendiri. Polemik tersebut coba dirangkum oleh Lena Simanjuntak dan Thompson Hutasoit melalui Opera Batak berjudul "Perempuan di Pinggir Danau" yang berkisah mengenai kaum perempuan yang harus bergantung hidup dari air danau Toba yang kian tercemar. 

DW berbincang bersama sastrawan dan salah satu sutradara Perempuan di Pinggrir Danau, Thompson HS, mengenai seni dan perlindungan alam.

DW: Sebenarnya seberapa parah pencemaran air di danau Toba sehingga sampai harus diangkat di panggung Opera Batak?

Thompson HS: Pencemaran air di Danau Toba akhir-akhir ini semakin jelas di mata banyak orang, karena tidak layak diminum lagi. Dulu waktu kecil saya juga sering ke Danau Toba dan saya bisa minum langsung air danau. Tahun 2009 pemerintah lokal melalui Peraturan Gubernur sebenarnya sudah menetapkan bahwa air Danau Toba itu harus bisa diminum. Karena pada 2005 mulai kelihatan perubahan akibat pencemaran itu. Lalu ada satu komunitas yang kemudian membentuk tim penelitian dan investigasi independen. Mereka menemukan di sebelas titik kualitas air sudah berubah dan tidak lagi layak diminum. Hasil penelitiannya mereka sampaikan kepada pemerintah dan mereka juga mengajukan ggugatan Class Action.

Pencemaran ini akibat aktivitas bisnis di sekitar danau?

Ada dua perusahaan yang terlibat secara langsung mencemari air Danau Toba melalui usaha budidaya ikan. Kebetulan salah satu perusahaan itu dibuat melalui dana investasi asal Swiss dengan nama PT Aquafarm.

Dalam "Perempuan di Pinggir Danau" anda mengangkat kisah perempuan yang paling terimbas oleh dampak pencemaran. Kenapa perempuan yang menjadi korban?

Kalau kita jalan-jalan ke Danau Toba, ke tepiannya, terutama yang ada penduduknya, mulai dari pagi sampai sore kita melihat aktivitas perempuan, mulai dari mencuci, memandikan anak atau mengambil air buat konsumsi di rumah. Jadi kalau ada sesuatu, termasuk pencemaran, mereka yang tahu lebih dulu. kalau air Danau Toba bisa diminum, mereka yang langsung mendapat dampaknya misalnya kepada anaknya yang ada di rahim. Saya tahun 2006 lebih banyak di sana, berdialog dan melihat aktivitas itu. Ada suatu saat ibu-ibu mengambil air subuh sekitar pukul lima pagi dan pada pukul tiga sore airnya sudah berlendir. Mereka hidup di sekitar zona usaha ikan yang izinnya didapat dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Opera Batak yang anda kreasi ini ikut membawa misi lingkungan juga. Sebenarnya sejauh apa Opera Batak mampu mempengaruhi generasi digital saat ini?

Wawancara Thompson HS: Opera Batak Melawan Polusi Danau Toba

Kita menggali Opera Batak secara total tahun 2002, baik dari sudut pandang tradisi lisannya dan kemudian berkembang menjadi seni pertunjukanya dan konten-konten cerita yang selama ini dimainkan Opera Batak zaman dulu kita coba tampilkan kembali. Lalu ini menjadi informasi, bahwa ini memang pernah ada sebagai suara untuk masyarakat dan perlawanan Kolonialisme. Dan sejak kita gali 2002 itu, ini menjadi pintu masuk untuk mengenal bagaimana potensi seni tradisional...

Untuk mengangkat isu-isu sosial dan lingkungan...

Iya. Tinggal nanti bagaimana generasi muda yang hidup di zaman digital menganggap itu sebagai pengetahuan.

Sebenarnya seberapa efektif Opera Batak sebagai media kritik untuk menumbuhkan kesadaran sosial dan lingkungan di kalangan generasi muda.

Kita tidak berharap Opera Batak harus dominan. Tapi sebagai seni pertunjukan, dia sudah punya hubungan langsung dengan realitas masyarakat. Setelah kita pertunjukkan, misalnya soal Danau Toba yang tercemar, kita dibantu media lain, juga dengan kritik seninya. Sudut pandang lain ini kita tampung dan terus kita kembangkan untuk evaluasi pertunjukan. Efeknya kita berharap adanya kesadaran sosial dan lingkungan. Dari sudut kesenian, dia bekerja secara artistik dengan teorinya sendiri. Ada sistematikanya, ada rasa tertentu di situ dan bagaimana berhubungan dengan realitas. Kira-kira begitu.

Jadi harapannya Opera Perempuan di Pinggir Danau ini bisa meningkatkan perhatian pada situasi di Danau Toba.

Iya, kita berharap bukan hanya di tingkat nasional atau regional. Kalau seluruh dunia tahu Danau Toba itu bukan cuma milik orang Batak atau Indonesia, karena sudah terkait dengan iklim dan kerusakan ekologis.

Wawancara oleh Rizki Nugraha (as)