1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

UE Belum Tentukan Sikap soal Jaminan Keamanan bagi Ukraina

18 Februari 2025

Uni Eropa mengaku siap mengawal perdamaian di Ukraina, "bergantung pada tingkat dukungan Amerika Serikat". Namun, pertemuan puncak di Paris justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

https://p.dw.com/p/4qcps
KTT Darurat Uni Eropa tentang Ukraina di Paris
KTT Darurat Uni Eropa tentang Ukraina di Paris, 17/2Foto: Simon Dawson/Avalon/Photoshot/picture alliance

Istana Elysee berubah menjadi pusat koordinasi krisis Eropa pada Senin (12/2), ketika Presiden Prancis Emmanuel Macron mengundang para pemimpin utama Eropa untuk memastikan bahwa masa depan mereka tidak ditentukan semata oleh pihak luar.

UE masih berusaha memahami langkah Presiden AS Donald Trump yang membuka pembicaraan sepihak dengan Rusia terkait perang di Ukraina, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu.

Macron, yang memposisikan diri sebagai motor penggerak Eropa, menggelar pertemuan darurat untuk menyusun strategi pertahanan, di tengahredupnya jaminan keamanan AS. 

Sejak awal, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen menegaskan bahwa pertemuan ini tidak dimaksudkan untuk menghasilkan keputusan konkret. Tapi, kenyataannya pertemuan tersebut justru menciptakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban mengenai strategi Eropa. 

Perdebatan Soal Jaminan Keamanan 

Sebagian besar pemimpin yang hadir di Paris kembali menegaskan komitmen untuk terus memberikan dukungan politik, militer, dan finansial bagi Ukraina. Mereka juga menolak kesepakatan soal Ukraina yang dibuat tanpa keterlibatan UE. 

US, Russian top diplomats to meet in Saudi Arabia

Namun, Prancis, Jerman, Denmark, Belanda, Spanyol, Inggris, Polandia dan Italia gagal menyepakati  jaminan keamanan seperti apa yang dapat diberikan Eropa dalam skenario kesepakatan damai bagi Ukraina.

Kanselir Jerman Olaf Scholz mengungkapkan kekesalannya saat ditanya mengenai kemungkinan pengerahan pasukan penjaga perdamaian Eropa ke Ukraina. 

”Semua berbicara tentang kemungkinan perdamaian anpa melibatkan Ukraina, tanpa persetujuan Ukraina, dan tanpa Ukraina berada di meja perundingan," kata Scholz. "Perdebatan ini tidak tepat, pada waktu yang salah, dan tentang topik yang salah. Kita belum berada di titik perdamaian, kita masih berada di tengah perang brutal yang dilakukan oleh Rusia."

Komentar Scholz bertentangan dengan ucapan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, yang mengatakan siap mempertimbangkan pengiriman pasukan Inggris ke Ukraina di masa depan. 

Sementara itu, Frederiksen mengatakan bahwa Denmark terbuka "untuk banyak opsi", meski sebagian besar masih  harus diklarifikasi.

Sedangkan Perdana Menteri Polandia Donald Tusk menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian Polandia ke Ukraina. 

Seorang pejabat Uni Eropa mencoba meredakan perbedaan pandangan dengan menyimpulkan bahwa, "Kami siap memberikan jaminan keamanan, dengan syarat dan mekanisme yang masih perlu dibahas, tergantung pada tingkat dukungan dari Amerika Serikat."

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Tekanan Baru di Tengah Ketidakpastian di AS

Sebagian besar negara Eropa terkesan ingin menunda pembicaraan tentang pengerahan pasukan penjaga perdamaian hingga kondisi lebih memungkinkan. Namun, AS sudah lebih dulu menetapkan rencananya. 

Pekan lalu, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth mengatakan bahwa tidak akan ada tentara AS yang terlibat. Sebaliknya, dia menyebutkan bahwa pasukan dari negara-negara Eropa maupun non-Eropa yang "kapabel" bisa dikirim untuk mengawal gencatan senjata di masa depan. 

Yang menjadi perhatian utama, Hegseth menegaskan bahwa pasukan tersebut tidak akan dilindungi oleh jaminan keamanan dari AS. 

Hal ini menimbulkan dilema besar bagi Eropa: apakah mereka siap mengerahkan pasukan tanpa perlindungan dari klausul pertahanan kolektif NATO?

Meski berjanji akan mempertimbangkan "masukan" dari Eropa, Washington tetap berencana untuk bernegosiasi langsung hanya dengan Moskow dan Kyiv. 

Ulrike Franke, peneliti di European Council on Foreign Relations, mengatakan kepada DW bahwa Eropa bisa menggunakan situasi ini untuk meningkatkan pengaruh mereka dalam proses negosiasi. 

"Eropa bisa mendapatkan kursi di meja perundingan karena merekalah yang diminta untuk mengamankan kesepakatan damai," kata Franke. 

Sementara itu, peneliti Pierre Haroche memperkirakan bahwa diskusi soal pasukan penjaga perdamaian ini akan berkembang secara bertahap. Inggris dan Prancis diyakini akan bergerak lebih dulu. 

Peningkatan Anggaran Pertahanan 

Perdana Menteri Polandia Donald Tusk menegaskan bahwa hubungan Eropa dengan AS telah memasuki "fase baru" yang mengubah dinamika pertahanan Eropa. 

European leaders battle for unity after Trump's Russia push

Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, negara-negara Eropa telah meningkatkan anggaran pertahanan mereka. Namun, ketidakpastian mengenai komitmen AS kini mendorong Eropa untuk mempercepat langkah menuju kemandirian. 

"Ada kesepakatan bulat bahwa peningkatan signifikan dalam anggaran pertahanan adalah hal yang mutlak diperlukan," ujar Tusk. 

Scholz bahkan menyatakan dukungannya untuk melonggarkan aturan fiskal Uni Eropa agar memungkinkan negara-negara Eropa mengalokasikan lebih banyak dana untuk pertahanan. 

Seorang pejabat Uni Eropa menambahkan bahwa para pemimpin Eropa "siap menaikkan anggaran pertahanan demi berbagi beban dengan Amerika Serikat." 

Namun, hal ini menimbulkan perdebatan baru di dalam Uni Eropa tentang bagaimana pendanaan militer di masa depan? Apakah akan melalui utang bersama, atau lebih baik membeli persenjataan dari AS atau justru mengutamakan produk Eropa seperti yang diinginkan Prancis? 

Macron Mengambil Peran Sentral 

Dalam pertemuan ini, Macron mengundang para pemimpin dengan pengaruh militer dan diplomatik terbesar di Eropa, termasuk Inggris yang telah keluar dari Uni Eropa. Inisiatif Macron menjadi langkah berbeda dari pendekatan biasanya, di mana diskusi lebih sering diadakan di Brussels. 

Pierre Haroche mencatat bahwa ini bukan pertama kalinya Macron bergerak sendiri dalam kebijakan luar negeri Eropa. 

"Wajar jika pembicaraan ini dimulai dalam diskusi informal, tetapi pada akhirnya ini akan menjadi agenda Uni Eropa juga," ujarnya. 

Para menteri luar negeri Uni Eropa dijadwalkan bertemu pekan depan di Brussels untuk membahas koordinasi lebih lanjut. Pada saat itu, mereka mungkin harus menghadapi kenyataan baru dalam politik transatlantik—di mana setiap minggu bisa membawa perubahan besar saat Donald Trump berada di Gedung Putih.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris