1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jalan Berliku Komunitas LGBTIQ Perjuangkan Status Hukum

Riri Wahyuni (Medan)
3 November 2021

Komunitas LGBTIQ di Indonesia harus berjuang ekstra untuk legalkan status mereka. Selain itu, lebih dari 23% komunitas ini tidak punya KTP dan karenanya banyak yang tidak bisa mengakses bantuan.

https://p.dw.com/p/42UiM
Ilustrasi putusan pengadilan terkait komunitas LGBTIQ
Ilustrasi putusan pengadilan terkait komunitas LGBTIQFoto: Imago-Images/Panthermedia

Selain rentan menerima cibiran dan perundungan dari masyarakat sekitar, kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks and questioning (LGBTIQ) di Indonesia kerap menghadapi masalah pelik di sisi admministratif dan kependudukan. Banyak dari mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), beberapa bahkan harus berjuang keras untuk melegalkan status gender pilihannya. 

Keadaan ini diakui oleh seorang transpria asal Medan, Sumatera Utara (Sumut), yang diidentifikasikan dengan nama samaran Dimas Cahya. Kepada DW Indonesia, Dimas Cahya bercerita tentang perjuangannya agar negara secara legal mengakui identitas pilihannya sebagai transpria. Dimas mengatakan perjuangan mengganti identitas secara legal ini dimulai sejak 2017 dengan mencari dukungan resume medis.

Jalan panjang dapatkan pengakuan legal

Sebelum bisa pendaftarkan kasusnya ke pengadilan di Medan, Dimas sudah mendatangi banyak tempat untuk meminta rekomendasi profesional. Mulai dari antropolog, sosiolog, psikiater, hingga ke dokter kandungan. "Tujuannya cuma satu, untuk mendapat resume medis. Ini menjadi syarat medis untuk kelengkapan berkas di pengadilan," ujar Dimas kepada DW Indonesia.

Selama proses ini Dimas mendatangi banyak petugas yang diharapkan bisa memberinya surat rekomendasi, tapi justru deretan penolakan yang ia dapatkan. "Saat itu banyak yang takut, tapi kemudian ada seorang psikiater yang berani, isi surat rekomendasinya hanya berisi keterangan jika pemilihan gender ini atas kebutuhan sendiri," katanya.

Sebelum proses di pengadilan, ia juga telah bertahun-tahun membujuk kedua orang tuanya agar bisa mengerti keputusannya. "Izin dari orang tua itu penting karena mereka akan didatangkan ke pengadilan untuk memberikan kesaksian. Bayangkan jika orang tua tidak setuju, saya akan menghadapi jalan panjang."

Akhirnya setelah perjuangan berliku, berkas kasus untuk penggantian gender pun terdaftar di pengadilan dan proses persidangan dimulai. Enam kali sidang yang harus ia lewati, tantangannya pun bervariasi, mulai dari hakim yang tidak hadir hingga harus melengkapi berkas pembanding.

"Saat diminta berkas pembanding ini, sempat bingung. Maksudnya apa dan seperti apa. Tapi mencari tahu dan belajar dari kasus di tempat lain, akhirnya sertifikat pelatihan jadi penyelamat. Di sertifikat tersebut tercantum nama yang diinginkan, hakim minta ada stempel, dihubungilah langsung penyelenggara acara, syukurnya mereka mau membantu. Lega rasanya," katanya.

Namun, ia mengakui perjalanan untuk memperoleh dokumen resmi belum selesai. Setelah statusnya diputus oleh pengadilan selanjutnya adalah melaporkan perubahan ini ke Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). "Masih panjang, karena harus satu-satu prosesnya, tapi yang penting saat ini, sudah keluar putusan pengadilan saja," tandasnya.

Tanpa KTP, bantuan pemerintah sulit diakses

Khanza Vina dari organisasi berbasis komunitas transgender perempuan atau transpuan, Sanggar Swara, mengakui bahwa administrasi kependudukan adalah salah satu tantangan yang mesti dihadapi oleh komunitas LGBTIQ. Keadaan ini jadi lebih berat lagi dengan adanya pandemi.

Seperti yang terjadi kepada banyak orang, pandemi COVID-19 telah menurunkan pendapatan kelompok LGBTIQ bahkan hingga lebih dari 50%. Hal ini karena mayoritas pekerjaan mereka berhubungan dengan kontak fisik.

"Di saat pendapatan menurun, kelompok ini justru banyak yang tidak terakses bantuan sosial dari pemerintah, kendalanya satu, yaitu identitas,” tutur Khanza kepada DW Indonesia. 

Ia mengatakan bahwa lebih dari 23% komunitas LGBTIQ di Indonesia tidak punya KTP dan karenanya tidak bisa memperoleh akses layak ke pelayanan publik.

"Hal itu terjadi karena ketika mereka memutuskan pergi dari rumah, tidak membawa identitas apa pun. Dan 31% di antara mereka hidupnya di bawah standar layak," papar Khanza. 

Menanggapi banyaknya kelompok transgender belum memiliki KTP, Evy Flamboyan Minanda dari Kementerian Sosial mengatakan bahwa sesuai Permendagri No. 96 tahun 2019, negara berkewajiban mendata penduduk rentan administrasi kependudukan.

Menurutnya, dinas kependudukan dan catatan sipil di beberapa provinsi sudah melakukan penertiban e-KTP. Namun ia mengakui bahwa e-KTP ini masih terbatas kepada transgender yang sudah terdata dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan sudah punya nomor induk kependudukan.

Perundungan belum berhenti

Provinsi Sumatera Utara yang pernah digadang sebagai miniatur Indonesia, dinilai belum menjadi tempat yang aman bagi kelompok LGBTIQ. Aktivis dari koalisi organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang hak asasi manusia yakni Crisis Response Mechanism (CRM) mencatat pada tahun ini, Sumut menempati posisi pertama kasus kekerasan dan perundungan yang dialami komunitas ini.

Pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemicu tingginya kasus perundungan di Sumut, mulai dari diskriminasi berbasis identitas gender, seksual, dan diskriminasi untuk mendapatkan akses ke layanan publik.

CRM memantau delapan provinsi, hasilnya ada lebih dari 50 kasus sepanjang Januari hingga Juni 2021. Wilayah terbanyak terjadi di Sumatra Utara, disusul Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatra Barat dan Aceh. Kelompok transgender menjadi korban terbanyak, disusul kelompok lesbian, biseksual, queer perempuan (LGQ), demikian ujar Amek Adlian dari CRM.

Bentuk kekerasan yang dialami kelompok LGBTIQ pun beragam, mulai dari pengeroyokan, kekerasan verbal, kekerasan psikis, kekerasan seksual, ancaman, penangkapan, tertangkap razia, perundungan, pengusiran, penganiayaan hingga pembunuhan.

"Tantangan, pandemi COVID-19, pemerintah dan aparatur negara juga penegak hukum yang masih bias terhadap kelompok minoritas gender dan seksual, ditambah sumber daya yang masih terbatas," jelas Amek kepada DW Indonesia.

Meski demikian, Dimas Cahya, transpria dari Medan tetap yakin bahwa "suatu saat akan ada tempat yang ramah bagi komunitas LGBTIQ. Setiap orang punya hak hidup dan perlindungan hukum," imbuhnya. (ae)