1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tragedi Bom London dan Referendum Ratifikasi UUD Uni Eropa

11 Juli 2005

Empat hari setelah tragedi bom di London, media Eropa masih menyoroti latar belakang aksi teror tersebut. Selain itu, referendum di Luksemburg untuk meratifikasi konstitusi Uni Eropa juga menjadi topik bahasan berbagai media cetak Eropa.

https://p.dw.com/p/CPNf
Masyarakat London menunggu bis di Euston Road
Masyarakat London menunggu bis di Euston RoadFoto: AP

Usaha pencarian korban ledakan bom di jaringan kereta bawah tanah kota London tetap berlanjut. Sementara itu, di berbagai kota besar Eropa keamanan semakin diperketat untuk menghindari kemungkinan terulangnya aksi teror sejenis.

Menanggapi bahaya aksi teror di Eropa, harian La Croix yang terbit di Paris berkomentar:

“New York, Madrid, London… daftar kota metropolitan dunia yang menjadi sasaran aksi teror semakin panjang. Ancaman laten aksi teror akan tetap menghantui seluruh dunia, hal ini memang harus diakui. Tapi, kita tidak boleh menyerah. Hiduplah senormal mungkin. Tunjukkan keberanian seperti jutaan warga Inggris, yang tetap pergi bekerja menggunakan sarana angkutan umum – walau ketenangan ibukota mereka baru dikoyak serangan aksi teror.”

Sementara harian Inggris berhaluan konservatif The Times menilai:

“Pembantaian yang terjadi minggu lalu di London bukan disebabkan konflik antar budaya Kristen dan Islam, tetapi konflik masyarakat berhaluan fundamentalis dan mereka yang memilih untuk bersikap toleran. Bila Perdana Menteri Inggris Tony Blair ingin mempertahankan gaya hidup dan nilai-nilai yang dianut warga Inggris, ia harus tetap menjunjung kebebasan rakyatnya.”

Ada isu-isu yang mengatakan, serangan aksi teror terhadap Inggris tersebut disebabkan aliansi Inggris dan Amerika Serikat dalam perang anti terorisme. Surat kabar Belgia De Morgen menulis:

“Sudah empat tahun berlalu sejak serangan bom WTC (World trade Center, New York). Hidup sehari-hari kita telah berubah. Di bandar udara para penumpang dengan sabar mengikuti prosedur pemeriksaan, yang beberapa tahun lalu masih dianggap merendahkan martabat manusia. Memasang kamera pengintai di kota-kota pun beberapa waktu lalu masih terkesan berlebihan. Sekarang setiap sudut kota dipenuhi oleh kamera-kamera pengintai tersebut. Memang hidup kita telah berubah. Tetapi begitu pun para teroris. Aksi teror mereka kini lebih professional, jumlah serangan mereka meningkat dan cara kerjanya lebih efektif. Di Inggris sendiri, aparat keamanan memperkirakan jumlah orang yang pernah mengikuti pelatihan di kamp sejenis Al Qaida sudah melebihi 3.000 orang. Dari seluruh penjuru dunia massa simpatisan mengalir ke Irak. Itulah evaluasi sementara perang anti terorisme yang sudah berlangsung selama tiga tahun, suatu konsep tak masuk akal di bawah panji „memerangi teroris di tempat asalnya, sebelum mereka datang ke negara kita.“

Tema kedua yang menjadi sorotan pers Eropa adalah referendum Luksemburg untuk meratifikasi konstitusi bersama Uni Eropa. Harian Swiss Berner Zeitung menilai hasil positif referendum di Luksemburg adalah karena popularitas pimpinan negara kecil tersebut, Jean-Claude Juncker:

„Suara „jo“ atau „ya“ warga Luksemburg yang mendukung konstitusi bersama Uni Eropa menunjukkan, apa yang dapat dicapai bila pimpinan suatu negara memang dipercaya rakyatnya. Perdana Menteri Jean-Claude Juncker berhasil membalikan tren negatif yang muncul akibat penolakan rancangan konstitusi Uni Eropa oleh Perancis dan Belanda. Ancaman pengunduran diri Juncker bila rakyatnya ternyata memilih „tidak“ masih dapat dimaafkan. Karena Eropa memang membutuhkan politisi yang masih dipercaya dan mendapat dukungan rakyatnya.“

Anggota baru Uni Eropa seperti Hongaria lebih kritis dalam menilai hasil referendum di Luksemburg. Harian Magyar Hirlap yang terbit di Budapest menulis :

“Politisi Eropa lainnya seharusnya mencari-tahu apakah penyebab jatuhnya pamor elite politik di negara mereka masing-masing dan penyelesaian masalah apa saja yang diharapkan rakyat dari Uni Eropa. Seperti misalnya politik keamanan dan luar negeri bersama, atau kerja sama polisi lintas negara yang lebih erat. Selain itu masih ada diskusi pasar tenaga kerja dan modernisasi ekonomi bersama yang ingin digolkan Tony Blair dan rekan-rekannya. Karena suara „ya“ Luxembourg belum merupakan penyelesaian masalah-masalah tersebut, ia hanya mengungkap akar permasalahannya saja.“

Sementara harian Roma La Repubblica merangkum arti referendum di Luksemburg untuk konstitusi bersama Uni Eropa:

Hasil referendum di Luksemburg sangat menentukan. Penolakan konstitusi Uni Eropa oleh warga Luxembourg akan berarti gugurnya rancangan UUD yang memang sudah sekarat ini. Suara „tidak“ dari Luxembourg tentu akan mengubur konstitusi bersama Uni Eropa, tetapi pilihan „ya“ dari negara kecil ini pun, belum dapat menghidupkan kembali rancangan tersebut.“ (zer)