1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Uni Eropa Sambut Pemilihan Gül

28 Agustus 2007

Terpilihnya Abdullah Gül sebagai presiden baru memiliki makna besar bagi politik dalam maupun luar negeri Turki.

https://p.dw.com/p/CP3f
Gül (kiri) menerima dokumen pelantikan dari ketua parlemen Toptan (kanan)
Gül (kiri) menerima dokumen pelantikan dari ketua parlemen Toptan (kanan)Foto: AP

Di satu sisi terpilihnya Gül diharapkan bisa mengakhiri krisis dalam negeri. Di sisi lain, Gül yang selama ini memimpin perundingan masuknya Turki dalam Uni Eropa memiliki reputasi sebagai tokoh handal. Kanselir Jerman, Angela Merkel serta merta menyambut terpilihnya Abdullah Gül, seperti juga Menlu dan politisi lainnya di Jerman. Meski begitu, reaksi terhadap pemilihannya di Uni Eropa dan di dalam negeri tampak beragam.

Dalam hubungan antara negara biasanya para pejabat bersikap diplomatis. Namun sehubungan terpilihnya Abdullah Gül sebagai presiden baru Turki, Uni Eropa betul-betul menyambutnya dengan antusias. Presiden Komisi Uni Eropa, Jose Manuel Barroso melayangkan ucapan selamatnya secara tertulis. Sementara, juru bicara Komisi Uni Eropa, Amadeu Altafaj menyatakan:

„Pemilihan parlemen yang mengukuhkan Erdogan sebagai perdana menteri dan terpilihnya Presiden ini memberikan bingkai yang stabil untuk lebih lanjut melakukan reformasi yang diharapkan.“

Sambutan Uni Eropa ini Khususnya karena Gül dinilai dapat meperlancar proses masuknya Turki ke Uni Eropa yang selama ini tersendat-sendat. Selain itu, Komisi Uni Eropa tampaknya menilai bahwa krisis politik Turki bisa diakhiri dan akan ada terobosan baru dalam konflik antara Siprus, sebagai anggota Uni Eropa dan Turki yang ingin menjadi anggota Uni Eropa.

Meski begitu, ada juga kekhawatiran terhadap militer Turki yang telah beberapa kali melakukan kudeta ini. Apalagi belum lama ini, panglima militer Turki menyatakan akan mempertahankan sekularisme Turki dan melawan pihak-pihak separatis serta kekuatan jahat yang merongrong pemerintahan. Elmar Brok, wakil Jerman di parlemen Eropa menggambarkan kekhawatiran itu sebagai berikut:

“Kami tidak bisa menerima bahwa militer berperan dalam menentukan kebijakan politik. Di pihak lain, kami juga menyadari bahwa di negara yang dibentuk Ataturk ini, militer juga merupakan jaminan bahwa Turki tetap merupakan negara hukum yang relatif demokratis. Karenanya kami harus mempertimbangkan, bila intervensi dihilangkan, apakah Turki akan menjadi negara yang lebih demokratis atau sebaliknya?“

Pernyataan Elmar Brok tidak jauh dari penilaian mantan Ketua Komnas HAM Turki, Vahit Bicak. Menurut Bicak, bila ada upaya islamisasi Turki, maka bukan saja militer yang akan melakukan intervensi. Melainkan juga badan-badan konstitusional lainnya. Ancaman terhadap sekularisme Turki ini sebelumnya muncul karena Abdullah Gül dan partainya AKP memiliki perspektif Islamis. Namun setelah Gül dalam pidatonya menyatakan akan tetap menjaga pemisahan pemerintahan dan agama, Vahit Bicak justru berharap bahwa Gül bisa melakukan lebih banyak. Vahit Bicak:

„Saya berharap ia akan memajukan Hak Azasi Manusia dan demokratisasi di Turki yang masih memerlukan banyak perbaikan, agar bisa sesuai dengan standar Barat“.