1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Jadi, Hidup di Indonesia atau di Jerman?

Novi Tri Setyowati
3 April 2020

Singkat cerita, di sinilah saya sekarang, kota kecil bernama Passau, Jerman. Budaya saling menjaga privasi orang lain ternyata membuat saya lebih nyaman. Oleh: Novi Tri Setyowati.

https://p.dw.com/p/3aOjT
NOVI TRI SETYOWATI / PASSAU / 5 JANUARI 2019
Foto: Privat

Tinggal di negara maju seperti Jerman tidak serta-merta membuat hidup lebih mudah dan lebih menyenangkan secara instan. Sebaliknya, ada banyak hal yang membuat saya lebih memahami, kehidupan seperti apa yang ingin saya jalani di masa depan kelak.

Desember 2017 merupakan awal dari sebuah mimpi untuk berdiaspora. Tepat pukul 22.00 WIB, saya gagal memejamkan mata untuk mengistirahatkan penat setelah sibuk bekerja seharian. Notifikasi email di ponsel pintar saya membuat saya tidak jadi mengantuk. Malam itu, saya tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran saya bercampur antara gembira sekaligus cemas. Aplikasi beasiswa studi S2 yang prosesnya telah saya ajukan sejak enam bulan sebelumnya ternyata lolos! Alhasil, imajinasi saya terbawa pada seluruh proses yang harus saya lalui berikutnya untuk kemudian berangkat ke Jerman tiga bulan berikutnya.

NOVI TRI SETYOWATI / GARMISCH-PARTENKIRCHEN / 18 JANUARI 2020
Novi Tri SetyowatiFoto: Privat

Singkat cerita, di sinilah saya sekarang, kota kecil bernama Passau yang terletak di bagian selatan negara Jerman sejak Oktober 2018. Sebelumnya, saya tinggal di kota München selama enam bulan untuk mengikuti kursus intensif Bahasa Jerman. Saat ini, sudah hampir genap dua tahun sejak saya pertama kali tiba di Jerman, dan masih harus menempuh satu semester lagi hingga bisa menyelesaikan studi S2 saya di Universitas Passau.

Sejak awal saya selalu berpikiran bahwa hidup di negara maju adalah hal yang menakjubkan. Sesederhana karena status negara maju yang selalu digambarkan lebih baik dari negara berkembang. Pun yang selalu kita pelajari di sekolah, negara maju sudahlah pasti lebih maju dari negara berkembang. Pengetahuan ini yang secara tidak langsung mengonstruksi pikiran kita untuk percaya, bahwa hidup di negara maju mungkin saja lebih membahagiakan.

Tapi, seketika sudut pandang itu perlahan pudar dari benak saya sejak saya tinggal di Jerman. Tentu saja tidak semua hal. Hanya saja, selalu ada hal-hal yang menggangu diri saya setiap harinya. Saya pun terus bertanya-tanya, kehidupan seperti apa yang membuat saya lebih nyaman. Hidup di negara maju atau di negara berkembang?

Terbiasa dengan kemudahan transportasi online di Indonesia untuk hampir segala hal, contohnya. Di Indonesia, saya merasa sangat terbantu dengan jasa transportasi online yang dengan mudahnya kita dapat hanya dengan sekali tekan tombol pada ponsel pintar. Mulai dari jasa transportasi, pesan makanan tengah malam, pesan obat di apotek, hingga jasa bersihbersih rumah pun tersedia. Kalaupun tidak menggunakan jasa transportasi online, di beberapa kota, masih ada becak yang bisa kita panggil di jalanan untuk membantu memudahkan kita membawa barang belanjaan dari pasar ke rumah. Tidak perlu banyak berjalan kaki karena harga transportasi umum pun masih tergolong terjangkau.

Sementara di Jerman, tidak semudah itu, kisanak! Jangankan becak, ojek saja tidak ada. Transportasi umum memang sangat memadai, mulai dari bis, tram, metro, dan kereta, semua tersedia. Tetapi, dengan sistem transportasi umum dan tata kota yang sangat baik, halte-halte bis sudah tersedia pada tempatnya masing-masing. Tidak mungkin, kan, di depan setiap rumah tersedia halte? Karena itu, selalu akan ada aspek jalan kaki yang harus diperhitungkan dalam setiap hitungan detik yang berharga.

Terlebih lagi, setiap transportasi umum sudah ada jadwal keberangkatan dan kedatangan yang pasti. Terlambat berjalan kaki satu menit bisa saja membuat saya harus menunggu bis berikutnya selama sepuluh menit. Karenanya, perhitungan waktu juga harus melibatkan berapa lama yang kita butuhkan untuk berjalan kaki. Jalan kaki bisa jadi hal yang biasa kita lakukan. Mungkin juga mudah untuk diadaptasikan di kehidupan sehari-hari. Yang tidak biasa adalah, ketika saya harus berjalan kaki selama lima menit dengan barang belanjaan yang bisa sampai melampaui 10kg setiap minggunya. Bagaimana tidak? Bayangkan saja, jika saya sedang belanja mingguan atau bulanan, saya bisa pulang dengan tiga tas yang berbeda dan penuh barang belanjaan!

Ya, hidup sebagai mahasiswa dengan uang saku pas-pasan memaksa saya untuk rajin memasak setiap harinya supaya tetap bisa bertahan hidup hingga akhir bulan. Setiap kali pulang dari supermarket, saya harus berjalan kaki dari halte bis pemberhentian ke tempat saya tinggal, yang jaraknya sekitar lima menit dengan jalan yang cukup menanjak! Tentu saja pada awalnya ini bukanlah hal yang mudah. Pun hingga hampir dua tahun saya di Jerman, hal ini tetap tidak mudah.

Jika saya tidak ingin menyiksa diri dengan barang bawaan yang berat, biasanya saya pergi bolak-balik ke supermarket di dua hari yang berbeda atau di hari yang sama tetapi pagi dan sore. Sebenarnya saya juga menghindari terlalu sering pergi ke supermarket demi mengatur keuangan dengan baik. Hal ini juga untuk menghindari membeli hal-hal yang sebenarnya tidak saya perlukan. Di saat-saat seperti ini lah, saya sangat merindukan ojek dan juga becak! Pun di Indonesia, kita masih bisa menawar harga di pasar atau pedagang kelontong. Sesederhana membeli telur dengan hitungan kilogram atau membeli tahu dan tempe hanya dengan memberi uang Rp 5.000,-.

Sementara di Jerman, saya tidak bisa menawar harga atau menawar hitungan berat barang yang saya butuhkan. Semua jenis bahan telah ditentukan berat dan juga harganya. Hasilnya, bahan yang kita beli antara lebih sedikit atau lebih banyak dari yang kita perlukan karena kita tidak punya pilihan lain selain mengikuti pasar yang telah disediakan.

Yang membuat saya lebih kaget adalah sistem kesehatan atau pertemuan dengan dokter! Tidak seperti di Indonesia, seringkali kita hanya perlu mengantri di hari yang sama meskipun antrean pasien bisa sampai tiga jam kemudian. Di Jerman, paling tidak saya memerlukan waktu dua minggu sebelumnya untuk membuat janji dengan dokter. Pernah sekali waktu saya membuat janji dengan dokter gigi, dan jadwal yang saya dapatkan adalah satu bulan kemudian! Ya, tentu saja hal ini tidak berlaku untuk kasus sangat darurat yang bisa saja langsung ditangani saat itu juga.

Hal-hal semacam inilah yang justru membuat saya merasa lebih nyaman tinggal di Indonesia. Karena lebih banyak hal yang bisa kita kompromikan secara langsung dalam kehidupan seharihari, seperti dalam hal tawar-menawar harga. Singkatnya, hidup di negara berkembang bisa jadi lebih fleksibel dari hidup di negara maju. Meksipun, tentu saja, dengan semua tantangan ini di Jerman, membuat saya semakin mandiri karena mau tidak mau, apapun harus dijalani. Lebih dari itu, saya pun menikmati pola hidup saya yang baru sejak studi di Jerman, terutama sebagai seorang perempuan.

Lahir dan besar di budaya kolektif membuat saya terkadang tidak bisa bebas mengekspresikan diri karena dihantui oleh bayang-bayang masyarakat di sekitar kita. Sebaliknya, di Jerman, budaya individualistik dan saling menjaga privasi orang lain ternyata membuat saya lebih nyaman dalam mengenali identitas diri yang ingin saya bentuk. Tidak ada yang memberi saya tatapan aneh jika pun saya makan siang di kantin kampus seorang diri. Atau sekedar duduk di taman sambil tidur siang seorang diri. Tidak akan ada orang yang bertanya kenapa kita hanya seorang diri. Tentu tidak semua orang merasa seperti saya. Lagi-lagi, pengalaman setiap orang berbeda dan masing-masing punya tipe kehidupan yang disenanginya. Saya pribadi lebih merasa memiliki lebih banyak ruang untuk berekspresi dan tanpa khawatir orang lain akan berkomentar tentang saya.

Meskipun begitu, budaya individualistik ini juga sempat membuat kaget ketika sedang di kelas. Pasalnya, beberapa mahasiswa yang masih tidak saling mengenal meski berada di kelas yang sama selama satu semester pun adalah hal yang normal. Jangan terkejut, jika mendapat kesempatan untuk belajar di Jerman, dan menemukan beberapa mahasiswa yang tidak pernah saling bertegur sapa selama satu semester, kecuali jika ada tugas kelompok yang mengharuskan adanya interaksi. Untuk saya yang memiliki karakteristik ekstrovert, tentu hal ini bukan hal yang mudah. Saya membutuhkan banyak interaksi! Dan ketiadaan interaksi seringkali menghadirkan rasa terisolir dari lingkungan sekitar. Terkadang, ada perasaan aneh juga.

Apalagi sebagai orang Indonesia, saya terbiasa untuk menyapa orang yang saya kenal ketika saya temui di jalan. Di sini, beberapa kali saya bahkan ragu untuk menyapa orang yang saya kenal dan temui di jalan karena mereka pun tidak selalu menyapa setiap yang mereka kenal dan temui di jalan. Saya terjebak di antara sikap cuek individualistik yang harus saya bangun atau justru saya sedang berusaha untuk beradaptasi dan menghormati budaya individualistik mereka?

Minimnya interaksi ini juga yang membuat banyak mahasiswa tidak berkomunikasi satu sama lain dalam satu hari. Pengalaman saya, sering kali interaksi yang dilakukan hanya ketika diskusi di dalam kelas. Pola komunikasi yang tidak umum untuk saya pada awalnya. Namun, semakin lama saya justru semakin mudah untuk beradaptasi dengan budaya individualistik di sini, yang tidak jarang juga menimbulkan kekhawatiran akan pembentukan identitas diri saya yang baru nantinya.

Pada akhirnya, saya memang hanya harus memilih pola hidup dan nilai budaya seperti apa yang saya ingin pertahankan dalam kehidupan sehari-hari saya. Kolektif dan fleksibel seperti hidup saya di Indonesia ataukah individualistik dan sedikit kompromi seperti di Jerman. Oh, mungkin juga percampuran antara keduanya!

Tapi tetap saja, ojek online dan becak adalah dua hal yang sangat saya rindukan.

* Novi Tri Setyowati adalah salah satu pemenang kompetisi Blog DWNesia 2020

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.