1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Mungkin Kamu Menyukai Musikku, Tapi Membenci Aku?

5 Januari 2023

Saat akhirnya ditawari kontrak, Chris Derek ingin terbuka tentang identitas gender nonbinernya. Namun, ia sempat khawatir karena gender nonbiner masih belum terlalu diterima.

https://p.dw.com/p/4LF4b
Chris Derek
Chris Derek ingin berkarya lewat musik-musiknyaFoto: Nefria Indradona/DW

Dia berjalan dengan langkah kaki yang tenang. Tubuh berbalutkan atasan dan rok berwarna hitam, rambut bersemir warna jahe. Dia menyapa DW Indonesia dengan ramah sekaligus menanyakan kabar.

Chris Derek namanya. Sarjana jurusan desain bergender nonbiner berusia 25 tahun ini punya mimpi besar menjadi musisi. Derek dibesarkan dari keluarga yang mencintai musik. Bahkan, saat berusia sekitar 8 hingga 12 tahun, dia sempat punya grup band yang hampir dilirik label musik, namun batal karena mereka terlanjur beranjak remaja.

Identitas gender nonbiner digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang merasa gendernya tidak dapat ditentukan baik secara laki-laki atau perempuan, mengutip penjelasan nonbiner dari laman LGBT Foundation.

Perjuangan panjang mencari label

Sadar akan keterbatasannya dalam berbicara di depan umum, Derek memilih musik dan karya-karya audio visual untuk menyampaikan pesan-pesannya. Baginya, musik adalah bahasa universal yang bisa menyampaikan berbagai pesan dan mengekspresikan beragam emosi yang sulit diutarakan.

Untuk menggapai mimpi, Derek melalui perjuangan yang bisa dikatakan cukup sulit. Dia kerap mengirim demo lagu ke beberapa label musik. Namun, tema-tema lagu yang ditawarkannya tidak mendapat ruang di label-label musik tersebut, tuturnya.

Peruntungannya seketika berubah saat label musik New Sound Generation (NSG) menawarkannya kesempatan untuk berkarya. Menurutnya, NSG datang saat dia ditolak berbagai label musik. 

Seniman Chris Derek
Gaya Chris Derek (kanan) saat saat bernyanyi dan mengekspresikan diri lewat musiknya.Foto: Nefria Indradona/DW

"Aku hancur banget pas dapat teks itu sih ya. Tapi, kemudian aku dapat DM di Instagram dari Kak Nuty NSG di hari yang sama. Perasaanku naik turun seperti roller coaster," kata Derek kepada DW Indonesia, sambil menggengam erat cincin berliontinkan salib di tangannya.

Derek mengatakan ingin terbuka tentang identitasnya yang nonbiner saat akan tanda tangan kontrak dengan NSG. Ini sempat membuat ia khawatir karena identitas gender nonbiner masih belum mendapat tempat di Indonesia. Seorang mahasiswa di Sulawesi Selatan, misalnya, pernah dipemalukan dan diusir seorang dosen saat ia mengaku bergender nonbiner. Mayoritas masyarakat memang masih menganggap bahwa identitas gender itu bersifat biner, laki-laki dan perempuan.

Namun ia tidak mau lagi harus dibatasi saat tampil di depan penonton. Selain itu, Derek tidak ingin pendengarnya mengotak-ngotakkan dirinya secara terpisah antara pribadi dan musik. Ia ingin diterima seutuhnya, apa adanya.

"Bagaimana kamu bisa menyukai musikku tapi kamu membenciku secara pribadi? Jadi, kalau kamu ingin menyukai musikku, kamu sebaiknya menyukaiku," ujarnya.

NSG setuju. Kesamaan visi keduanya langsung merekatkan NSG dan Derek.

Ruang yang aman untuk berkarya

Pendiri label NSG, Nutyas Surya Gumilang, mengatakan bahwa label musik yang dia dirikan sejak April 2022 memberi ruang bagi orang-orang kreatif untuk mengeksplorasi karya seni mereka. Dia menyadari bahwa langkah yang ditempuh NSG untuk mengorbitkan Derek cukup berisiko di tengah masyarakat Indonesia yang masih menolak komunitas LGBTQ.

Namun Nutyas telah memiliki pengalaman bekerja sama dengan artis-artis queer. Terlebih, dia tumbuh besar di Dalston, East London, sejak tahun 1995 sampai 2011, dan malang-melintang di industri musik. Dalston cukup lekat dengan queer culture dan clubs

Nutyas Surya Gumilang, pendiri label NSG
Nutyas Surya Gumilang, pendiri label NSGFoto: Nefria Indradona/DW

Skema industri musik di Inggris tentunya berbeda dengan Indonesia. Persaingan yang ketat di industri musik dan penerimaan pasar menjadi tantangan yang harus dihadapi para musisi.

"Di awal saya katakan pada Derek, (industri) ini berat, terlepas dari orientasi (seksual)," kata Nutyas kepada DW Indonesia usai melakukan sound check sebelum gigs musiknya dimulai. 

Nutyas menuturkan bahwa labelnya ingin menawarkan kisah-kisah alami manusia melalui karya musik. "Saya menikmati bertemu dengan orang-orang yang berbeda dan mendengarkan kisah mereka," ujar Nutyas. Ia mencontohkan sosok Freddie Mercury yang diidolakan baik secara musik dan pribadi.

Sadari keindahan di dalam diri

Senyum sumringah tidak pernah lepas dari wajah Derek saat diwawancarai DW Indonesia beberapa jam sebelum tampil. Terutama saat mendalami makna lagu yang ditulisnya dengan judul Leap of Faith. Lagu tersebut ditulis Derek bersama rekan kerjanya, Jonah Sithole, dalam bahasa Inggris.

"Apa pun yang kamu lakukan, kamu harus selalu menyadari keindahanmu. Dan itu yang membuatmu semakin percaya diri. Keindahan tidak memiliki standard," kata Derek kepada DW Indonesia.

Ia ingin menjadi sistem pendukung bagi semua pendengarnya yang tengah mengalami krisis kepercayaan diri atau semangat yang memudar.

"Aku sangat ingin musik yang aku buat bisa menjadi ruang yang aman bagi mereka yang seperti aku. Tidak banyak figur yang bisa mewakili dan menemaniku ketika aku melewati proses menemukan identitas diri," ujarnya. 

Tampil penuh energi

Malam itu, di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan, NSG mengadakan gigs atau pagelaran musik skala kecil untuk memperkenalkan beberapa artisnya. Derek tampil sekitar pukul 22.45 WIB setelah beberapa artis di bawah naungan NSG menampilkan lagu-lagu mereka.

Sosok kalem dan tenang saat ditemui DW Indonesia beberapa jam lalu seolah hilang tak berbekas. Berganti sosok energik bersepatu hitam dengan hak tebal setinggi 15 sentimeter yang tidak menghalangi geraknya di lantai dansa.

Lagu Leap of Faith menjadi nomor pertama yang dibawakan Derek di depan sekitar 70-an penonton dalam ruang berukuran 12 meter kali 8 meter dengan nuansa merah temaram. Lagu yang kental dengan corak Korean Pop Dance tersebut berhasil mengajak para penonton ikut berdendang sekaligus berdansa.

Aura kebintangannya terpancar memukau penonton di penampilan perdananya secara langsung. Dia terus bergerak, melompat, menari, dan bahkan menyorongkan microphone ke penonton. Dentuman musik dansa elektronik yang digawangi Nutyas sebagai joki cakram terus menghujam telinga.

Derek seakan tahu dia telah mendapatkan momentumnya. Tanpa memberi nafas kepada penonton, dia kemudian melantunkan dua nomor lagu yang masih dirahasiakan judulnya. Penonton hanyut dan menikmati penampilannya.

Derek menutup penampilannya malam itu diiringi riuhan tepuk tangan penonton.

"Derek is out everyone, thank you! I love you guys so much!" (ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).