1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Seberapa Besar Kuasa Oligarki di Ukraina?

Eugen Theise
28 Februari 2023

Keinginan Ukraina menjadi anggota Uni Eropa bergantung pada reformasi anti-korupsi. Meski merugi akibat perang, oligarki Ukraina tetap menguasai sebagian besar kekayaan negeri dan menggunakan pengaruh politik.

https://p.dw.com/p/4O2I4
Pengusaha Ukraina, Rinat Akhmetov
Pengusaha Ukraina, Rinat AkhmetovFoto: Sven Simon/IMAGO

Dalam lawatan ke Brussel pada 9 Februari lalu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menegaskan pihaknya beranggapan perundingan keanggotaan Ukraina di Uni Eropa sudah bisa dimulai tahun ini. Uni Eropa sebaliknya mengimbau pemerintah di Kyiv agar mepercepat langkah reformasi, terutama penanggulangan korupsi.

Brussel juga mengatakan masih mempelajari UU Anti Oligarki yang disahkan Kyiv baru-baru ini. Legislasi itu dibuat demi membatasi pengaruh segelintir kelompok terkaya terhadap kebijakan negara, sebagai bagian dari syarat keanggotaan Uni Eropa. Jawaban dari Uni Eropa diperkirakan baru akan diumumkan pada Maret mendatang.

Definisi yang diemban UU Anti Oligarki di Ukraina menyaratkan tiga dari empat kriteria, yakni kepemilikan harta melampaui USD80 juta, aktif memengaruhi kebijakan publik, menguasai media, atau memonopoli sebuah cabang industri.

Mereka yang masuk dalam daftar oligarki, tidak lagi diizinkan menyumbang uang kepada partai politik atau terlibat dalam privatisasi perusahaan negara, serta harus membeberkan kekayaannya kepada publik.

Isu korupsi dan kuatnya pengaruh oligarki dianggap sebagai dua hambatan terbesar bagi Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa. Maraknya suap dinilai merugikan ekonomi, karena lobi politik dianggap lebih murah dan menguntungkan ketimbang harus membiayai modernisasi atau investasi. 

Merugi akibat perang

UU Anti Oligarki sejauh ini sudah mencatatkan keberhasilan pertama. Pertengahan 2022 lalu, miliarder Ukraina Rinat Akhmetov mengembalikan izin terbit grup medianya. Begitu pula Ketua Umum Partai Solidaritas Eropa, bekas Presiden Petro Poroshenko, harus menyerahkan kuasa terhadap stasiun televisi miliknya.

Langkah serupa diambil miliarder lain, Vadim Novynskiy, yang baru-baru ini mengundurkan diri sebagai anggota legislatif.

Hancurnya sejumlah sentra industri vital di Ukraina akibat invasi Rusia turut melenyapkan sebagian kekayaaan dan sekaligus meredupkan pengaruh para oligarki. Menurut riset Center for Economic Strategy (CES) pada akhir 2022, kerugian perang kaum oligarki Ukraina mencapai USD4,5 miliar atau lebih dari Rp90 triliun.

Pukulan terbesar dialami Akhmetov yang menguasai pabrik logam Azovstal di Mariupol. Kompleks seluas 10 km persegi itu mempekerjakan hampir 12.000 tenaga kerja sebelum perang. Hancurnya Azovstal ditaksir menciptakan kerugian sebesar USD3,5 miliar.

Kondisi pabrik baja, Azovstal di Mariupol, Ukraina
Kondisi pabrik baja, Azovstal di Mariupol, UkrainaFoto: Alexander Garmayev/TASS/dpa/picture alliance

Menurut laporan Forbes Ukraine, Akhmetov secara keseluruhan kehilangan harta senilai USD9 miliar akibat perang.

Panjang tangan Oligarki

Kerugian akibat perang bisa dipastikan semakin membatasi kemampuan kelompok oligarki untuk mempengaruhi politik, kata Pakar CES, Dmytro Horyunov. "Investasi kepada partai politik menjadi kurang relevan,” kata dia.

Dia berharap, UU Anti Oligarki akan mampu mendorong pengusaha kaya untuk menghindari politik dan media nasional. Namun begitu, pengaruh kaum oligarki belum akan sepenuhnya menghilang dari politik Ukraina.

"Selama mereka masih punya harta berlimpah, mereka akan berusaha untuk melindungi atau memperbanyaknya,” kata Horyunov.

CES melihat peluang terbesar pada integrasi Eropa. Diharapkan, kehadiran investor dan industri Eropa bisa meramaikan persaingan di dalam negeri, dan dengan begitu semakin meredupkan pengaruh kaum oligarki.

(rzn/ha)