1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bangladesh: Murka Sang Ayah

20 April 2018

Selama tiga tahun Ajoy Roy telah menunggu jawaban dalam kasus pembunuhan putranya Avijit. Blogger itu hanya satu dari 10 aktivis yang tewas di tangan kelompok islamis radikal di Bangladesh.

https://p.dw.com/p/2wJD6
Bangladesch Ajoy Roy, Vater der ermordeten Bloggerin Avijit Roy
Foto: Imago/Zuma Press

Untuk bernafas saja Ajoy Roy merasa sulit. Kondisi kesehatannya yang memburuk membuat Roy hanya dapat mendekam di dalam kamar. "Saya marah dan sakit hati, tapi saya juga orang sabar yang bisa mengatasi kejutan dengan penuh martabat," ungkap Anjoy Roy dengan suara tegas ketika bertemu dengan Deutsche Welle. "Terkadang saya tidak bisa menahan air mata saya," imbuhnya beberapa saat kemudian. "Bagaimana pun, saya adalah ayahnya. Dan setiap kali saya melihat gambar putra saya, maka saya selalu bertanya pada diri saya: Kenapa Avijit, kenapa kamu harus kembali?"

Terkungkung

Ajoy Roy adalah pensiunan profesor fisika yang bertabur penghargaan di sepanjang karirnya. Roy terlahir sebagai generasi yang berjuang untuk kebebasan. Seperti kaum intelektual lainnya pada tahun 1971 ia mengangkat senjata untuk memperjuangkan kemerdekaan Bangladesh.

Saat itu, mayoritas Muslim Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan dengan bantuan India. Sejak saat itu, kelompok sekuler dan islamis saling berebut kekuasaan di Bangladesh. Ajoy Roy berpihak pada negara sekuler yang menempatkan agama sebagai urusan pribadi. Sepanjang karir akademiknya, ia selalu mendukung pendekatan pendidikan humanis yang mencari jawaban lewat bantuan ilmu pengetahuan. "Saya bangga atas pencapaian akademik yang saya raih,” ungkap Profesor Roy. "Tapi banyak yang telah berubah. Kebebasan sipil merosot di Bangladesh, dan ruang bagi kebebasan berpikir semakin dipersempit.”

Putranya yang terbunuh, Avijit juga menempuh jalur akademisi. Dia kuliah di jurusan teknik di Dhaka, meraih gelar doktor di Singapura dan berimigrasi ke Amerika Serikat tahun 2007. Di sana ia menjadi pengembang ‘software‘ dan mulai aktif dalam blog ateis ‘Mukto Mona‘ (Jiwa yang Bebas). Seperti ayahnya Ajoy, Avijit juga adalah seorang humanis sekaligus pemikir liberal. Tapi tidak seperti ayahnya, Avijit adalah anak dari generasi digital. Dia terampil menggunakan sosial media untuk menggagas diskusi tentang peran Islam di era teror. Avijit juga menerbitkan beberapa buku, di antaranya ‘The Virus of Faith‘ (Virus Iman).

Kasus pembunuhan yang tak terungkap

Ketika Avijit Roy kembali dari AS pada Februari 2015 untuk mengikuti pameran buku di Dhaka, ayahnya dengan serius memperingatkannya. Saat itu, beberapa kritikus agama, ateis, blogger dan penganut kepercayaan yang berbeda terbunuh dalam sejumlah serangan terencana. Dia ingat saat itu Avijit bertanya padanya: "Kenapa kaum fundamentalis harus membunuhku, Ayah, saya hanya seorang penulis.” Jeda panjang pun terjadi. "Betapa suatu pemikiran yang polos, dan dia telah membayar harga tinggi untuk itu,” tambah Sang Profesor.

Menurut pengakuan saksi mata, polisi berada tidak jauh dari lokasi kejadian ketika para pembunuh yang mengatasnamakan Islam menyerang blogger tersebut dengan parang dan golok. Namun tidak ada yang mencegahnya, dan tidak seorang pun yang dihukum hingga hari ini. Hal yang sama berlaku bagi sebagian besar korban. Setidaknya bagi 10 blogger yang terbunuh antara tahun 2013 dan 2016. Serangan kelompok Islamis juga dialami warga asing serta penganut agama yang berbeda.  Apakah negara tidak peduli untuk menyelidiki kasus teror ini? Ajoy Roy tertawa sinis. "Saya tidak dapat menjawabnya secara langsung. Entah mereka yang berwenang memang tidak mampu atau tidak layak. Atau mereka tidak punya niat. Apa lagi yang bisa saya katakan?"

Bagaimanapun ahli fisika itu tidak melihat bahwa negaranya sedang menuju ke arah negara teokrasi. "Pembunuhan itu adalah pekerjaan kaum fundamentalis. Tapi ini adalah kelompok kecil. Sebagian besar warga memilih sekuler, negara toleran," Ajoy Roy mengonfirmasikan. Dia mendesak pemerintah untuk mengingat "bahwa konstitusi kita tersusun atas aturan negara sekuler dan sosialis." Veteran perang pembebasan itu pun membuka lembaran album foto lama. Avijit dan adik laki-lakinya suka melahap berbagai buku dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis sejak usia dini, kata ayahnya dengan bangga, sebelum pikirannya kembali ke politik. "Bangladesh secara politik salah urus. Kami telah gagal menegakkan keadilan bagi para blogger yang terbunuh. Jika ini terus berlanjut, Bangladesh akan menjadi negara anarkis."

Kehilangan keseimbangan

Hossain Toufique Imam hanya empat tahun lebih muda dari Ajoy Roy. Dia juga bagian dari generasi pejuang kemerdekaan. Namun Imam yang berusia 79 tahun tersebut memilih karir di bidang politik. Penasehat politik Perdana Menteri Sheikh Hasina itu menolak tuduhan yang diarahkan kepada pemerintah. Dalam semua kasus yang terungkap, penyelidikan sedang berlangsung dan sebagian besar pembunuh para blogger akan segera menemui titik akhir. "Anda akan segera mendengar putusan pengadilan," janjinya. Namun dalam kasus Avijit Roy, dokumen tuntutan bahkan belum ada.

Imam menekankan bahwa pemerintah tidak menoleransi militansi, dan mengupayakan kebijakan 'nol toleransi' atas kaum radikal yang menggunakan kekerasan. Namun di saat yang sama, seperti para menteri terdahulu, ia juga menilai para blogger turut bersalah atas pembunuhan mereka. "Bangladesh adalah negara mayoritas Muslim. Dan beberapa orang sangat religius," bantahnya. "Jadi, ketika Anda memutarbalikkan Quran yang merupakan kitab suci dan mengomentari kehidupan Nabi, beberapa orang marah. Mereka kehilangan keseimbangan. Begitulah cara para blogger itu membawa hal tersebut kepada diri mereka sendiri."

Baca juga: Eksekusi Mati Bagi Tokoh Islamis Bangladesh

Protest Ermordete Journalisten in Bangladesch
10 blogger Bangladesh terbunuh sepanjang 2013 dan 2016 di tangan kaum ekstrimisFoto: Getty Images/AFP

Menurutnya kebebasan berekspresi bukan berarti mendapat tiket gratis untuk melukai perasaan religius orang lain. Imam menekankan sifat sekuler Bangladesh yang harus dilindungi. "Musuh sekularisme adalah para blogger dan yang membunuh mereka. Keduanya adalah ekstrimis. Kita harus membawa para ekstrimis ini ke jalur yang normal. Itulah tugas utama politik."

Di atas atap madrasah Masjid lal Bagh di jantung kota tua Dhaka, Mufti Fayezullah menolak bertanggung jawab atas pembunuhan para blogger liberal dan penulis yang mengeritik agama. Di "negara Islam sejati," tambahnya, tidak akan ada pembunuhan seperti itu. Fayezullah percaya ada konspirasi yang bertujuan menyerang Islam. Dia adalah salah satu Islamis yang paling berpengaruh di negara itu dan senang jadi sorotan publik.

"Untuk Muslim, Allah dan Nabi yang Agung adalah yang paling penting. Jika Anda menyalahgunakannya, kami merasa diserang.” Dia menambahkan bahwa ia tidak mendukung aksi main hakim sendiri. "Tapi kami menuntut agar negara bertindak dan menghukum musuh Islam.” Baginya, hukuman bagi para ateis termasuk di antaranya hukuman mati.

Pada tahun 2014 Mufti Fayezullah secara terbuka menyerukan eksekusi terhadap seorang menteri yang telah menyerukan kritik atas ziarah ke Tanah Suci. Setelah protes besar-besaran di jalanan dari kalangan Islamis, Perdana Menteri Sheikh Hasina menghentikan menteri terkait, Latif Siddiqui. Apakah pemerintah sedikit demi sedikit menyerah pada tuntutan kaum Islamis agar mereka tidak beralih kepada jihadisme global? Selain itu, pemilihan parlemen akan segera berlangsung. Para elit politik juga mencari dukungan untuk tetap berkuasa. Di negara konservatif seperti Bangladesh, tidak ada yang berani secara terbuka mendukung kaum ateis.

Bermain dengan api

Sara Hossain dengan penuh keprihatinan mengamati perkembangan yang terjadi. Dia salah satu pengacara terbaik di negara itu dan kerap bersidang di Mahkamah Agung. Ayahnya adalah ketua komisi, yang pasca-perang pembebasan tahun 1971 menyusun konstitusi sekuler. "Hari ini, kami menghadapi bukan saja kerelaan untuk mentolerir sikap tidak toleran, tapi juga harus benar-benar menerimanya," ungkap Sara Hossain.

Ia merasa politik tidak lagi berkomitmen terhadap sekularisme, meskipun itu prinsip dasar dalam Pembukaan Konsitusi. "Tapi kami tidak lagi percaya bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak akan kebebasan dan keleluasaan untuk berekspresi, tanpa memandang apapun agama mereka."

Seperti negara lainnya, Bangladesh menyaksikan serangan teror utama di jantung ibu kota, yang terjadi pada Juli 2016. Ketika serangan terjadi, 20 warga sipil terbunuh di salah satu restoran populer di kawasan yang ramai dengan orang asing. "Apa yang kurang diperhatikan dunia," kata Sara Hossain menekankan, "adalah adanya pergeseran secara berlahan," melalui sejumlah konsesi kecil atas tuntutan lingkaran kelompok Islamis.

Sara merujuk pada pemindahan"Dewi Keadilan" di depan Mahkamah Agung. Patung baru dari Dewi Keadilan kuno, Justitia, telah dipindahkan musim panas lalu dari pintu masuk utama setelah kaum islamis seperti Mufti Fayezullah memprotes "degenerasi budaya" dan memobilisasi warga untuk menentang "penyembahan berhala".

Pengacara Hak Asasi Manusia Sara Hossain memperingatkan perihal ‘bermain dengan api'. Perubahan menakutkan di Bangladesh tidak begitu nyata terlihat, katanya, "tetapi itu mengubah ruang di mana Anda hidup. Ini mengubah cara Anda hidup, dan itu mengubah apa yang dapat Anda katakan.”

(ts/hp, Ed: Petersmann, Sandra)