1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menjadi Perempuan di Indonesia

ap/as (dw,kompas)8 Maret 2016

Lebih dari 300 ribu kasus kekerasan yang dilaporkan dan ditangani pengadilan agama Indonesia tahun 2015. Sedangkan yang ditangani oleh lembaga mitra layanan perempuan lebih dari 16 ribu kasus.

https://p.dw.com/p/1I8jF
Foto: picture-alliance/dpa

Kisah aksi kekerasan terhadap perempuan tak ada habis-habisnya dan terjadi di berbagai negara. Di India, meski sudah banyak aksi protes, tindak perkosaan massal masih menjadi persoalan pelik, sementara di Timur Tengah, banyak perempuan yang menjadi korban perkosaan dan penganiayaan teroris ISIS.

UNICEF melaporkan, lebih 200 juta perempuan, termasuk anak-anak, mengalami mutilasi genital, jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Untuk urusan mutilasi genital, Indonesia bahkan masuk dalam tiga besar.

Setiap tahun PBB mengumumkan data-data berkaitan dengan isu perempuan dengan angka-angka memprihatinkan. Kampanye anti kekerasaan maupun tuntutan persamaan jender terus dikumandangkan, namun hingga kini perempuan masih mengalami tindak kekerasan dan diskriminasi.

Kekerasan seksual di ranah publik dan domestik

Di Indonesia, data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan ) menunjukkan, sepanjang tahun 2015 terjadi aksi kekerasan, bukan hanya di wilayah domestik, melainkan telah meluas di ranah publik. Ketua Komnas Perempuan, Azrianan menyebutkan, persoalan kekerasan perempuan bisa dibagi dalam 3 ranah, yakni wilayah hubungan personal, komunitas dan negara. Berdasarkan jumlah kasus yang didapat dari 232 lembaga mitra Komnas Perempuan di 34 provinsi, tercatat 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Terjadi kenaikan data jenis kekerasan seksual di ranah personal dibanding tahun sebelumnya, yakni di atas 11 ribu kasus. Di ranah komunitas, terdapat lebih 5.000 kasus kekerasan terhadap perempuan. 1.657 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual.

Sementara di ranah negara, aparat negara masih menjadi pelaku langsung atau melakukan pembiaran pada saat peristiwa pelanggaran HAM terjadi pada perempuan., di antaranya terkait kasus perdagangan perempuan.

Berangkat dari budaya patriarki

Budaya patriarkis tidak mengakomodasi keseteraaan jenis kelamin. Hubungan laki-laki dan perempuan menjadi hubungan sub kordinasi, dalam wujud dominasi laki-laki terhadap perempuan di berbagai sektor. Di Indonesia, dominasi pria nampak, salah satunya dalam menentukan bagaimana perempuan seharusnya berdandan dan berpakaian dalam kacamata ‘ideal’ pria. Konsep cantik sendiri, banyak merujuk pada selera pria.

Dalam hal berbusana pun, tidak mudah untuk menjadi perempuan di Indonesia. Mitos bahwa adanya korelasi antara pelecehan seksual dengan rok mini secara sistematis melebar di berbagai tatanan. Yang menyedihkan, bahkan menjadi pembenaran bagi pria untuk melakukan pelecehan bahkan kekerasan seksual. Padahal persoalannya, adalah bukan bagaimana cara perempuan berpakaian, melainkan bagaimana cara pandang yang salah dan ketidakmampuan pelaku kekerasan mengendalikan diri dalam menahan hasrat atau bahkan memaksa orang lain untuk bersetubuh. Padahal, sebagaimana pria, perempuan, berhak memakai apa yang mereka inginkan untuk menutup tubuhnya.

Berjuang bersama

Sebagai sesama manusia, perempuan selayaknya mendapatkan peluang dan hak yang sama seperti pria di berbagai sektor. Pemerintah dan masyarakat punya kewajiban bersama untuk melindungi perempuan, dalam bentuk apapun. Manfaatnya dapat dipetik bersama. Lihat saja hasil riset terkini dalam artikel yang bisa Anda klik ini, negara-negara yang menghormati persamaan antara laki-laki dan perempuan, merupakan negara-negara yangm sejahtera dan maju di berbagai bidang. Perlu dicatat, untuk mencapai perlindungan yang lebih baik terhadap perempuan dan kesetaraan jender, dibutuhkan lahirnya para feminis-feminis pria di tanah air.

Pertanyaannya kini, apakah Anda mau mendukung kesetaraan jender di tanah air?