1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Yusril Ihza Mahendra: Saya yang Memerintahkan Eksekusi Mati

Andy Budiman24 Januari 2013

Para pendukung menganggap hukuman mati harus dijatuhkan kepada pelaku kejahatan berat. “Saat menjadi menteri, saya memerintahkan tembak mereka yang terlibat narkotika,“ kata mantan Menteri Hukum Yusril Ihza Mahendra.

https://p.dw.com/p/17QG0
Foto: picture-alliance /dpa/dpaweb

Perdebatan soal hukuman mati kembali muncul terkait keputusan Pengadilan Bali, yang Selasa (22/01) lalu memvonis mati seorang nenek asal Inggris Lindsay Sandiford, 56 tahun, yang dinyatakan terbukti “secara sah dan meyakinkan“ bersalah menyelundupkan narkotika.

Yusril Ihza Mahendra adalah Menteri Hukum Indonesia tahun 1999 hingga 2004. Dia adalah menteri pertama era reformasi yang mengirim terpidana mati ke hadapan regu tembak.

Yusril Ihza Mahendra
Saat menjabat Menteri Hukum Yusril Ihza Mahendra mendorong eksekusi mati.Foto: picture-alliance/dpa

Awal 2013, Yusril mendesak Jaksa Agung agar segera melaksanakan eksekusi atas delapan orang yang sudah inkrah divonis mati. Inilah cuplikan wawancara Deutsche Welle dengan Yusril Ihza Mahendra.

Deutsche Welle:

Kenapa Anda mendukung hukuman mati?

Yusril Ihza Mahendra:

Saya menganggap sebuah kejahatan yang sangat serius dan membawa dampak luas bagi kehidupan bangsa dan negara, tidak dapat ditolerir. Ancaman narkotika bagi bangsa dan negara ini sangat serius, karena bisa menghancurkan masa depan generasi muda, dan ini terkait kejahatan terorganisir internasional. Karena itu saya setuju hukuman mati bagi mereka yang mengedarkan, tapi tidak bagi para pemakai.

Deustche Welle:

Jenis kejahatan apa yang menurut Anda harus dihukum mati?

Yusril Ihza Mahendra:

Narkotika dan kejahatan melawan kemanusiaan seperti genosida, kejahatan perang, atau pembersihan etnik. Akhir tahun 70-an saya terlibat perdebatan dengan almarhum Mochtar Lubis (wartawan dan budayawan terkenal-red) ketika dia mendirikan gerakan Hapus Hukuman Mati (HATI). Debat itu muncul berbarengan dengan invasi Uni Soviet ke Afghanistan, dan saat itu Presiden Babrak Kamal (yang dijuluki boneka Kremlin-red) bertanggungjawab menyebabkan ratusan ribu rakyat Afghanistan terbunuh secara kejam. Saya bilang kepada Mochtar Lubis: apakah orang seperti Babrak Kamal tidak pantas dihukum mati? Saya juga mendukung hukuman mati kepada Khmer Merah yang membantai tiga juta orang. Kalau ada orang yang membantai jutaan orang, kenapa kita keberatan mengeksekusi mati satu orang yang menjadi otak pembantaian?

Deutsche Welle:

Mereka yang anti, menganggap hukuman mati terbukti tidak efektif. Eropa yang tidak menerapkan hukuman mati tingkat kejahatannya rendah, sebaliknya negara seperti Indonesia yang menerapkan hukuman mati, tingkat kejahatannya sangat tinggi?

Yusril Ihza Mahendra:

Sampai matipun, kita tidak akan pernah bisa sependapat. Secara filosofis dan sosiologis sudah berbeda. Ini adalah soal sependapat atau tidak sependapat. Kalau Anda kumpulkan seratus filsuf berdebat soal ini, maka barangkali 50 orang akan menganggap hukuman mati perlu, sementara yang lain tidak. Maka untuk apa diperdebatkan?

Deutsche Welle:

Tapi di luar keyakinan filosofis, apakah ada fakta yang bisa lebih meyakinkan bahwa hukuman mati terbukti menciptakan efek jera?

Yusril Ihza Mahendra:

Nggak ada urusan dengan jera atau tidak jera… Tidak ada teori pemidanaan apapun yang akan membuat orang jera, dan apakah jera adalah tujuan pemidanaan? Jadi perbedaan filosofi itu tidak bisa dikompromikan.

Deutsche Welle:

Kita tahu, pengadilan di Indonesia sering menghasilkan vonis yang tidak adil. Kalau terpidana sudah terlanjur dihukum mati dan belakangan terbukti tidak bersalah, lantas bagaimana?

Yusril Ihza Mahendra:

Proses itu (hukuman mati-red) melewati berbagai tingkat. Selain itu, tidak ada pengadilan yang memuaskan semua orang. Sebagai advokat saya juga sering tidak puas dengan keputusan pengadilan (belakangan Yusril kembali aktif menjadi pengacara-red). Jadi mau bilang apa lagi? Di manapun begitu. Kalau Anda lihat sejarah, setelah Perang Dunia II, para pemenang mengadili Jerman, Italia dan Jepang. Apa bisa orang yang menang perang mengadili yang kalah? Hehe… dunia ini penuh dengan ketidakadilan…saya sebetulnya malas berdebat soal ini. Saya hanya mengatakan ini soal pilihan, meski dalam konteks Indonesia hukuman mati itu perlu.

Deutsche Welle:

Kenapa begitu?

Yusril Ihza Mahendra:

Di zaman saya menjadi Menteri Hukum, saya tembak orang-orang yang terlibat narkotika. Ada beberapa yang sudah divonis mati meminta grasi kepada Presiden dan lalu ditolak, keputusan inkrah. Kemudian saya koordinasikan, lalu tembak.

Deutsce Welle:

Ada berapa orang?

Yusril Ihza Mahendra:

Sekitar 8 orang (Data KONTRAS menyebut 6 orang yang dieksekusi mati pada masa Yusril menjabat Menteri Hukum-red).

Deutsche Welle:

Bagaimana perasaan Anda ketika eksekusi dilaksanakan?

Yusril Ihza Mahendra:

Sebagai pribadi saya sedih. Tapi kalau melihat dampak kejahatan yang mereka lakukan, saya memang harus mengambil keputusan seperti itu.