1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanGlobal

WHO: Mpox Berpotensi Menyebar Kembali ke Seluruh Dunia

Zulfikar Abbany
21 Desember 2023

Tujuh bulan berlalu setelah WHO menurunkan status cacar monyet (Mpox) sebagai ancaman global. Namun, wabah tersebut kini berpotensi menyebar kembali ke seluruh dunia menyusul meningkatnya penyakit tersebut di Kongo.

https://p.dw.com/p/4aQO8
Wabah cacar monyet di Peru Lima
Luka dan lepuh, termasuk di sekitar mulut, adalah gejala cacar monyet alias Mpox yang paling umumFoto: Martin Mejia/AP/picture alliance

Setelah satu tahun wabah cacar monyet (kini disebut Mpox) menginfeksi hampir 90.000 orang dan sekitar 140 orang meninggal dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menurunkan status penyakit ini dari ancaman darurat kesehatan global pada Mei 2023 lalu.

Mpox, atau yang sebelumnya dikenal sebagai cacar monyet itu sebelumnya telah menyebar dengan cepat pada tahun ketiga pandemi COVID-19, di saat kesadaran masyarakat akan kesehatan sedang tinggi-tingginya.

"Mpox terus menimbulkan tantangan kesehatan masyarakat yang signifikan dan membutuhkan respons yang tegas, proaktif, dan berkelanjutan," tegas kepala WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, saat itu. Dan pernyataannya itu benar.

Pada pertengahan bulan Desember, WHO kembali membunyikan alarm wabah Mpox.

Cacar monyet
Muncul ruam di kulit merupakan gejala pada cacar monyet (Mpox)Foto: Institute of Tropical Medicine/dpa/picture alliance

Ancaman wabah Mpox dari Kongo

Pada tanggal 15 Desember lalu, WHO memperingatkan bahwa epidemi Mpox di Republik Demokratik Kongo (RDK) berpotensi menyebar ke seluruh dunia, karena peningkatan penularan melalui hubungan seksual telah terdeteksi.

Dua hari sebelumnya, Kementerian Kesehatan Jepang bahkan telah melaporkan dua hari bahwa negaranya telah mengalami kematian pertama akibat Mpox.

Pasien tersebut tidak memiliki infeksi HIV sebelumnya dan tidak memiliki riwayat perjalanan apa pun, dan masih belum jelas bagaimana pasien ini terinfeksi, kata kementerian kesehatan itu dalam sebuah pernyataan.

Saat ini memang ada wabah yang sedang berlangsung di Asia, seperti di Jepang, Kamboja, Indonesia, Vietnam dan Cina, sehingga penyebaran Mpox tidak hanya berpotensi muncul dari Afrika saja.

Namun, Rosamund Lewis, pemimpin teknis WHO untuk Mpox, mengatakan bahwa pihaknya "khawatir" akan ada penularan global berkelanjutan yang berasal dari RDK.

Menurut Lewis, ada "wabah yang meluas dengan cepat di negara itu," di mana ada lebih dari 13.000 kasus yang dicurigai sebagai kasus Mpox, dengan lebih dari 1.000 kasus per bulannya. Sementara sejauh ini, sudah ada lebih dari 600 kematian.

Bagaimana Anda bisa terkena Mpox?

Meskipun Mpox ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual, para ahli tidak menggambarkannya sebagai infeksi menular seksual (IMS). Namun, hubungan seksual merupakan salah satu medium penularan utama.

Pernyataan resmi dari WHO mengungkapkan bahwa Mpox disebarkan melalui kontak dekat dengan orang yang terinfeksi. Hal ini termasuk berbicara dan bernapas di dekat orang yang terinfeksi, atau bahkan melalui "droplets" seperti yang kita pelajari selama pandemi COVID. Selain itu, penularan utamanya juga melalui aktivitas seksual.

"Kulit-ke-kulit (bersentuhan atau seks vaginal/anal); mulut-ke-mulut (seperti berciuman); atau kontak mulut-ke-kulit (seperti seks oral atau mencium kulit). Saat wabah global yang dimulai pada tahun 2022 itu, virus ini sebagian besar menyebar melalui kontak seksual."

Virus ini juga dapat menyebar melalui luka, infeksi, dan kontak dengan selaput lendir, sehingga dianjurkan untuk mencuci tangan setelah melakukan kontak. Melakukan disinfeksi terhadap permukaan juga sangat penting untuk mencegah Mpox menyebar.

Mpox juga dapat ditularkan dari hewan ke manusia, misalnya jika hewan yang terinfeksi dikonsumsi oleh manusia tetapi dagingnya tidak dimasak dengan baik. Ada indikasi lain pula di mana Mpox dapat menyebar dari manusia ke hewan, seperti ke hewan peliharaan, tetapi buktinya belum meyakinkan.

Apa sebenarnya Mpox itu?

Mpox adalah virus menular yang disebut cacar monyet. Para ahli sekarang lebih suka menyebutnya Mpox untuk menghindari asosiasi dengan hewan monyet atau gagasan bahwa cacar monyet tidak memengaruhi manusia.

Mpox pertama kali ditemukan pada tahun 1958 pada monyet yang digunakan untuk penelitian di laboratorium Denmark. Kasus pertama pada manusia dilaporkan terjadi pertama kali pada seorang anak laki-laki berusia sembilan bulan di Republik Demokratik Kongo pada tahun 1970.

Gejala umum Mpox adalah munculnya ruam yang bertahan selama 2-4 minggu. Ruam Mpox ini sering kali terlihat melepuh atau membengkak, dan dapat memengaruhi wajah, telapak tangan dan telapak kaki, serta selangkangan, alat genital, dan area anus.

Ruam itu dapat meluas dari hanya beberapa lepuhan hingga ribuan, dengan muncul lesi yang ditemukan di mulut, tenggorokan, rektum dan alat genital. Oleh karena itu, risiko tinggi penularan Mpox ini adalah melalui aktivitas seksual. 

Gejala lainnya juga mirip dengan infeksi virus pada umumnya seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, letih, dan pembengkakan kelenjar.

Pada kasus yang parah, Mpox juga dikaitkan dengan infeksi bakteri sekunder, dan dapat menyebar ke paru-paru, mata, otak, hingga jantung. Angka kematian Mpox berkisar antara 0,1% dan 10% dari kasus per kasus.

Vaksinasi cacar monyet
Vaksinasi cacar monyet (Mpox)Foto: Joe Raedle/AFP/Getty Images

Bagaimana cara pengobatan Mpox?

Ada obat antivirus yang disebut tecovirimat SIGA, yang digunakan untuk mengobati cacar monyet, cacar sapi, dan "smallpox” yang kerap disamakan dengan cacar air yang sudah diberantas. 

Badan pengesahan obat Eropa mengatakan bahwa ketiga infeksi cacar tersebut semuanya disebabkan oleh virus yang berasal dari keluarga yang sama, yang dikenal sebagai orthopoxvirus.

Tecovirimat akan mengganggu protein (VP37), yang biasanya ditemukan di permukaan virus, sehingga memperlambat kemampuan suatu virus untuk menyebar.

Ada tiga vaksin Mpox yang saat ini dikembangkan melalui penelitian cacar. Meski begitu, WHO tidak menyarankan vaksinasi massal untuk Mpox.

Disebutkan bahwa "hanya orang yang berisiko yang harus dipertimbangkan untuk divaksinasi" dan orang yang berisiko adalah mereka yang termasuk melakukan kontak dekat dengan orang yang terinfeksi, tetapi tidak terbatas pada, pasangan seksual dan petugas kesehatan saja.   (kp/gtp)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW? Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

​​​​​​​