1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Bubarkan Saja Sepak Bola dari Indonesia?

8 Oktober 2022

Saya rasa kita bubarkan sajalah sepak bola yang katanya profesional itu dari muka bumi Republik Indonesia, tulis pemerhati sepak bola Andibactiar Yusuf dalam kolom DWnesia.

https://p.dw.com/p/4HsYq
Tragedi sepak bola di Indonesia
Tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, IndonesiaFoto: Yudha Prabowo/AP/picture alliance

Saya rasa kita bubarkan sajalah sepak bola yang katanya profesional itu dari muka bumi Republik Indonesia. Seharusnya saya tidak perlu menjabarkan lagi penjelasan mengapa dan bagaimananya, perihalnya sangat jelas, kita bagai tidak memahami bahwa sepak bola dan masyarakatnya adalah bagian dari struktur sosial masyarakat Indonesia yang selain memiliki fanatisme dan antusiasme luar biasa. Orang Indonesia memang tak hanya mudah terhanyut perasaan di media sosial, pentas musik dangdut atau ajang pilpres, di tribun sepak bola atau di depan televisi saat menyaksikan siaran langsungnya, kita selalu antusias walau tim yang didukung bisa saja tidak berasal dari tanah kelahiran atau bahkan jauh di seberang lautan.

Sepak bola di Indonesia selalu hanya dianggap sebagai komoditi bagi publik dan ajang mencari panggung untuk sebagian orang yang secara intelektual lebih tinggi. Orang-orang yang selalu berada dalam situasi membutuhkan pendukung untuk melancarkan hasratnya meraih sebuah posisi publik atau bentuk popularitas lainnya. Begitu bangsa Indonesia mencintai sepak bola, demikian pula dengan orang-orang yang coba mendompleng popularitas permainan ini untuk sebuah tujuan tertentu.

Persoalan sepak bola selalu dianggap tak jauh dari urusan permainan olahraga. Kalimat-kalimat saya di atas dan segala pengetahuan yang kita punya sudah menjelaskan seperti apa panggung sepak bola selalu diperebutkan oleh orang-orang dengan kepentingan yang bisa jadi jauh dari urusan permainan itu atau bahkan tidak ada hubungannya dengan bisnis yang dilakukan. Begitu gemerlap dan menyilaukannya permainan ini di tanah air, toh sesungguhnya tidak juga semua orang melihatnya dengan cara yang tepat, tidak juga pemerintah dan para komponennya.

"Football reflects society,” ujar Franz Beckenbauer di hadapan saya sekitar 17 tahun lalu. Ia merujuk pada kemampuan mobilisasi permainan ini, hipnotisnya untuk menjerat orang agar datang ke stadion, sihirnya yang melenakan perasaan sekaligus meninggikan emosi atau daya pikat luar biasanya yang sulit dijelaskan oleh nalar. Dalam posisi itu sepak bola adalah representasi gambaran prilaku sebuah bangsa, apalagi jika mayoritas bangsa itu demikian menggilainya. Kegilaan jauh di atas nalar, rela begadang sampai pagi atau berkelana ke tanah jauh adalah gambaran-gambaran daya hipnotis kelas berat ala sepak bola.

Seperti khittahnya di masa lalu di pra 1992, sepak bola di Inggris adalah permainan kelas pekerja, orang-orang yang selalu berusaha keluar dari himpitan hidupnya dan meletupkan gagasan-gagasan emosionalnya lewat sepak bola. Margaret Thatcher pernah sangat tidak populer di Inggris karena ia begitu anti pada sikap liar pada penonton sepak bola, partai politik musuh utama dari Margaret bahkan pernah mengingatkan memori juara Piala Dunia 1966 adalah ketika Partai Buruh (Margaret berasal dari Partai Konservatif) sedang berkuasa.

Indonesia di era modern memang terlihat sebagai sebuah kekuatan ekonomi yang potensial. Tetapi jumlah penduduk dan ukuran yang raksasa ini menjelaskan bahwa ekonomi kuat ala Indonesia adalah miliksegelintir orang dengan kekayaan luar biasa dan sebagian lainnya adalah kelas menengah (baca ; kelas pekerja). Dengan status dan cita-cita sosial berbeda, tujuan eskapis yang diinginkan jadi berbeda, sepak bola adalah salah satunya dan kebetulan juga adalah salah satu yang utama.

Kesaksian Korban Selamat Tragedi Kanjuruhan

Lalu apakah itu cukup untuk menghasilkan prestasi yang tinggi dan konsisten?

Jawabannya jelas tidak, level kita tak pernah jauh dari "sulit mengalahkan Thailand,” "Bahagia saat menang lawan Malaysia,” "Mulai dikejar Filipina,” dan yang terkini adalah "Vietnam sering dominan jika menghadapi kita,” dan seterusnya. Tak ada usaha sama sekali untuk memahami bahwa permainan ini adalah turunan utama dari segala unsur kehidupan kita. Sebagai tempatnya orang biasa berkumpul kita harusnya sangat paham bahwa mereka-mereka yang datang ke stadion adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat umum bangsa kita. Sifat tidak disiplin, sifat tidak mau taat aturan, sifat siap menggunakan kekuatan dan kekuasaannya….jika memang punya sampai sikap sulit menerima kekalahan. Gambaran sifat yang umum terlihat di kebanyakan orang di negeri ini dan seperti diamini sebagai sebuah kewajaran.

Sudah jadi pemahaman umum jika di Indonesia berurusan dengan yang berbau hukum adalah sesuatu yang sebaiknya dihindari. "Malas ah nanti jadi saksi,” atau "Malas ah! Nanti repot, urusannya bisa kemana-mana dan makan waktu,” adalah hal lumrah terdengar jika terjadi sebuah konflik dengan potensi hukum. Orang malas berhadapan dengan sistem, karena berhadapan dengannya dianggap tidak membuat urusan selesai tetapi justru merumitkan.

Mereka yang punya kuasa nyaris selalu menyalahgunakan kekuasaannya, setali tiga uang dengan kaum pemilik uang. Di jalanan sangat sering kendaraan berplat milik seorang pejabat menerobos jalan dengan bantuan motor polisi, atau jika tanpa bantuan aparat sekalipun sering sekali ia menerobos dengan semena-mena kemacetan Jakarta, kesal dikit bisa turun dan main tonjok atau jika perlu mengacungkan ancaman bahkan senjata.

Paling parah jika sudah berseragam, kita semua paham bahwa kepolisian adalah sebuah instansi berpayung hukum yang diberi wewenang untuk menegakkan hukum, menggiring pesakitan anti hukum sampai pelaku kejahatan ke meja pengadilan…..jika terancam boleh membela diri dengan caranya. Di level tinggi banyak dari mereka (bangsa Indonesia biasa sekali menyebut kata oknum untuk menghindari persamaan terhadap semua) yang dekat dengan kekuatan uang, jika perlu memerasnya atau sesekali bahkan rutin menerima "uang pengamanan” dari mereka (cerita mobil pejabat atau orang kaya dikawal motor di paragraf atas adalah sebuah ilustrasi sederhananya)

Publik kini sedang ramai membahas kasus Ferdy Sambo yang akhirnya dipecat dari kesatuan dan sebentar lagi akan menghadapi persidangan. Kabarnya ia adalah salah satu contoh sosok yang dekat dengan kekuatan uang di level atas, kabarnya pula menguasai serta melindungi sentra-sentra perjudian dan juga konon pengaruh besar dalam permodalan politik di Indonesia (saya menggunakan kata konon karena secara hukum ada ungkapan ‘praduga tak bersalah' bagi para tersangka). Hal-hal yang membuat Ferdy menjadi sangat kaya tak terkira dan sungguh punya kuasa untuk banyak hal secara dirinya pribadi.

Di level atas pula sudah sangat umum jika dekat dengan aparat sangat dibutuhkan, siapa tahu diperlukan untuk memudahkan urusan atau jika ada hal-hal yang ingin diselesaikan dengan cepat segera saja menghubungi kenalan dari kesatuan lalu minta bantuannya untuk membereskan. Hal akan berbeda jika urusannya dengan orang-orang kebanyakan. Kebanyakan orang kita yang belum tentu berduit, istilahnya. Mereka yang setiap pekan membanjiri stadion sepak bola dan memilih untuk duduk di belakang gawang dengan alasan fanatisme…..padahal bisa jadi karena bokek. Ingat, belakang gawang adalah kelas termurah dan rataan harga tiket termurah stadion kita adalah sekitar Rp40.000-Rp80.000. Kanjuruhan adalah salah satu yang cukup mahal dan harga tiket belakang gawangnya adalah Rp60.000 (sekitar 4 USD)

Orang-orang di belakang gawang secara pandangan seharusnya tidak enak. Salah satu sisi gawang akan terlihat jauh dan dibelakangi oleh gawang di dekatnya. Dengan kemungkinan kibaran bendera-bendera besar para pendukung, duduk di belakang gawang bukanlah pilihan yang tepat jika datang ke stadion untuk sungguh menyaksikan pertandingan dengan nyaman adalah tujuan. Belakang gawang biasanya dipakai untuk menunjukkan fanatisme dan antusiasme, tak heran jika situasi di belakang gawang sering menjadi lebih menghibur ketimbang laga di atas lapangan.

Orang-orang yang duduk di belakang gawang dipastikan punya gairah besar mendukung dan sering sekali responsif impulsif jika terjadi sesuatu. Meloncat turun ke lapangan misalnya, pitch invasion memang bukan hal yang dibolehkan, tetapi sangat sering terjadi di dunia ini. Saya dan mungkin kalian akan kesulitan jika harus menghafal ada berapa banyak kejadian seperti ini. Yang saya paling ingat ketika Lazio menjadi juara Serie A di Italia di akhir di musim 1999-2000, ratusan (atau mungkin ribuan) orang sudah turun ke sisi lapangan bersiap untuk masuk ke dalam lapangan untuk memeluk hangat serta merayakan bersama para pemain idola.

Penyalahgunaan kekuasaan

Tak ada kekerasan dalam peristiwa itu atau kejadian-kejadian pitch invasion lainnya. Jawabannya saya rasa mudah, karena tak ada abuse of power sekaligus rasa parno berlebihan dari orang-orang yang melakukan pengawasan dan penjagaan. Pada kasus di Stadion Olimpico di atas, seingat saya ratusan steward tetap bersiap, ratusan polisi lainnya pun berjaga, jumlah di luar saya yakini lebih banyak sebagai bentuk antisipasi. Mereka paham cara mengontrol massa, paham siapa sejatinya massa sepak bola dan yang paling penting mereka pun paham bahwa kuasa mereka terhadap penegakan hukum tidak membuat mereka bisa melakukan segala sesuatunya dengan semena-mena.

Kejadian di Kanjuruhan bagi saya bukan cuma persoalan abuse of power atau kekerasan aparat terhadap sipil, tetapi juga adalah persoalan bagaimana kekuasaan melihat orang-orang kecil. Sekali lagi saya tahu dan faham akan larangan FIFA pada kelakuan pitch invasion. Tak ada pembenarannya, sungguh, tetapi respons aparat dengan memukuli menendang atau bahkan mengeroyok adalah sesuatu yang sungguh berlebihan. Mereka cukup dihentikan dan digelandang keluar, pada kasus di Indonesia bahkan sering sekali hanya cukup dengan diajak bicara baik-baik sembari ditarik keluar.

Para Aremania tak mungkin akan melukai atau menyakiti idola-idola mereka di atas lapangan. 11 orang dengan lambang singa di dada bagi Aremania bagaikan utusan Tuhan yang pantas mereka puja dan puji sepanjang 90 menit pertandingan dan dihormati sepanjang masa. Emosi kekalahan pertama di kandang dari Persebaya selama 23 tahun mungkin membuat mereka ingin bicara langsung pada para pemain kepantasan mereka mengenakan jersey Arema……tak lebih. Respons kekerasan dimanapun jelas akan mengundang respons kekerasan lainnya, respons semakin banyak yang meloncat adalah salah satunya.

Sepengetahuan saya walau terlambat beberapa menit karena menunggu kehadiran kubu Persebaya, konferensi pers sempat berlangsung dan pelatih Javier Rocha sempat berbicara. Artinya situasi seperti tidak ada apa-apa sampai beberapa Aremania menerobos masuk ke dalam ruangan konferensi, meminta pertolongan medis dan di antaranya mereka ada yang meregang nyawa di ruangan itu.

Penulis adalah pengamat sepak bola,  Andibachtiar Yusuf
Penulis: Andibachtiar YusufFoto: Andibachtiar Yusuf

Banyak orang bertanya, mengapa upaya membubarkan massa di atas lapangan yang jumlahnya ratusan justru dengan cara menembakkan gas air mata berulang kali ke tribun penonton? Bukankah ini justru akan membubarkan ribuan orang yang masih ada di tribun dan memaksa mereka mencari jalan keluar untuk pergi? Iya mereka memang bubar, namun 2 dari 3 pintu yang tersedia di sana terkunci rapat, yang terbukapun hanya menyediakan ruang sangat sempit untuk meloloskan diri. Pilihan terbaik adalah turun ke lapangan dan berhadapan langsung dengan aparat.

Pintu 12, 13 dan 14 terletak di salah satu tribun di belakang gawang dan ketika kawan-kawan mereka yang masuk ke lapangan dipukuli dan ditendangi, respons cepat mereka adalah berteriak dan bisa jadi melempar ke dalam lapangan. Apakah ini membahayakan? Saya yakin tidak, aparat tinggal mengomando siapapun yang berada di lapangan untuk bergeser 10-15 langkah untuk menjauh karena saya yakin tak ada Superman di tribun yang mampu melempar lebih jauh dari 20 meter. "Melempari” mereka balik dengan gas air mata adalah kekonyolan, apalagi ketika mereka berlarian ke sana ke mari, tembakan gas air mata sama sekali tidak berhenti "Ada 40 tembakan setidaknya dilepaskan oleh aparat,” tulis Washington Post lewat analisa visual mereka.

Catatan resmi menyebut angka 131, banyak orang menyebut kisaran 181 sampai 187 korban tewas dalam kejadian ini, banyak dari mereka berusia sangat muda bahkan ada yang masih balita "Saya melihat anak kecil berusia sekitar 3-5 tahun menjerit-jerit mencari orang tuanya dan lalu jatuh terkapar,” ujar Sindhu Barnabas salah satu Aremania yang selamat dalam kejadian. Ia menyebut kekerasan terhadap kendaraan taktis aparat yang parkir di dalam stadion adalah bentuk respons "Kami tak mungkin menang bertarung dengan orang-orang bersenjata, kami hanya bisa merusak apa yang mereka miliki,” jelasnya lewat telepon ketika saya hubungi sehari setelah kejadian.

Kanjuruhan adalah gambaran seperti apa bangsa kita sesungguhnya, sampai ketika akhirnya saya menyelesaikan tulisan ini tak ada satupun pejabat berwenang turun dari kekuasaannya. Menteri Olahraga tetap berharap Piala Dunia U20 FIFA tahun depan terjadi di sini, Ketua PSSI menyebut bahwa ia tak bertanggung jawab atas kejadian sembari menunjuk pada panpel yang jelas-jelas mengatur pertandingan, Komite Disiplin federasi (PSSI) menghukum panpel (panitia penyelenggara) Arema sekaligus melarang Arema menjadi tuan rumah laga. Puncaknya pemerintah dan para petinggi menyalahkan stadion alias venue sebagai tidak standar padahal tempat yang sama sudah bertahun-tahun menjadi kandang Arema. Di 2007 dan 2008 saya pun berulang kali shooting di sana dan memang tahu sekali standar kelayakan stadion itu serupa saja dengan kebanyakan stadion di Indonesia.

Tulisan ini saya mulai kerjakan di 2 Oktober 2022 hanya sekitar 16 jam dari kejadian, saya coba menyelesaikannya 4 hari kemudian karena saya menunggu hal besar ucapan para petinggi yang menyebut dirinya bertanggung jawab pada tragedi paling mematikan di era (sepak bola) modern. Nyatanya saya sekali lagi harus kecewa, mungkin di negeri ini jabatan bukanlah urusan tanggung jawab, jabatan adalah hak yang layak diperjuangkan jadi ketika Aremania menuntut permintaan maaf pada Presiden atas kelalaian stafnya, tuntutan itu dianggap banyak orang sebagai sesuatu yang berlebihan "Presiden sudah memberi santunan pada korban,” ujar sebuah telepon di radio. Padahal kita tahu bahwa sebanyak apapun uang tak akan mampu mengembalikan nyawa satu orangpun.

Ketika para tersangka sudah ditetapkan, tak ada pula nama-nama pemegang otoritas di situ. Iya sih intervensi terhadap federasi adalah penyalahgunaan statuta FIFA, tapi bukankah kasus korupsi Michel Platini dan Sepp Blatter diinvestigasi dan dieksekusi oleh aparat hukum? Sampai ketika akhirnya banjir mereda, saya mampu tiba di rumah dan mengirimkan tulisan ini, tak satupun petinggi menyebut dirinya bertanggung jawab lalu jika perlu meletakkan jabatannya. Sungguh jika ujung dari peristiwa ini sama-sama saja seperti banyak kematian lainnya dari sepak bola atau korban-korban kekerasan aparat, saya selesaikan saja tulisan ini di hari minggu itu.

Sungguh saya tak paham sekali dengan apa yang terjadi dengan bangsa saya ini, perjalanan panjang sebagai orang-orang merdeka tidak membuat kita mampu menjadi bangsa yang hebat. Kita banyak sekali menghasilkan individu-individu hebat, tetapi sebagai sebuah kesatuan unit bernama bangsa kita sungguh tak terkira berantakannya. Barangkali kita memang tak pantas melakukan sesuatu secara bersama, bekerja sama dalam kelompok atau melakukan suatu hal sebagai satu unit bernama tim! Makanya, bubarkan saja permainan tim bernama sepak bola itu.

 

Andibachtiar Yusuf

Pemerhati sepak bola

 

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.