1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah Aksi Protes “Nol COVID” di Cina akan Bertahan?

William Yang
1 Desember 2022

Ribuan orang menggelar aksi protes di sejumlah kota di Cina menentang kebijakan "nol COVID". Para pemrotes mengambil risiko besar dengan menyuarakan ketidakpuasan mereka secara terbuka di jalan-jalan dan dalam kampus.

https://p.dw.com/p/4KImM
Aparat keamanan melakukan penangkapan dan membubarkan aksi protes di Shanghai
Aparat keamanan melakukan penangkapan dan membubarkan aksi protes di Shanghai dengan paksaFoto: HECTOR RETAMAL/AFP/Getty Images

Aksi protes kebijakan nol COVID di Cina menyebar cepat ke seluruh negeri dan menjadi tantangan besar bagi pemerintah pusat di Beijing. Aparat keamanan bergegas dikerahkan meredam aksi tersebut.

Sementara sebagian besar dunia belajar untuk hidup dengan virus corona, Cina tetap menerapkan kebijakan penguncian dan karantina yang ketat, membatasi kebebasan bergerak warga, dan memaksa bisnis ditutup, di mana kasus baru muncul.

Namun, rasa frustrasi warga tampaknya sudah begitu besar, sehingga mereka turun ke jalan dan dengan lantang memprotes kebijakan itu, mengakibatkan protes massal terbesar yang pernah dilihat Cina dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa pengunjuk rasa bahkan dengan lantang menuntut Presiden Xi Jinping untuk mundur.

Polisi membangun barikade di jalan-jalan di Shanghai untuk mencegah pengumpulan massa
Polisi membangun barikade di jalan-jalan di Shanghai untuk mencegah pengumpulan massaFoto: Hector Retamal/AFP/Getty Images

Dampak ekonomi dari kebijakan nol COVID cukup parah

Para pengunjuk rasa di Beijing mengatakan kepada DW, selama pandemi banyak orang sudah kehilangan pekerjaan dan bisnisnya. "Banyak orang punya utang besar, untuk biaya sekolah untuk anak-anak mereka dan biaya pengobatan untuk anggota keluarga lanjut usia. Kami tidak dapat banyak bantuan dari pemerintah, dan kami harus menanggung sebagian besar dampaknya,” kata seorang pengunjuk rasa yang hanya ingin diidentifikasi sebagai Yang.

Pengunjuk rasa lain, yang disapa Wang, mengatakan langkah-langkah pandemi yang ketat telah mempersulit orang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Situasi saat ini di Cina adalah, orang miskin akan menjadi lebih miskin sementara orang kaya dan pemerintah tidak akan pernah peduli dengan kesejahteraan kami. Kami butuh pekerjaan untuk menghidupi keluarga dan membayar utang."

Hingga kini tidak ada banyak indikasi bahwa penguasa di Beijing akan mundur dari kebijakan nol COVID dalam waktu dekat. Pemerintah Cina berulang kali gembar-gembor bahwa kebijakannya adalah model pencegahan pandemi yang sukses, yang telah menyelamatkan jutaan nyawa.

Namun, kebijakan itu tidak dilihat publik sebagai suatu keberhasilan. "Pertama dan terpenting, penyebab protes ini adalah frustrasi, karena orang telah menunggu bertahun-tahun sampai pihak berwenang melonggarkan pembatasan, dan mereka melihat dan merasakan dampak dari pembatasan ini di sekitar mereka," kata Sophie Richardson, Direktur Lembaga Hak Asasi Manusia Human Rights Watch (HRW) di Cina.

Pemrotes di Hong Kong memegang kertas putih sebagai simbol penindasan kebebasan berpendapat
Pemrotes di Hong Kong memegang kertas putih sebagai simbol penindasan kebebasan berpendapatFoto: Anthony Kwan/Getty Images

Seberapa jauh gerakan protes bisa bertahan?

Sementara beberapa pengunjuk rasa secara langsung menuntut agar Presiden Xi Jinping mundur, pengunjuk rasa lain menggunakan cara yang lebih halus untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Mereka mengangkat kertas kosong saat protes sebagai pesan simbolis tidak adanya kebebasan berpendapat.

Aksi protes luas ini menempatkan Xi Jinping dalam suatu dilema. "Xi Jinping tidak ingin mengakhiri kebijakan nol COVID, karena baginya ini adalah masalah legitimasi politiknya," kata pengamat dan ahli hukum Cina Teng Biao.

"Di sisi lain, jika Cina terus menerapkan strategi nol COVID, itu tidak hanya akan memicu kemarahan masyarakat yang lebih besar, tetapi juga menyebabkan kerugian besar bagi perekonomian. Hal itu akan mengancam otoritas politik dan stabilitas negara,” katanya kepada DW.

Pengunjuk rasa Yang mengatakan, jika Beijing memilih untuk meningkatkan tingkat penindasannya, hal itu dapat menyebabkan perlawanan yang lebih besar, yang pada akhirnya dapat menyebabkan konflik terbuka yang sengit.

(hp/ha)