1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Budaya Jerman: “Manajemen Waktu di Ujung Pintu”

Khairul Faiz
1 Mei 2020

Yah, itulah Jerman. Semua peraturan berjalan tepat waktu. Tidak ada masinis kereta yang mau berbelas kasih jika kamu terlambat satu menit pun. Oleh Khairul Faiz.

https://p.dw.com/p/3basB
Khairul Faiz, pelajar Indonesia di Jerman
Foto: privat

Lari. Bukanlah hal menarik bagi saya, tidak seperti sebagian orang yang sengaja membeli sepatu jutaan rupiah untuk bisa berlari kencang, menantang diri di track tertentu, lalu berlomba-lomba menjadi juara satu. Akan tetapi, saya harus tetap berlari, setidaknya untuk mengejar jadwal kereta, mengejar jadwal kuliah, atau sekedar memastikan supermarket masih terbuka.

Khairul Faiz
Khairul FaizFoto: privat

Yah, itulah Jerman. Semua peraturan berjalan tepat waktu. Tidak akan ada masinis kereta yang mau berbelas kasih jika kamu terlambat 1 menit pun. Untuk seorang mahasiswa Indonesia seperti saya, yang notabene masih menganut budaya jam karet khas Indonesia, ini terlalu kejam. Bagaimana mungkin, supir bus tega meninggalkan saya, hanya karena saya terlambat sekian detik dan pintu bus sudah terlanjur ditutup. Bukan sekali dua kali ini terjadi pada saya.

Suatu Sabtu, saya pernah berdiri tepat di depan pintu supermarket sekitar pukul 8 malam. Kaget karena pintu yang biasanya terbuka otomatis, tiba-tiba tidak berfungsi. Ternyata saya tiba tepat 1 menit sebelum jam toko ditutup. Tidak ada belas kasihan untuk membuka, padahal hari minggu kebanyakan supermarket tutup. Terpaksa saya hanya makan nasi putih seharian, konsekuensi atas sebuah kecerobohan.

Manajemen Waktu di Ujung Pintu

Kata orang bijak, jangan jadi domba di kandang singa, belajarlah menjadi singa. Yah, saya tidak punya pilihan lain selain harus belajar menjadi seperti orang Jerman. Belajar disiplin menggunakan waktu. Saya pun mulai menata waktu saya. Setiap kali hendak berpergian, saya merancang itenary waktu yang akurat. Selalu saya siapkan waktu 30 menit sebelum kerberangkatan. Tak lupa saya mempersiapkan barang-barang yang mau dibawa sehari sebelumnya.

Orang Jerman bukan kejam, mereka sangat menghargai waktu. Yang saya bisa pelajari adalah: semua aturan waktu, ada di ujung pintu. Misalnya, pintu kereta akan tertutup tepat waktu, sehingga penumpang yang terlambat naik, akan ditinggalkan. Begitu pula pintu masuk supermarket tadi, yang juga tertutup tepat waktu. Tidak ada pengunjung yang bisa masuk semau-maunya. Bahkan di kampus saya, ada professor yang pintu ruangannya tidak bisa di buka dari luar, sehingga mahasiswa yang terlambat, tidak bisa masuk.

Khairul Faiz, naik kereta api di Schmalkalden, Jerman
Naik kereta api di Schmalkalden, November 2014Foto: privat

Sebuah aturan yang fair tapi sedikit kaku. Saya punya pengalaman berkunjung ke Rathaus, semacam kantor balaikota di Jerman. Saya sudah buat appointment beberapa hari sebelumnya, pukul 13.00 waktu setempat. Saya datang 30 menit lebih awal, karena saya pikir ini urusan izin tinggal saya, akan sangat runyam jika saya datang terlambat. Saya menunggu di halaman depan, sesekali memperhatikan pintu Rathaus yang tak kunjung buka sejak ditutup pas jam istirahat. Tak berapa lama waktu berselang, salah satu pegawai Rathaus datang membuka pintu. Setengah berlari saya berusaha mengejarnya.

„Frau... Frau, bitte, sprechen Sie Englisch?"

Yah, saya memang tidak bisa berbahasa Jerman dengan lancar. Maka dari itu, tiap kali bertemu orang asing, saya lebih memilih berbahasa Inggris, ketimbang salah paham dan berujung „Ich habe keine Ahnung". Beruntung pegawai Rathaus yang saya temui, bisa berbahasa Inggris.

„I want to extend my visa, I would like to know what documents I should prepare for that?"

Sayangnya dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan hanya menunjuk ke arah atas. Awalnya saya tidak mengerti maksudnya, ternyata ada jam besar yang terpajang di luar.  Saya mulai paham, berarti saya harus menunggu sampai jam appointment saya. Pegawai tersebut lalu meninggalkan saya dan menutup kembali pintu raksasa di Rathaus. Ini beda sekali dengan di Indonesia. Jam istirahat mereka benar-benar tidak mau melayani. Ajaibnya, pintu Rathaus dibuka tepat pada pukul 13.00, dan mereka sudah dalam kondisi siap bekerja.

Time is Money

Mereka sangat menghargai waktu. Kebanyakan institusi yang melayani publik, semuanya menerapkan system appointment. Tidak ada pelayanan dadakan, semua harus bikin janji terlebih dahulu. Mulai dari bank, asuransi, dokter praktek, Rathaus , kantor imigran bahkan rumah ibadah sekalipun. Jangan sekali-sekali buat janji, tapi tidak ditepati. Konsekuensinya, nanti akan dipersulit jika buat janji yang kedua kalinya. Kantor urusan asrama tempat saya bahkan akan mendenda sebesar 35 euro jika kita datang terlambat, tidak sesuai appointment yang kita buat sebelumnya. Alasannya sederhana: mereka sudah membuang waktunya untuk menunggu dan kita harus membayar untuk itu. Jika dibandingkan dengan Indonesia, jangankan terlambat, kadang sudah buat janji tapi malah lupa untuk datang. Ironis memang.

Dunia tanpa "menunggu”...

Nah, mungkin manajeman waktu yang diletakkan di gagang pintu ini juga bisa diterapkan di Indonesia. Jika semua pintu tertutup tepat waktu, mungkin kita akan terbiasa disiplin menggunakan waktu.

Jangan heran, jika jam kerja mereka di jerman sedikit tapi produktivitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Indonesia. Mereka hampir tidak membuang waktu semenit pun untuk menunggu. Kasir di supermarket contohnya, mereka tidak akan tinggal diam ketika tidak ada pelanggan yang hendak membayar, mereka sibuk menata barang, mengecek persediaan, bahkan mengepel lantai supermarket. Profesi lain pun begitu. Polisi, dokter, dosen, semua tidak mau membuang waktunya sia-sia. Saya selalu kagum dengan budaya ini.

*Khairul Faiz, lebih dikenal dengan sapaan Daeng Faiz, pernah menempuh pendidikan master jurusan International Business and Economics di FH Schmalkalden. Selain aktif menulis di blog pribadinya daengfaiz.com, beliau juga aktif di Kenapa Sekolah Project dan sebagai announcer di Radio PPI Dunia. Salah satu pemenang Kompetisi Blog DW 2020.

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)