1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Thailand Sebaiknya Gelar Pemilu Baru

as27 November 2008

Militer Thailand tidak perlu mengirim panser ke jalanan, dan pemerintah sebaiknya segera menggelar pemilu baru.

https://p.dw.com/p/G3T1
Demonstran anti pemerintah terus menuntut PM Somchai Wongsawat mundur.Foto: AP

Konflik politik di Thailand yang telah berlangsung berbulan-bulan menjadi sorotan sejumlah harian internasional. Sejak berakhirnya perang dunia kedua, di Thailand sudah dilancarkan 18 kali kudeta.

Harian konservatif Inggris The Daily Telegraph yang terbit di London dalam tajuknya berkomentar :

Pemilu baru selayaknya digelar di Thailand. Juga jika hasilnya kembali menegaskan masajabatan pemerintahan yang sekarang berkuasa. Pada dasarnya baik partai pemerintah maupun partai oposisi tidak memiliki mayoritas absolut. Untuk memecahkan masalah politik secara final di Thailand, kedua partai yang bertikai harus berusaha mengatasi jurang perbedaan diantara mereka. Hal ini amat menentukan bagi masadepan Thailand, yang saat ini diguncang dampak krisis keuangan global. Exportnya merosot drastis. Sementara industri pariwisatanya juga surut, karena wisatawan mancanegara juga dihantam krisis keuangan di negaranya. Jika pemecahan damai tidak dapat tercapai, boleh jadi militer akan kembali mengerahkan pansernya ke jalanan.

Juga harian Austria Salzburger Nachrichten meragukan pemecahan krisis dengan cara menggelar pemilu baru. Harian yang terbit di Salzburg ini berkomentar :

Masyarakat Thailand terpecah amat dalam. Pemerintah saat ini, didukung mayoritas pemilih di pedalaman. Mereka meyakini penerus PM Thaksin Shinawatra yang digulingkan, jauh lebih baik ketimbang kandidat yang didukung kaum elite di Bangkok. Perbedaan amat mencolok ini tidak akan dapat dijembatani dengan pembubaran parlemen dan menggelar pemilu baru. Tapi para jenderal yang menyerukan pemilu baru, juga tahu persis apa dampaknya jika mereka kembali melancarkan kudeta militer. Satu-satunya jalan keluar yang dapat mengubah sikap para demonstran, adalah sabda dari raja Bhumbibol yang amat dihormati. Risikonya, keluarga raja juga akan terpecah. Tapi, jika raja tidak melakukan tindakan apapun, citra kerajaan akan rusak.

Sementara harian Austria lainnya Der Standar melihat masih terdapat harapan bagi Thailand. Harian liberal yang terbit di Wina itu berkomentar :

Thailand terjerumus ke dalam instabilitas politik sejak duasetengah tahun terakhir. Dengan menduduki bandara internasional Suvarnabhumi, para demonstran Aliansi Rakyat untuk Demokrasi-PAD memainkan sekuens terakhir dari aksi protes berkepanjangan. Thailand tidak dapat menanggung beban dari aksi protes berkepanjangan. Sebab para pengusaha yang mendukung demonstran, kini lumpuh dihantam krisis keuangan dan resesi. Aksi kekerasan segelintir pendukung PAD, juga menyebabkan penyandang dana menjauh dari oposisi. Muncul harapan, PM Somchai Wongsawat dapat menjalin kesepakatan dengan kelompok moderat.

Dan terakhir harian Jerman Osnabrücker Zeitung yang terbit di Osnabrück berkomentar :

Thailand terperosok semakin dalam ke krisis yang berbahaya. Demokrasi goyah, diancam para demonstran yang bertindak semakin brutal untuk menjatuhkan pemerintahan terpilih. Militer membantah merencanakan kudeta baru. Hal itu bukan berarti bahwa militer kini menjadi pelindung demokrasi dan konstitusi. Melainkan hanya sekedar menghindar agar tidak terlibat dalam perebutan kekuasaan yang tidak dapat diperhitungkan untung-ruginya. Semakin panjang aksi protes digelar, semakin dekat masa akan kembalinya diktatur militer di Thailand. Dengan begitu, para demonstran tidak akan dapat mencapai sasarannya. Namun tetap sukses dalam satu hal, yakni dengan aksi kekerasan jalanan, demokrasi dapat digerogoti hingga ambruk.