1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Beras Analog, Beras ‘Cetakan’ yang Diklaim Ampuh Buat Diet

29 September 2022

Dibanderol dengan harga lebih mahal dan klaim turunkan berat badan serta segudang manfaat kesehatan lain, benarkah beras analog baik untuk diet? Adakah efek sampingnya?

https://p.dw.com/p/4HT6s
'Beras' dari bahan dasar jagung
'Beras' dari bahan dasar jagungFoto: C. Andhika/DW

Anggapan makan nasi bikin gemuk dan kadar gula naik membuat banyak orang mulai mengurangi konsumsi nasi. Bahkan, ada 'aliran' orang yang menolak makan nasi sama sekali.

Namun sebagian lainnya memilih untuk mengonsumsi jenis 'beras' dari bahan lain sebagai pengganti beras padi, misalnya beras porang, beras shirataki, dan beras jagung. Meski 'bernama' beras, ini bukanlah beras konvensional seperti yang selama ini dikenal masyarakat.

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia, beras adalah padi yang telah terkelupas kulitnya. Namun beras yang tidak terbuat dari padi atau beras analog terbuat dari bahan pangan alternatif selain padi. Shirataki, misalnya, dibuat dari glukomanan yakni sejenis serat yang berasal dari akar tanaman konjak. Sementara beras porang dibuat dari tanaman porang.

Tren makan nonberas ini juga ramai di kalangan orang-orang yang ingin menurunkan bobot tubuh dengan cepat. Harga mahal bukan halangan bagi mereka. Elsa Simanjuntak, karyawati di Jakarta, adalah salah satu orang yang ingin mencobanya.

"Engga tiap hari makan shirataki. Lihat-lihat situasi saja," katanya kepada DW Indonesia. "Kalau lagi merasa gendut bisa tiga hari berturut-turut makan shirataki. Habis itu lumayan turun berat badannya."

Baginya, asupan shirataki ini tidak sekadar soal menurunkan bobot tubuh, tapi juga mengontrol gula darah. Elsa merasa lebih mudah mengantuk dan gula darahnya naik dengan cepat bila mengonsumsi nasi putih.

"Worth trying-lah. Buat variasi saja lebih tepatnya. Kadang suka diganti dengan quinoa juga, daripada harus diatur cuma boleh makan nasi putih 4 sendok makan saja, mending agak banyak tapi shirataki."

Sayekti Rahayu, seorang karyawati di Jakarta, juga pernah mendengar klaim serupa. "Sering dengar klaimnya bisa untuk diet, makan kenyang tapi timbangan aman," kata Sayekti kepada DW Indonesia.

Ia sebelumnya pernah menjajal shirataki setidaknya selama setahun sebagai bagian proses memperbaiki pola hidup dan program hamil. Pada akhirnya dia pun memilih konsultasi ke dokter gizi. "Coba karena penasaran, tapi buat saya sih tidak terlalu pengaruh ke berat badan."

Apa itu beras analog?

Dibanderol dengan harga yang lebih mahal dan diklaim bisa menurunkan berat badan serta segudang manfaat kesehatan lain, apa sih sebenarnya beras analog itu?

Profesor Slamet Budijanto, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bandung, mengungkapkan bahwa beras analog adalah makanan berbentuk beras yang tidak terbuat dari padi, alias beras alternatif. Beras ini dibuat dari sumber karbohidrat lain dan dibentuk seperti beras padi. Namun ini bukanlah hal baru di Indonesia.

"Sebenarnya sudah muncul sejak zaman Presiden Pertama RI, zaman Pak Soekarno di tahun 60-an. Tapi dulu namanya beras Tekad yang dibuat dari ketela, jagung, kedelai," katanya kepada DW Indonesia.

"Cuma saat itu teknologi belum seperti sekarang, sehingga kurang berhasil. Ketika dimasak, hancur. Kemudian saya berpikir, Indonesia 'kan punya banyak sumber karbohidrat yang bisa diolah menjadi nonberas. Saya mulai meneliti soal beras nonberas, akhirnya 2011 saya mulai kenalkan beras analog," kata pria yang sudah meneliti beras analog lebih dari 10 tahun ini.

Penelitiannya membuahkan hasil. Beras analog ini tak lagi hancur saat dimasak. Dia menggunakan teknik ekstrusi panas (teknik pembentukan dan penekanan dengan pemanasan) kemudian dicetak seperti butiran beras.

"Dulu pakai ekstrusi dingin makanya hancur, sekarang pakai ekstrusi panas dengan pemanasan 80 derajat sehingga sebenarnya nonberasnya sudah matang. Saat dimasak di rumah, berasnya tidak akan hancur dan berubah bentuk, tetap seperti butiran nasi."

"Pada dasarnya semua bahan pangan sumber karbohidrat itu bisa dibuat beras analog. Bahkan pernah ada yang minta dibuatkan beras analog dari bonggol pisang. Ya bisa saja, tapi hasil warnanya kurang menarik, baunya kuat, dan rasanya kurang enak." 

Apa efek sampingnya?

Namun konsumen seperti Elsa merasa khawatir untuk mengosumsi beras analog dalam jumlah banyak karena ini adalah beras buatan manusia dan telah diproses. "Setelah tahu human made (buatan manusia) agak waswas, takut ada efek sampingnya," ujar Elsa.

Profesor Slamet tak membatah bahwa memang beras analog telah dicetak mirip beras padi. Namun ia mengatakan bahwa sisi positifnya adalah jenis beras ini bisa diatur proses pembuatannya sesuai keinginan.

"Selain sumber karbohidrat, pemilihan bahan baku beras analog juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya mau kadar seratnya lebih tinggi bisa ditambah tepung porang. Mau lebih sehat tinggal ditambah vitamin dalam campurannya. Nanti buat yang diabetes juga bisa, tinggal kebutuhannya saja mau apa."

"Saya pernah membuat beras analog dicampur dengan tepung ampas kelapa biar gurih, ditambah bekatul agar seratnya tinggi. Ternyata rasanya enak sekali dan saat diuji di lab efeknya bisa menjaga (kadar) kolesterol. Jadi semuanya bahan alami, kalau dicampur aditif berbahaya mungkin ketakutannya beralasan."

Benarkah bisa buat diet?

"Pada dasarnya beras alternatif ini dipercaya mempunyai kandungan nutrisi yang lebih baik untuk diet. Misalnya, kandungan karbohidrat yang lebih rendah sampai dengan kandungan seratnya yang tinggi sehingga bisa menunda lapar," kata ahli gizi Ika Setyani kepada DW Indonesia.

"Biasanya beras jenis ini baik digunakan untuk orang yang akan menurunkan berat badan dalam waktu cepat atau pasien diabetes."

Ika mencontohkan 100 gram beras jagung mengandung 60 kkal, lemak 6 gram, protein 4 gram, gula 0 gram, dan serat 10 gram. Sedangkan nasi putih per 100 gram mengandung 175-180 kkal, 3 gram protein, 0,3 gram lemak dan 39,8 gram karbohidrat serta 0,2 gram serat.

Meski demikian, Ika juga mengungkapkan bahwa mengganti beras tidak serta-merta jadi penentu keberhasilan diet.

"Konsepnya tidak seperti itu. Tetap harus jaga makanannya, kalau makan banyak beras analog yang sudah rendah kalori, tapi lauknya berlemak dan berkalori tinggi, kurang serat, kebanyakan gorengan, ditambah kopi susu manis ya tidak akan pengaruh."

"Prinsipnya harus gizi seimbang biar tubuh ideal dan sehat. Bukan menghilangkan tapi mengganti, bukannya tidak makan nasi sama sekali tapi menggantinya dengan sumber lain yang lebih sehat, misalnya kentang, nasi merah, dan lainnya, termasuk beras analog, asal paduan lauknya juga tepat, sayur dan buah tercukupi." 

Jadi bagaimana diet yang tepat?

"Hal yang paling baik dilakukan ketika sudah memutuskan untuk diet penurunan berat badan adalah sadar, punya komitmen dan konsisten," ucapnya.

Sadar artinya mengetahui kebiasaan atau pola makan apa yang kurang baik selama ini dengan jujur, ujar Ika Setyani. Misalnya kebiasaan minum minuman berkadar gula tinggi, kurang aktivitas olahraga dan lebih sering jadi "kaum rebahan." Sedangkan komitmen berarti ada kemauan untuk mengubah pola makan atau kebiasaan yang tidak baik menjadi baik.

"Setelah berkomitmen, yang terakhir adalah konsisten untuk menjalankan perubahan," ujarnya menutup pembicaraan. (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.