1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan Pengadilan

Vonis Novanto Titik Balik Melawan Korupsi

27 April 2018

Hukuman 15 tahun penjara atas mantan Ketua DPR, mungkin jadi titik balik upaya Indonesia memberantas korupsi, demikian pendapat sejumlah pengamat, saat publik terbakar amarah melihat penguasa lolos dari jerat hukum.

https://p.dw.com/p/2wlkG
Setya Novanto
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Syuflana

Kasus Setya Novanto memicu beragam reaksi antara amarah dan rasa tidak percaya ketika mantan Ketua DPR RI tersebut berusaha melarikan dari upaya penangkapan KPK atas tuduhan korupsi. Ia lalu tiba-tiba terbaring di rumah sakit dengan tabung medis melekat di hidungnya akibat kecelakaan saat mobilnya menabrak tiang listrik.

Ketidakpercayaan publik tercermin dari berbagai meme serta tagar #SaveTiangListing yang populer di sosial media yang menggambarkan kecelakaan mobil tersebut seolah-olah direkayasa.

Meski sudah tersudut, politisi berusia 62 tahun - yang pernah dipuji Donald Trump sebagai salah satu pria paling berkuasa di Indonesia beberapa tahun lalu - kerap berusaha untuk menghindar dari persidangan, salah satunya dengan alasan diare.

Pukulan telak bagi Novanto, tonggak bagi KPK

Namun, Selasa (24/04), majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 15 tahun dan menyatakan bahwa Setya Novanto bersalah karena telah menyalahgunakan wewenangnya dan memperkaya diri sebanyak 7,3 juta dollar AS atau sekitar 71 miliar Rupiah dari proyek pengadaan e-KTP.

Putusan ini lebih ringan satu tahun dari tuntutan, namun dianggap mampu menghentikan Novanto, yang dijuluki Tuan Teflon, yang sebelumnya pernah lolos dari tuduhan korupsi termasuk di antaranya saat dirinya terungkap lewat sebuah rekaman dalam kasus dugaan permintaan saham PT Freeport Indonesia. Vonis kali ini dinilai menandai kemenangan atas seluruh rangkaian kasus korupsi yang diberantas KPK baru-baru ini.

"Saya pikir ini adalah tonggak bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dan gerakan antikorupsi secara umum," kata Adnan Topan, koordinator Corruption Watch Indonesia. "Setya Novanto sangat kuat. Dia memiliki jaringan yang kuat," seperti dikutip dari AFP.

Indonesia korup sejak Suharto

Vonis atas Setya Novanto di mata internasional dinilai sebagai langkah terbaru dalam upaya memberantas jerat korupsi warisan era Suharto. Saat ini Indonesia menempati urutan ke 96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis Transparansi Internasional tahun 2017. Indonesia mencetak skor rendah – naik satu poin dibanding tahun sebelunya – dengan skor 37, di mana 100 "sangat bersih” dan nol "sangat korup”.

"Memberantas korupsi dan patronase berjalan beriringan – saya pikir hal ini tidak akan mudah dihapus dari politik Indonesia," kata Deasy Simandjuntak, peneliti Indonesia saat berkunjung ke Institut Studi Asia Tenggara yang berbasis di Singapura.

Bukan hanya ranah politik yang ternoda akan korupsi. Survei menunjukan bahwa sebagian besar warga Indonesia telah menerima dan melakukan suap saat berurusan dengan sistem peradilan.

Baca juga: Apakah Ketua Umum Partai Demokrat Terjerat Kasus Korupsi e-KTP?

Bagaimana Indonesia lepas dari jerat korupsi?

"Lembaga yang bisa benar-benar dapat membantu Indonesia membebaskan diri dari korupsi adalah aparat penegak hukum," ujar Adnan Topan. "KPK berjuang untuk mengatasi masalah ini karena kepolisian memiliki kekuatan politik yang sangat kuat."

Sejak dibentuk tahun 2002, KPK menghadapi sejumlah benturan saat berhadapan dengan kepolisian terutama ketika KPK memiliki kekuatan yang luas dalam mengungkap kasus korupsi, hingga ada dua kali  perseteruan KPk dan kepolisian yang dikenal sebagai kasus "cicak versus buaya".

Meskipun reformasi berjalan lambat, beberapa melihat kemajuan nyata dalam upaya mendorong pemerintahan yang bersih.

"Publik melihat bahwa upaya KPK untuk memberantas korupsi membuahkan hasil," kata Simandjuntak kepada AFP. "Pada saat yang sama publik tahu bahwa politik patronase diwariskan dari praktik-prakti selama puluhan tahun… Memberantas korupsi bukanlah tugas yang mudah."

ts/ap (AFP)