Asia Tenggara Beralih ke Energi Surya
6 November 2019Negara-negara di Asia Tenggara kini mulai giat mengembangkan sumber energi terbarukan. Salah satu yang digenjot adalah energi surya. Sementara penggunaan sumber energi batubara, yang dituding paling banyak memproduksi emisi karbon turun drastis.
Sebuah laporan terbaru dari Global Energy Monitor (GEM) mengungkapkan bahwa kapasitas produksi batu bara menurun tajam, dari puncaknya yang mencapai hampir 13 gigawatt (GW) pada 2016 menjadi hanya 1,5 GW pada paruh pertama 2019.
"Energi surya mendapatkan momentumnya di Asia Tenggara," kata Courtney Wetherby, seorang analis peneliti di lembaga penelitian Stimson Center, seperti dikutip dari Chinadialog. "Padahal, sebelumnya para pembuat kebijakan menilai, pembangkit energi surya terlalu mahal dan rumit untuk diintegrasikan dalam jumlah yang cukup besar dan dalam waktu singkat," ujar Wetherby. Lebih lanjut ia mengatakan sentimen negatif publik terhadap batu bara dan penurunan harga panel surya secara signifikan memicu peningkatan ini.
Namun, Weatherby menambahkan, penyerapan energi terbarukan oleh masyarakat masih menghadapi banyak kendala. "Banyak utilitas di wilayah ini menghadapi keterbatasan infrastruktur transmisi dan perlu membangun jalur transmisi tambahan. Faktor ini dapat meningkatkan harga jual listrik dari proyek-proyek baru."
Paket menarik pemerintah Vietnam
Turunnya biaya produksi energi terbarukan, juga memacu pemerintah di berbagai negara di Asia Tenggara mengevaluasi kembali rencana energi mereka. Vietnam dengan sigap menangkap momentum ini. Negara ini dengan cepat membangun jejaring pembangkit tenaga surya dari nyaris tidak signifikan pada tahun 2017 menjadi lebih dari 4 gigawatt (GW) tahun ini.
Sukses Vietnam membangun jaringan pembangkit energi surya tidak dapat dilepaskan dari program pemerintah yang disebut Feed-in-Tariff (FIT). Program ini diperkenalkan oleh Kementerian Perindustrian setempat pada 2017 lalu. Program FIT memberi jaminan kepada para investor, listrik tenaga surya akan dibeli dengan harga 9,35 sen dolar AS per KWh.
Konsultan energi Wood Mackenzie dalam sebuah pernyataan yang dikutip dari harian The Jakarta Post mengatakan, perhitungan ekonomi yang ditawarkan oleh peraturan FIT tersebut cukup menarik bagi para investor.
Sebagai hasilnya, Wood Mackenzie memproyeksikan, kapasitas pembangkitan panel surya terpasang di Vietnam bisa mencapai 5,5 Giga Watt pada akhir tahun 2019. Angka ini setara dengan 44 persen dari total kapasitas pembangkitan energi surya di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, pada tahun lalu, kapasitas terpasang energi surya di negara itu hanya 0,134 GW.
Dengan adanya kebijakan yang menjamin pendapatan investor, para produsen listrik independen di tingkat lokal dan regional serta para pengembang merasa nyaman mengambil risiko. Oleh karena itu, proyek-proyek pun bisa meminjam pendanaan dari bank regional dan lokal.
"FIT telah terbukti menjadi alat kebijakan yang efektif dalam mendorong pertumbuhan energi terbarukan dengan cepat,” kata Rishab Shrestha, analis dan peneliti tenaga surya dari Wood Mackenzie seperti dikutip dari The Jakarta Post.
Bagaimana dengan Indonesia?
Global Energy Monitor dalam laporannya menyebutkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang masih membangun pabrik batu bara baru dalam enam bulan pertama tahun ini.
Meski banyak dituding mencemari berat lingkungan, Indonesia memang masih tergantung pada sumber energi fossil ini. Beberapa waktu lalu, pemerintah juga diprotes akibat polusi udara dari penggunaan batu bara.
Menurut data PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), kontribusi energi terbarukan hingga Mei 2019 telah mencapai 13,42 persen. Energi ini mayoritasnya berasal dari pembangkit listrik tenaga air dan tenaga panas bumi. Sementara kontribusi pembangkit listrik tenaga surga dapat dibilang relatif kecil.
Dikutip dari Tirto.id, penggunaan energi surya di Indonesia pada posisi Agustus 2019, hanya memiliki kontribusi sebesar 0,04 persen atau setara 78,5 Mega Watt.
Kebijakan mundur terkait energi terbarukan
Indonesia sebenarnya juga sudah memiliki program yang mirip-mirip dengan Vietnam. Pada bulan Juli 2016 dirilis aturan yang menyatakan bahwa PLN akan membeli listrik yang dihasilkan pembangkit tenaga surya, dengan kisaran harga dari 14,5 hingga 25 sen dolar AS, tergantung dari wilayahnya.
Namun program ini terhenti tahun lalu setelah dikeluarkannya peraturan no. 9/2018 yang membatalkan sejumlah peraturan lain terkait energi terbarukan. "Hal ini membuat para investor yang awalnya tertarik dengan kebijakan Indonesia, memutuskan berinvestasi di Vietnam", ujar analis energi terbarukan Fabby Tumiwa seperti dilansir oleh The Jakarta Post.
Para investor menilai, kualitas kebijakan dan peraturan di Vietnam lebih memberikan kepastian dan kejelasan dalam proses bisnis, serta dalam pengembalian keuntungan yang lebih baik.
Pemerintah Indonesia sebetulnya menargetkan kontribusi energi terbarukan di dalam negeri pada 2025 dapat mencapai 23 persen. Namun realitanya masih banyak kendala untuk bisa mencapai target ini. Beberapa hambatan yang paling sering dikeluhkan diantaranya yaitu skema bisnis dan pendanaan, kebijakan dan regulasi serta tantangan teknis.
ae/as (berbagai sumber)