1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Benarkah Kekhawatiran Internasional tentang KUHP Berlebihan?

13 Desember 2022

Ketika pasangan warga negara asing berpacaran dengan WNI, lalu dilaporkan orang tua WNI tersebut, berarti orang tua harus rela juga anaknya diproses, ujar Wakil Menteri Kemenkumham.

https://p.dw.com/p/4KpHV
Aksi penolakan pengesahan KUHP di Yogyakarta, 6 Desember 2022
Aksi penolakan pengesahan KUHP di Yogyakarta, 6 Desember 2022Foto: Slamet Riyadi/AP/picture alliance

Disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) minggu lalu menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk dunia internasional, yang menganggap aturan tersebut berpotensi melanggar hak berekspresi dan hak asasi manusia (HAM).

Salah satu pasal yang banyak disorot yakni tentang perzinahan yang mengatur seks di luar nikah. Pasal ini bahkan menjadi sorotan dunia internasional, tak terkecuali dari pemerintah Amerika Serikat (AS). Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price bahkan menyebut Negeri Paman Sam khawatir kondisi tersebut akan berdampak yang negatif bagi iklim investasi warga AS di Indonesia.

Tidak hanya investasi, KUHP juga dilaporkan berpotensi menjadi penyebab penurunan angka wisatawan di Indonesia. Padahal, perekonomian Indonesia, utamanya di Bali, sangat bergantung pada sektor pariwisata. Sejumlah media juga telah melaporkan turis dari Australia dan sejumlah negara lain akan mencari daerah tujuan wisata lain apabila mereka dilarang untuk berada satu kamar dengan pasangannya.

Zina dan kumpul kebo, siapa yang bisa melapor?

Pasal 411 ayat (1) KUHP baru menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan dapat diancam pidana penjara selama satu tahun atau denda paling banyak kategori II. Sementara pasal 412 ayat (1) berbunyi setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Namun pada bagian berikutnya, dijelaskan pula bahwa untuk bisa dituntut dengan pasal-pasal tersebut, harus ada pengaduan dari suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. Sementara bagi mereka yang tidak terikat perkawinan, pengaduan bisa dilakukan oleh orang tua atau anak. Dijabarkan pula bahwa pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (12/12), Wakil Menteri Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa dengan berlakunya pasal KUHP, peraturan daerah (perda) di bawahnya tidak akan berlaku lagi.

"Jadi Satpol PP yang sering melakukan sweeping, razia, penggerebekan tak bisa lagi melakukan itu karena ini merupakan delik aduan yang absolut," kata dia. 

Namun seperti telah diberitakan sebelumnya, KUHP ini baru akan berlaku tiga tahun setelah tanggal diundangkan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sebelumnya mengatakan bahwa waktu tiga tahun tersebut akan dipakai untuk sosialisasi ke berbagai pemangku kepentingan. Ia juga mengimbau para pihak yang keberatan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Pengesahan RKUHP

Orang tua lapor? Harus siap anak ikut dipenjara

Sebelumnya, pasal perzinahan dinilai membawa dampak negatif pada sektor pariwisata dan investasi di Indonesia. Namun pengamat hukum kebijakan publik Albert Aries menjelaskan pasal perzinaan dalam KUHP baru adalah delik aduan absolut.

"Tidak bisa pihak lain melapor, apalagi sampai main hakim sendiri. Jadi tidak akan ada proses hukum tanpa pengaduan dari pihak yang berhak dan dirugikan secara langsung," ujar Albert Aries dalam sebuah pernyataan.

Hal senada disampaikan oleh Edward Omar Sharif Hiariej yang menyampaikan bahwa pasal yang selama ini diributkan soal perzinaan berlaku jika ada delik aduan absolut sehingga, menurutnya, wisatawan tidak bisa dijerat dengan pasal ini.

"Ketika ada turis sepasang datang berlibur ke Indonesia tidak terikat perkawinan sah lalu sekamar, maka yang bisa mengadukan itu hanya dua kemungkinan yaitu anak dan orang tua - yang tidak ada di Indonesia dan berada di luar negeri, jadi ini kekhawatiran yang berlebihan," kata Edward Omar Sharif Hiarie yang akrab dipanggil Eddy kepada para wartawan di Jakarta. 

Lebih lanjut Eddy menjelaskan bahwa arti kata absolut adalah 'tidak boleh dipisah'. Artinya, ketika ada pasangan warga negara asing berpacaran dengan warga Indonesia lalu dilaporkan orang tua dari WN Indonesia tersebut, ini berarti orang tua harus rela juga anaknya diproses.

"Orang tua melaporkan pacar anaknya yang orang asing. Maka dia harus rela juga anaknya masuk penjara. ... Dia tidak bisa melaporkan si bule (orang asing) itu saja tapi keduanya harus diadukan. Artinya bisa terjadi orang tua itu sudah merelakan anaknya untuk dipenjara atau kena denda," kata Eddy.

"Kesan kolonial"

Pasal lainnya yang juga menerapkan delik aduan adalah pasal 218 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Dalam pasal itu menyatakan bahwa "menyerang kehormatan atau harkat dan martabat" presiden atau wakil presiden dapat dipidana dengan hukuman penjara tiga tahun dan denda Rp200 juta.

Selain itu, pasal 219 juga melarang menempelkan menyiarkan gambar atau tulisan yang "menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden." Di pasal berikutnya diterangkan bahwa tindak pidana ini dapat dituntut berdasarkan aduan oleh presiden atau wakil presiden sendiri baik secara langsung maupun tertulis.

Pakar Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti mengatakan pasal penghinaan terhadap presiden ini membuat paradigma KUHP lekat dengan kesan kolonial.

"Seharusnya hilang saja, kalau lembaga negara seperti presiden merasa terhina 'kan ada pasal yang umum sekali untuk semua orang, pejabatnya pun bisa," ujar Bvitri kepada DW Indonesia. "Cara pandang itu yang keliru. Justru 'kan pejabat negara itu yang punya kekuasaan jadi tidak bisa diberikan privilege khusus melalui KUHP."

Namun demikian, dia mendorong masyarakat untuk selalu menyuarakan aspirasi untuk mengungkapkan fakta-fakta yang ada. "Karena kalau tidak kita akan menerima hal yang keliru itu sebagai kebenaran," ujarnya. (ae)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.