1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina dan Rusia Eksploitasi Sejarah demi Kepentingan Pribadi

17 Mei 2022

Presiden Cina Xi Jinping dan pemimpin Rusia Vladimir Putin secara sewenang-wenang mengeksploitasi sejarah nasional negara mereka. Hal ini membantu mereka mengamankan kekuasaan dan melangengkan berbagai kebijakan.

https://p.dw.com/p/4BMv3
China Russland Wladimir Putin und Xi Jinping
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping disebut memiliki banyak kesamaanFoto: Alexei Druzhinin/Russian Presidential Press and Information Office/TASS/dpa/picture alliance

"Siapa yang mengendalikan masa lalu, mengendalikan masa depan: siapa yang mengendalikan masa kini, mengendalikan masa lalu." Kutipan novel karya George Orwell yang berjudul "1984" ini menjelaskan dalam satu kalimat pentingnya sejarah dalam politik.

Kutipan itu terdapat di kata pengantar buku yang baru-baru ini diterbitkan "Dancing on Bones," besutan jurnalis Katie Stallard. Dalam buku itu, Stallard menggambarkan bagaimana para pemimpin Rusia, Cina, dan Korea Utara menggunakan sejarah untuk tujuan mereka sendiri.

"Rezim otoriter mengakui kekuatan dan resonansi sejarah. Mereka melihat sejarah sebagai alat penting untuk menghasilkan dukungan rakyat," kata Stallard kepada DW.

Ia juga menjelaskan sejarah menghasilkan legitimasi. Hal ini terkait erat dengan identitas warga negara dan menawarkan keuntungan bagi penguasa otoriter karena dapat dimanipulasi sesuai kebutuhan. "keuntungan ekonomi datang dan pergi. Sejarah adalah hal yang dapat Anda andalkan," jelas Stallard. 

Buchcover "Dancing on bones"
Buku "Dancing on Bones," karya jurnalis Katie Stallard yang menggambarkan rezim pemimpin Rusia, Cina, dan Korea Utara yang sarat kepentingan pribadiFoto: Oxford University Press

Sejarah sebagai pembenaran untuk invasi Ukraina

Invasi Rusia ke Ukraina menunjukkan konsekuensi mematikan dari revisionisme atau penginterpretasian kembali nilai-nilai sejarah. Pada Juli 2021, Presiden Rusia Vladimir Putin menerbitkan sebuah esai berjudul, "Tentang kesatuan sejarah Rusia dan Ukraina."

Di dalamnya, Putin menuduh Barat mengejar "revisionisme berbahaya” dan menekankan bahwa ia hadir sebagai "negarawan yang tahu segalanya.” Dalam tulisan itu juga, Putin mengklaim bahwa ia mengetahui "satu kebenaran sejarah".

Klaim Putin mendapatkan perlawanan dari sejarawan, Andreas Kappeler, yang membantah esai Putin dalam jurnal Osteuropa. Kappeler menyebut Putin selalu mengklaim bahwa Rusia dan Ukraina merupakan Bangsa yang memiliki ikatan kuat. Putin menuding upaya Barat untuk mengubah Ukraina menjadi entitas "anti-Rusia”. Ia juga menyebut bahwa Rusia tidak akan pernah membiarkan ini dan akan mencegahnya dengan kekuatan senjata jika perlu.

Pada tanggal 9 Mei, ketika Rusia setiap tahun merayakan kemenangan atas Nazi Jerman dalam Perang Dunia II, Putin mengulangi pandangannya dan melangkah lebih jauh. Ia mengklaim bahwa Barat telah merencanakan serangan terhadap Rusia. 

Cara negara berkuasa pengaruhi negara-negara "kecil”

Narasi tentang persatuan Rusia-Ukraina yang ditentang Barat, dinilai sebagai cara pandang global yang bipolar dan dapat dikategorikan sebagai paham kekuatan besar, ujar Kappeler.

Bagi Putin, hanya kekuatan besar seperti Rusia, Amerika Serikat, dan Cina, yang penting. Sementara negara-negara "kecil" seperti Ukraina tidak memiliki agenda sendiri. Kekuatan-kekuatan besar, pada gilirannya terlibat dalam persaingan ideologis yang dilancarkan dengan cara apa pun.

Pandangan Putin ini, digambarkan Kappeler sebagai teori konspirasi yang digabungkan dengan nasionalisme etnis, serta tesis yang menduga Nazi telah mengambil alih kekuasaan di Ukraina.

Semua ini membantu menghubungkannya dengan "elemen terpenting dari ideologi integrasi Rusia: kemenangan Soviet atas Jerman Hitler," kata Kappeler. Ia juga menambahkan bahwa pandangan dunia Putin adalah pandangan agen dinas rahasia Uni Soviet yang sekarang telah runtuh. 

Xi Jinping, sang juru mudi sejarah

Pola pandangan etno-nasionalis tentang sejarah versi Putin dan para pendukungnya di Kremlin juga dapat diamati pada para pemimpin Cina. Namun, Cina ingin melakukan yang lebih baik daripada Uni Soviet. Dalam narasinya, Presiden Cina Xi Jinping kerap berulang kali menyebut sejarah karya pemerintah Cina sebagai kisah peringatan.

Xi Jinping percaya Uni Soviet hancur karena para pemimpinnya gagal memberantas "nihilisme historis" yang merusak kepercayaan pada tujuan komunis. Untuk menghindari nasib yang sama, Partai Komunis Cina (PKC) membuat sejarah resmi partai yang diperbarui pada tahun 2021. Sejarah versi baru itu sangat disesuaikan untuk melayani kepentingan Xi.

Media Cina, People's Daily, yang menjadi corong partai mendefinisikan pemikiran Xi: "Memasuki era baru. Sekretaris Jenderal Xi Jinping telah membawa kita untuk menganalisis mekanisme evolusi dan menjelajahi hukum sejarah dari garis panjang sejarah, gelombang waktu dan badai global, dan telah membuat pilihan yang tepat di setiap waktu. Titik sejarah utama.” Narasi PKC disebarluaskan di pers, media sosial, bioskop, dan permainan komputer. Sementara pandangan alternatif adalah tidakan ilegal.

Narasi tentang partai menjamin persatuan

Narasi resmi dari PKC menentukan apa yang mungkin dipikirkan dan ditulis di Tiongkok. Konsepsi sejarah Xi menawarkan "kerangka ideologi yang membenarkan tingkat intervensi partai yang lebih besar dan sangat besar dalam politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri," kata Kevin Rudd, mantan perdana menteri Australia dan pakar Cina.

PKC menggunakan sejarah untuk membenarkan kekuatannya: Sebelum pengambilalihan Komunis, Tiongkok lemah dan terpecah. Perpecahan memungkinkan Barat untuk mempermalukan negara. Hanya PKC yang mampu menyatukan negara dan membawanya ke kejayaan sebelumnya. PKC mengklaim telah melanjutkan apa yang telah dimulai oleh kaum nasionalis Tiongkok pada abad ke-19, seperti yang ditunjukkan Bill Hayton dalam bukunya "Penemuan Tiongkok."

Pada saat itu, sejarah Tiongkok secara retroaktif ditafsirkan kembali untuk membentuk budaya kesatuan Han-Cina. Tradisi Manchu, Mongol dan banyak kelompok etnis lainnya ditulis dari sejarah untuk memberi jalan bagi visi Cina yang selalu bersatu. Hari ini orang-orang Uighur dan Tibet menerima akhir dari revisionisme sejarah ini, dengan mereka dipaksa masuk ke kamp-kamp pendidikan ulang yang juga berpengaruh pada bahasa dan budaya mereka.

Pada tahun 2013, Xi Jinping berbicara kepada Komite Sentral PKC tentang pentingnya sejarah. Ia mengutip sarjana Konfusianisme, Gong Zhishen, yang mengatakan, "Untuk menghancurkan sebuah negara, Anda harus terlebih dahulu menghapus sejarahnya."

Meskipun ada beberapa kesinambungan bahasa dan doktrin Konfusianisme, tidak tepat untuk mengatakan bahwa budaya Han-Cina selalu dominan di tempat yang sekarang menjadi wilayah Republik Rakyat Cina.

Padahal dalam catatan sejarahnya, Dinasti Ming (1368-1644) adalah yang terakhir di mana Han-Cina memerintah. Selama berabad-abad sebelumnya. Selain itu, dinasti dari bangsa lain, seperti Mongol menguasai sebagian besar wilayah yang sekarang disebut Cina. Dinasti terakhir didirikan oleh bangsa Manchu memerintah dari 1644 hingga proklamasi republik pada 1 Januari 1912.

Cina dan Rusia telah menciptakan pola yang sama dalam menciptakan sejarah versi mereka sendiri dengan harapan untuk menyatukan dan mencegah perpecahan. Hal yang sama juga dilakukan Putin untuk mendistorsi sejarah Ukraina, sehingga memunculkan pandangan bahwa Ukraina dan Rusia adalah satu kesatuan.

Pandangan tentang ‘wilayah yang dipulihkan'

Masalah lainnya muncul dari obsesi Cina dan Rusia pada sebuah wilayah. Narasi Putin telah mengesampingkan kejahatan di era Stalin, dan mencurahkan ambisi ke wilayah bekas Uni Soviet yakni Ukraina, Belarus, negara-negara Baltik, negara-negara Asia Tengah, dan lain-lain.

Di sisi lain, Cina mengklaim seluruh wilayah Laut Cina Selatan dengan dalih hak historis Cina atas wilayah tersebut. Pada saat yang sama, Beijing menolak untuk mengakui keputusan Mahkamah Internasional Arbitrase, yang menyatakan semua klaim sejarah batal demi hukum.

Isu terkait sengketa teritorial memiliki dua fungsi. Pertama, untuk menekankan penghinaan di masa lalu. Pandangan bahwa sesuatu diambil dari kita yang menjadi hak kita. Dan pada saat yang sama, hal ini menyoroti kekuatan para pemimpin saat ini: kami mengambil kembali apa yang menjadi milik kami, jelas menurut Stallard.

"Ini adalah bagian dari mempertahankan kedaulatan, gagasan bahwa Anda adalah negara kuat yang bisa bangga dengan dirinya sendiri dan membela diri sendiri," kata Stallard.

Hukuman berat bagi yang membantah

Satu yang membedakan antara narasi sejarah di Rusia dan Cina terletak pada narasi sejarah Cina yang lebih mengkultuskan karakter Xi Jinping.

Kedua sistem antara Cina dan Rusia mengklaim kesatuan dan kesinambungan yang seungguhnya tidak ada, dan siapa pun yang menanyakan tentang keabsahan sejarah itu harus menghadapi hukuman berat.

Dalam narasi yang dibuat, baik Xi atau Putin membangun musuh eksternal yakni Barat. Dan narasi itu juga menyebut bahwa keduanya hadir unutk menyelamatkan bangsa dan menghubungkan sejarah dengan klaim teritorial.

"Impuls untuk memanipulasi sejarah untuk tujuan politik bukanlah sifat otoriter yang unik," kata Stallard. Tetapi hanya sistem otoriter yang menekan perbedaan pendapat. (rs/ pkp)