1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikUkraina

Mampukah Cina dan AS Bersama Damaikan Ukraina?

Christoph Hasselbach
28 Maret 2023

Jika mau, Cina mampu menekan Rusia untuk menyudahi invasi. Ketika kelelahan perang mulai menghinggapi Washington, mampukah kedua negara adidaya bekerja sama demi perdamaian di Ukraina? Analisa oleh Christoph Hasselbach.

https://p.dw.com/p/4PMwS
Joe Biden dan Xi Jinping di Bali
Presiden Cina, Xi Jinping, (ki.), bersama Presiden AS, Joe Biden, (ka.), dalam KTT G20 di Bali, Indonesia.Foto: Saul Loeb/AFP/Getty Images

Sejatinya, "invasi brutal Rusia di Ukraina bertentangan dengan kepentingan Cina,” kata Henning Hoff, Editor Eksekutif di jurnal ilmiah, International Politik Quarterly. "Karena perang di Eropa mengganggu pemulihan ekonomi Cina paskapandemi,” imbuhnya.

Terlebih, jika melihat jalannya pertempuran, "Cina terancam berdiri di pihak pecundang perang,” kata dia lagi.

Menurut Hoff, Presiden Xi Jinping berusaha beradaptasi dengan membidik keuntungan ekonomi. Cina sejak awal giat membeli limpahan produksi gas dan minyak dari Rusia. Sebaliknya, Rusia harus menambah impor dari Cina demi menutupi kebutuhan domestik yang didera embargo Barat. 

Alhasil, Rusia kini semakin bergantung kepada Cina. Sebabnya, Presiden Xi adalah satu-satunya pemimpin dunia yang bisa menekan Presiden Vladimir Putin untuk mengakhiri perang. Sejauh ini, Cina hanya menolak penggunaan senjata nuklir, tapi tidak mengecam invasi Rusia.

Kebergantungan Rusia

Cina berupaya mencitrakan diri sebagai juru damai dalam perang di Ukraina. Namun rancangan perdamaian yang diperkenalkan pemerintah Cina pada Konferensi Keamanan München, Februari silam, ditolak Koalisi Barat. 

Alasannya, dokumen kesepakatan dipenuhi ungkapan ambigu dan tidak mewajibkan penarikan mundur pasukan Rusia dari Ukraina. 

Sebab itu, keseriusan Cina merangkai damai di Ukraina diragukan Wolfgang Ischinger, Direktur Konferensi Keamanan München. "Jika melihat atmosfer permusuhan dengan AS, Cina tidak melihat adanya keuntungan jika memperlemah relasinya dengan Rusia,” kata dia kepada DW.

Perang yang berlarut akan semakin memperlemah Rusia dan memperkuat kebergantungan kepada Beijing. "Dari sudut pandang Cina, perkembangan itu mungkin bukan skenario yang buruk,” lanjut Ischinger.

Eskalasi perang saat ini menjadi kekhawatiran terbesar di Jerman. Dalam sebuah survey teranyar oleh asuransi R+V, sebanyak 55 persen warga mengaku khawatir Jerman akan terseret perang di Ukraina. Adapun 63 persen responden meyakini Bundeswehr saat ini tidak mampu mempertahankan keutuhan teritorial Jerman.

Lelah perang di Amerika Serikat

Pada saat yang sama, kesanggupan Amerika Serikat menyuplai amunisi dan senjata bagi Ukraina diklaim mulai menyurut. Pasalnya, aliran dana bantuan yang besar bagi sekutu di Eropa itu mulai mendulang kritik tajam dari Partai Republik. 

Dalam jurnal "Foreign Policy,”  Stephan Walt, Guru Besar Hubungan Internasional di Universitas Harvard, AS, menulis betapa dukungan bagi Ukraina perlahan menjadi risiko bagi Presiden Joe Biden.

"Diukur dari apa yang sudah dia janjikan, apapun selain kemenangan total Ukraina akan dianggap sebagai sebuah kekalahan.” Menurutnya. Nasib politik Biden kini bergantung pada hasil perang. 

Kelelahan diklaim mulai menjalar di pemerintahan. Kepada fraksi Partai Republik di Kongres, Menteri Luar Negeri Antony Blinken belum lama ini mengatakan bahwa Ukraina mungkin tidak akan mampu merebut kembali semua wilayahnya yang dicaplok Rusia.

Padahal, keutuhan teritorial Ukraina merupakan tuntutan dasar NATO bagi perdamaian di Ukraina.

Melemahnya momentum politik bagi Ukraina di AS ditanggapi sekutu di seberang Atlantik. Dalam KTT Uni Eropa baru-baru ini, Perdana Menteri Luksemburg, Xavier Bettel, mendesak Biden merundingkan rencana damai di Ukraina dengan Xi Jinping.

rzn/hp