1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAfrika

Upaya Rusia Dekati Afrika Berbuah Dukungan Politik

Antonio Cascais
11 Maret 2022

Beberapa tahun terakhir, Rusia giat memperluas pengaruhnya di Afrika dengan berbagai proyek. Hal itu tampaknya berhasil. Banyak negara Afrika sekarang memilih diam atas invasi Rusia ke Ukraina.

https://p.dw.com/p/48IZg
Vladimir Putin menyambut para pemimpin Afrika di KTT Rusia-Afrika di Sochi, Oktober 2019
Vladimir Putin menyambut para pemimpin Afrika di KTT Rusia-Afrika di Sochi, Oktober 2019Foto: SERGEI CHIRIKOV/AFP

Pada 2 Maret lalu, Majelis Umum PBB di New York diminta untuk memberikan suara pada resolusi yang menyerukan agar Rusia menarik mundur pasukannya dari Ukraina dengan "segera, sepenuhnya dan tanpa syarat."

Sebanyak 141 dari 193 anggota PBB memberikan suara mendukung resolusi tersebut — sebuah sinyal kuat kecaman komunitas internasional atas invasi Rusia ke Ukraina. Dari 54 negara Afrika, 28 negara memberi suara memihak ke Ukraina dan menyetujui resolusi itu, Eritrea memberi suara menentang. Kamerun, Etiopia, Guinea, Guinea-Bissau, Burkina Faso, Togo, Eswatini, dan Maroko tidak hadir.

Sedangkan sisanya, 15 negara, memberi suara abstain, yaitu Aljazair, Uganda, Burundi, Republik Afrika Tengah, Mali, Senegal, Guinea Khatulistiwa, Kongo Brazzaville, Sudan, Sudan Selatan, Madagaskar, Mozambik, Angola, Namibia, Zimbabwe, dan Afrika Selatan memberi suara abstain.

Sikap negara-negara Afrika dalam resolusi  tentang Ukraina di Majelis Umum PBB
Sikap negara-negara Afrika dalam resolusi tentang Ukraina di Majelis Umum PBB

Hubungan bersejarah Afrika dengan Uni Soviet

Beberapa negara Afrika seperti Angola, Mozambik, Zimbabwe, dan Namibia memang memiliki "persahabatan bersejarah dalam pikiran" dengan Uni Soviet dulu, kata N'Kilumbu, ilmuwan politik dari Angola.

"Terutama di Angola dan Mozambik, hampir tidak ada perubahan politik sejak era Perang Dingin. Dan itulah mengapa tali pusar yang menghubungkan negara-negara ini ke Moskow tidak pernah terputus," jelasnya.

"Di tingkat militer, kami masih memiliki instruktur Rusia. Akademi militer kami dipengaruhi Rusia,” tambahnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia memang semakin sering menggunakan koneksi Soviet yang bersejarah ini untuk memperluas hubungannya dengan Afrika. Pada 2019, Vladimir Putin menjadi tuan rumah KTT Rusia-Afrika yang dihadiri oleh 43 pemimpin Afrika. Hanya satu tahun kemudian, Rusia menjadi pemasok senjata terbesar di Afrika.

Mempersenjatai Republik Afrika Tengah

Upaya Rusia terlihat jelas misalnya di Republik Afrika Tengah. Tahun 2017, Rusia mengirimkan senjata, termasuk Kalashnikov dan rudal ke negara yang sedang dilanda perang. Pada 2018, penasihat militer Rusia dikirim dengan tujuan resmi untuk melatih angkatan bersenjata lokal. Banyak perusahaan Rusia lalu menerima lisensi untuk menambang emas dan berlian di negara itu. Presidennya, Faustin-Archange Touadera, sekarang juga dikawal oleh satuan Rusia. Mantan pegawai dinas intelijen domestik Rusia FSB, Valery Sakharov, sekarang menjadi penasihat keamanan utama presiden.

Tidak mengherankan jika hari Sabtu lalu (05/03) di ibu kota Bangui muncul aksi demonstrasi mendukung serangan Rusia ke Ukraina, dengan plakat dan slogan-slogan seperti "Rusia, CAR bersama Anda" dan "Rusia selamatkan Donbas".

Penulis dan intelektual Guinea Tierno Monenembo percaya bahwa banyak negara Afrika tidak akan pernah melepaskan diri dari cengkeraman Rusia, terutama karena ketergantungan mereka yang meningkat pada kekuatan militer Moskow. Dengan latar belakang ini, katanya, keputusan 25 negara Afrika untuk tidak mengutuk invasi Rusia ke Ukraina dapat dimengerti.

"Dalam situasi seperti itu, sulit bagi negara-negara Afrika untuk mengambil sikap," katanya. "Ketika Anda kecil, ketika Anda lemah, jika Anda tidak bersenjata dan kurang berkembang, Anda ingin terlibat dalam konflik antara negara adidaya militer. Itu urusan para pemain besar." 

(hp/yf)