1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Upaya Pemerintah Jepang Kendalikan Virus Corona

Martin Fritz
25 Maret 2020

Mengerem penyebaran wabah COVID-19, pemerintah Jepang menutup semua sekolah selama dua minggu, melarang aktivitas publik dan juga menganjurkan bekerja dari rumah.

https://p.dw.com/p/3a1Y1
Coronavirus Japan Tokio Ueno Park Besucher bestaunen Kirschblüten
Foto: picture-alliance/Zuma/Sopa/V. Kam

Meskipun dekat dengan Cina, warga Jepang tampaknya belum sadar bahaya dari virus corona yang telah memaksa banyak negara Di Eropa dan Amerika Utara melakukan "lockdown".

Kekhawatiran wabah virus corona seolah tidak terlintas dalam pikiran banyak orang yang menikmati mekarnya bunga sakura akhir pekan lalu. Ribuan orang duduk di bawah pohon berbunga pink di taman-taman dan di sepanjang jalan, makan siang dan minum bir bersama, dan juga memotret selfie dengan bunga sakura yang mulai kembang.

"Hanami, pertunjukan bunga, adalah acara terpenting setiap tahun bagi kami orang Jepang," kata seorang karyawan di Taman Ueno di Tokyo.

Jepang sejauh ini memiliki 10 kluster wabah, dengan hampir 1.200 kasus COVID- 19  dan 43 kematian akibat virus corona yang sudah dikonfirmasi tanggal 24 Maret. Hanya beberapa lusin infeksi baru yang dilaporkan setiap hari. Angka infeksi baru ini seharusnya terus bertambah karena kepadatan penduduk di Jepang. 

Ditambah lagi, Jepang berhubungan dekat dengan Cina, negara darimana penyakit itu berasal. Pada bulan Januari, sekitar 925.000 orang dari Cina melakukan perjalanan ke Jepang, sementara 89.000 lainnya melakukan perjalanan pada bulan Februari di saat wabah COVID-19 memuncak di Cina.

Menanggapi pandemi COVID-19, pemerintah Jepang akhirnya memutuskan menutup semua sekolah selama dua minggu, menjelang libur musim semi pada akhir Maret dan membatalkan semua acara publik. Tetapi toko-toko dan restoran masih tetap buka, hanya sedikit  karyawan Jepang yang memutuskan untuk bekerja dari rumah.

Menutupi fakta penularan

Rendahnya jumlah kasus COVID-19 yang dikonfirmasi oleh pemerintah Jepang, memicu kecurigaan bahwa pemerintah menutupi fakta yang sebenarnya.

"Setelah bencana nuklir Fukushima pada tahun 2011, pemerintah awalnya menolak untuk mengakui bahwa terjadi peleburan inti reaktor," kata Barbara Holthus, pakar sosiologi di Institusi Jerman untuk Studi Jepang di Tokyo. "Hari ini, masih ada ketidakpercayaan terhadap pernyataan resmi."

Meskipun memiliki kapasitas untuk melakukan 6.000 tes diagnostik per hari, Jepang hingga saat ini hanya menguji sekitar 14.000 sampel. Jumlah test tersebut 20 kali lebih rendah dari negara tetangga Korea Selatan, yang menglami dampak berat dari pandemi tersebut. "Hanya pasien dengan gejala paling parah yang ditest, kata Masahiro Kami, pakar virologi di Lembaga Penelitian Medis Pemerintah. Ia juga menambahkan, jumlah kasus yang tidak dilaporkan sangat tinggi.

Api Olimpiade 2020 di stasiun Sendai di Jepang
Karena pandemi, penyelenggaraan Olimpiade 2020 di Jepang ditunda untuk setahunFoto: AFP/P. Fong

Ilmuwan ilmu politik Koichi Nakano mengatakan, Perdana Menteri Shinzo Abe diduga ingin menampilkan Jepang sebagai negara yang aman, agar tidak kehilangan Olimpiade Musim Panas, meskipun Komite Olimpiade Internasional telah setuju untuk menunda acara tersebut.

Para ahli di Kementerian Kesehatan berulang kali menolak kritik semacam itu, dengan mengatakan bahwa mereka mencari lonjakan kasus COVID-19 untuk mencegah penyebaran virus, daripada melakukan tes secara luas. Ketika wabah itu menyebar di sebuah sekolah dasar di pulau Hokkaido di utara Jepang misalnya, pihak berwenang menutup semua sekolah di Prefektur dan menyatakan keadaan darurat. Setelah tiga minggu, penyebaran virus telah dihentikan.

"Rendahnya jumlah tests dimaksudkan untuk memastikan bahwa sumber daya perawatan kesehatan tetap tersedia untuk kasus infeksi serius", ujar Sebastian Maslow, seorang ilmuwan politik Jerman di Universitas Tokyo kepada DW.

Masker "bagian dari kehidupan kita sehari-hari"

Etika sapaan Jepang – membungkuk bukan jabat tangan atau ciuman di pipi juga berperan dalam memperlambat wabah, seperti halnya edukasi kebersihan yang diajarkan sejak usia dini.

"Mencuci tangan, berkumur dengan larutan desinfektan, dan mengenakan masker adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Virus corona tidak perlu mengajarkan hal itu kepada kita," kata seorang ibu dua anak di Jepang. Hal ini sangat memudahkan masyarakat untuk beralih ke mode anti-infeksi pada bulan Februari ketika virus corona mulai menyebar. Toko-toko dan bisnis menyiapkan cairan pembersih tangan di pintu masuk, dan mewajibkan warga untuk mengenakan masker.

anak Jepang sedang mencuci tangan dengan desinfektan
Anak-anak Jepang sudah dibiasakan menjaga kebersihan dan mencuci tangan sejak kecilFoto: Getty Images/AFP/P. Fong

Jepang biasanya menjual 5,5 miliar masker wajah setiap tahun atau setara dengan 43 masker per orang. Penjualan masker wajah pun meroket saat virus mulai menyebar. Namun, pembelian masker telah dijatah, dan orang-orang rela antri walaupun toko belum dibuka.

"Orang Jepang mengerti bahwa seseorang dapat terinfeksi tanpa menunjukkan gejala", kata Michael Paumen, seorang manajer bisnis asal Jerman yang telah lama tinggal di Jepang: "Anda mengenakan masker untuk melindungi orang lain, dan kita sendiri tidak menularkan virus. "

Meluasnya penggunaan masker wajah tak hanya memperlambat penyebaran COVID-19, hal ini juga mengurangi jumlah pasien flu dalam kurun waktu tujuh minggu sejak penyebaran virus corona. Sebuah studi baru-baru ini oleh lima dokter Barat, menemukan bahwa masker dapat mengurangi penularan cairan tubuh atau aerosol yang mengandung partikel virus oleh pemakai masker.

Terlepas dari jarak sosial dan kebiasaan mencuci tangan, para ahli juga menyimpulkan bahwa masker wajah dapat memainkan peran penting dalam memperlambat penyebaran virus, dengan menunjuk pada tingkat infeksi yang rendah di Jepang.

Perlahan kembali normal

Mengingat keberhasilan ini, Abe minggu lalu menahan diri dari menyatakan keadaan darurat nasional. Sejak itu, warga Jepang perlahan-lahan kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Tempat les kembali beroperasi, namun anak-anak duduk terpisah di ruangan yang memiliki ventilasi udara yang baik. Taman hiburan juga telah dibuka kembali, tetapi orang yang sakit diminta untuk menjaga jarak.

Khawatir akan datangnya gelombang kedua infeksi virus corona, pemerintah menyatakan, hanya sekolah di daerah tanpa pasien COVID-19 yang akan diizinkan untuk memulai semester baru pada bulan April. Larangan untuk mengadakan acara yang melibatkan banyak publik pun tetap diberlakukan.

Namun, menurut otoritas kesehatan, pengunjung asing tetap menjadi ancaman. Sehingga pemerintah melarang warga negara Korea Selatan dan warga Uni Eropa memasuki wilayah Jepang. Orang asing yang tinggal di Jepang juga diizinkan untuk kembali tetapi harus dikarantina selama 14 hari setelah kedatangan. Menurut informasi tidak resmi, kebijakan tersebut akan tetap diberlakukan sampai setidaknya akhir April. (fs/as)