1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Didera Kepahitan, Tetap Berusaha Berbisnis di Bosnia

Marjory Linardy
1 Agustus 2022

Bagi pengusaha asing, membuka usaha di Bosnia-Herzegovina sangat sulit. Tapi Ratna Evarastri tidak bersedia menyerah dan pulih kembali setelah sembilan tahun dihantam kesulitan.

https://p.dw.com/p/4Evdz
Ratna Evarastri
Foto: Privat

Ratna Evarastri yang panggilan akrabnya Eva, lahir di Surabaya. Dulu dia berkuliah di Universitas Katolik Widya Mandala di Surabaya, di bidang pendidikan. Sekarang ia bermukim di Sarajevo, ibukota Bosnia-Herzegovina, dan memiliki usaha spa, atau perawatan tradisional, Indonesia bernama Sundara.

Eva bercerita pula, di Bosnia-Herzegovina tidak banyak orang asing. Sebagian besar orang asing yang ada di sana berasal dari negara-negara Arab, selain itu dari Cina. Orang asing datang ke sana biasanya untuk berbisnis dan menanamkan modal. Alamnya sangat menarik, kata Eva, untuk mendirikan vila, juga untuk mendirikan hotel. Sedangkan orang asing yang datang untuk bekerja di bidang lain sangat jarang.

Eva datang ke Bosnia tahun 2010 dan dia bisa berbahasa Serbia, yang menjadi bahasa nasional Bosnia-Herzegovina. Tetapi dia menambahkan, dia kerap bepergian ke negara lain beberapa bulan, walaupun berbasis di Bosnia.

Dia bercerita, dulu di Indonesia, dia memang kuliah di bidang pendidikan. Tetapi setelah selesai kuliah, dia bekerja di berbagai bidang, misalnya di bank. Sampai akhirnya dia mengenal bidang "wellness" dan merasa sangat senang dengan bidang ini, kemudian mulai ia tekuni. Ia juga pernah mendapat pelatihan di bidang bisnis spa, seperti kewirausahaan spa dan manajemen spa. Dia bercerita, “Saya meniru jiwa wirausaha dari mama saya beliau pekerja keras wirausaha semenjak saya kecil. Jadi semangat itu juga tumbuh pada diri saya.“

Merintis bisnis di Sarajevo

Setelah bertemu dengan suaminya di Indonesia, dia pergi berkunjung ke Bosnia-Herzegovia, yang jadi negara asal suaminya. Ketika itulah dia melihat adanya peluang untuk mendirikan bisnis "wellness" di sana. Tahun 2009, mereka sudah mulai mempersiapkan pembukaan bisnis baru, termasuk semua infrastrukturnya. Tahun 2010 awal, bisnis "wellness" dibuka di Sarajevo. Ia juga mendatangkan rekan-rekan dari Indonesia yang akan bekerja di bisnisnya.

Namun setelah bisnis berjalan tiga bulan, muncul kendala karena tahun itu, izin kerja untuk rekan-rekannya tidak keluar. Karena ketika itu antara Bosnia-Herzegovina dan Indonesia belum ada hubungan diplomatik, Eva terpaksa mengirimkan rekan-rekannya ke Turki. Ia menambahkan, ketika itu dari Indonesia ke Serbia pun perlu visa. Turki adalah satu-satunya negara yang menawarkan “visa on arrival.“

Ratna Evarastri
Ratna Evarastri di SarajevoFoto: Privat

Konsekuensinya bukan hanya bisnis tidak bisa berjalan, akibat masalah birokrasi yang rumit, Eva juga harus membayar semua biaya untuk menanggung hidup rekan-rekannya selama berada sebulan di Turki, misalnya akomodasi dan transportasi, selama mereka menunggu visa dan izin kerja.

Akhirnya setelah sekitar enam bulan, rekan-rekannya bisa ia alihkan ke Serbia. Tetapi di sanapun, mereka masih harus menunggu tiga minggu lagi. Untuk menggambarkan perasaannya ketika itu, Eva mengatakan: “Stres, putus asa dan campur aduk. Begitulah intinya.“

Akhirnya setelah berbagai upaya, akhirnya izin tinggal dan kerja terbatas keluar, dan rekan-rekannya bisa mulai bekerja. Tapi situasi tenang hanya bisa mereka rasakan selama satu setengah tahun. Ketika mereka perlu memperpanjang izin tinggal terbatas, muncul masalah dengan mitra bisnis Eva.

Ketika itu, suaminya menjual investasinya di bisnis Eva ke orang lain, yang juga orang Bosnia-Herzegovina. Celakanya, di luar dugaan, orang yang ia ajak untuk ikut dalam bisnisnya tidak sesuai dengan harapan. “Ternyata orangnya tidak kooperatif,“ begitu kata Eva, “dan itulah yang jadi awal kehancuran.“

Dia menambahkan, rekan-rekan kerjanya dari Indonesia kemudian satu demi satu memutuskan untuk tidak mau lagi meneruskan kontrak kerja di bisnisnya. “Karena situasinya sudah tidak bagus,“ begitu dikatakan Eva dengan lirih. Ketika mereka pulang, semua ongkos juga ditanggung oleh Eva. Di akhir bisnisnya ketika itu, dia harus menghadap ke pengadilan bersama mitra bisnisnya.

“Situasi di negara kecil ini tidak bisa dibandingkan dengan Jerman,“ begitu kata Eva. Karena di Bosnia peraturan berbelit-belit, dan orang tidak terlalu sadar pada hukum. Hukum juga bisa dipermainkan dengan mudah. Sehingga kasus antara dia dan mitra bisnisnya yang dimulai prosesnya tahun 2012, baru selesai awal tahun 2022. Meskipun berlangsung sangat lama, hakim akhirnya memutuskan, mitra bisnisnya harus membayar semua kerugian yang sudah ia derita.

Tetapi kembali lagi, karena Bosnia sangat berbelit-belit, mantan mitra bisnisnya tidak semudah itu bersedia membayar ganti rugi. Eva bercerita, dia terus berdoa, dan dia sendiri tidak mengerti mengapa dia bisa kuat menghadapi semua kesulitan dan stres itu. “Tapi ya, saya jalani, dan pelan-pelan saya pulih,“ demikian ditambahkan Eva sambil berpikir dalam.

Walaupun akhirnya ia memenangkan kasus di pengadilan, proses yang berlangsung sembilan tahun itu sudah memakan banyak waktu yang berharga. Tetapi Eva menjelaskan, kepulihan yang ia maksudkan, bukan hanya dari segi mental. Selama tahun-tahun itu, ia berhasil mendirikan bisnis lagi. Walaupun lebih kecil. “Karena situasi di sini tidak memungkinkan, lebih baik usaha kecil tetapi ‘sustainable‘,“ katanya, “dan kalau menurut saya, semuanya atas izin Tuhan,“ kata Eva. Sejauh ini, bisnisnya sekarang lancar, dan Eva bisa kembali pulih.

Skeptis terhadap orang Bosnia

Sayangnya, seperti Eva menceritakan pula, dari pengalaman buruknya, ia memiliki pandangan yang kurang baik terhadap orang Bosnia. Dia mengatakan, mungkin itu tidak adil, tapi dia merasakan semacam ketidaksenangan yang terpendam terhadap orang Bosnia. “Dan saya seperti resisten untuk mengenal individu-individunya lebih jauh, dan untuk membuka wawasan lebih jauh, dan akhirnya saya juga resisten untuk belajar tentang negara ini lebih jauh.“

Dia menambahkan tidak tahu apakah itu adil atau tidak, tetapi dia merasakan antipati. Namun demikian dia bertekad untuk tidak takluk, sehingga dia berusaha untuk memulihkan diri secara mental untuk bisa kembali kuat seperti dulu. Oleh sebab itu, Eva mengerti bahasa Serbia, tetapi dibanding dengan orang asing dan orang Indonesia lainnya, yang mengambil kursus atau mengambil pendidikan di Bosnia, dia tidak memperdalam pengetahuannya lagi mengenai negara itu.

Selain itu, Eva bercerita, ia punya seorang anak yang lahir di tengah stres dalam menghadapi proses di pengadilan. Jadi ia sulit untuk mengelola waktu di samping mengurus anak, memulihkan mental juga memperbaiki situasi ekonominya.

Dari orang-orang Indonesia yang berada di Bosnia, yang bekerja di Kedutaan Besar RI, Eva mendapat sokongan moril. Tetapi dia mengemukakan, jika atasannya sendiri, yaitu duta besarnya, kurang punya perhatian, kemungkinan bawahannya juga kurang menunjukkan perhatian.

Ratna Evarastri
Ratna Evarastri di SarajevoFoto: Privat

Eva menyimpulkan, tantangan terbesar yang ia hadapi di Bosnia-Herzegovina adalah birokrasi yang berbelit-belit. Berkaitan dengan itu, dia bercerita tentang kunjungan istri Duta Besar AS untuk Bosnia-Herzegovina, Patrick Moon ke spanya. Ketika itu, istri duta besar mengungkap perasaan kagumnya atas Eva yang berhasil membuka bisnis di Bosnia. Dia bercerita, banyak orang dari negaranya yang gagal, karena birokrasi yang sangat rumit.

Eva menambahkan pula, dalam birokrasi yang rumit itu, untuk segalanya perlu uang. Di samping itu, di sana ada “mafia“, kata Eva. Sebab itu jugalah, dia memutuskan untuk mengecilkan usahanya. “Jadi tidak terlalu ‘eye catching’ untuk mafia,” begitu ditambahkan Eva. Dalam hal ini, yang ia maksud dengan mafia adalah oknum di pemerintahan.

Dia bercerita pula, dia kurang mengerti urusan perpajakan di Bosnia yang sangat ruwet. Sejauh pengetahuannya, pada usaha yang besar, kerap ada masalah dengan pajak. Pemberian sogokan bukan hal yang aneh lagi. Jadi ketika ditanya, apa dia punya rencana untuk masa depan, Eva mengatakan, ingin membuka bisnis tetapi di negara tetangga Serbia dan Kroasia. Sekarang dia masih mencari orang-orang yang “amanah” dan bisa dijadikan mitra bisnis.

Ketika ditanya bagaimana sikap orang Bosnia terhadap pendatang asing, Eva mengemukakan pendapat pribadinya. “Mereka terbuka tapi sering mereka suka ambil kesempatan dalam kesempitan atau ada udang di balik rempeyek.” Ia kemudian menjelaskan sambil tertawa, pendapatnya itu berdasarkan pengalamannya terutama dari bidang pekerjaan. Misalnya, jika dia menyewa sesuatu, setelah ada kesepakatan ternyata di akhirnya ada biaya-biaya tambahan yang sebelumnya tidak diberitahukan.

Menghargai mereka yang “fair”

Tapi dia juga mengaku, setelah mengalami berbagai kepahitan selama tujuh tahun, belakangan dia juga menemukan orang-orang yang “fair” atau adil. Kalau sudah ada persetujuan bersama, maka tidak akan berubah lagi.

Ratna Evarastri
Ratna Evarastri bersama rekan-rekan yang mempertunjukkan tradisi IndonesiaFoto: Privat

Hal lain yang ia amati juga, orang-orang yang sudah mengalami perang berbeda dengan yang belum pernah melalui masa-masa sulit itu. “Mereka akan jauh lebih manusiawi,“ kata Eva. Karena mereka sudah melihat sendiri bagaimana anggota keluarga mereka dibantai. Jadi mereka dari segi kepribadian, mereka jauh lebih baik. Begitu ditambahkan Eva.

Eva sendiri pernah mengatakan kepada beberapa orang dari mereka, bahwa dia merasa senang sudah bertemu dengan orang-orang Bosnia yang baik. Karena tahun-tahun sebelumnya, pengalamannya pahit dengan orang Bosnia. “Mereka terus ketawa,“ tutur Eva, “terus mereka bilang ‘Oh kamu baru tahu, bangsa kami 60% memang begitu. Tapi ada juga yang tidak begitu.‘“ Padahal, seperti orang-orang yang dibicarakan, mereka juga etnik Bosnia.

Dengan orang asing, misalnya orang Asia, menurut Eva orang Bosnia bersifat terbuka. Orang asing di sana tidak dikucilkan. “Tapi mungkin karena mainnya kurang jauh, semua orang yang berrambut hitam seperti saya dikiranya orang ‘Chinese’, atau Filipina, atau Thailand,” begitu papar Eva. Sedangkan orang-orang yang jadi kliennya ada yang orang Bosnia, tetapi sebagian besar orang dari negara Eropa lainnya, atau dari Arab dan Turki.

Sekarang, bisnisnya berjalan lancar. Eva juga sudah pernah diminta beberapa hotel di Bosnia untuk merekrut dan melatih staf mereka, saat mereka akan membuka spa di hotel. Itu sejalan, walaupun tidak ada perbedaannya, dengan cita-citanya dahulu kala, yaitu untuk membuka sekolah sendiri.

Saran Eva untuk teman teman yang ingin berimigrasi: Hidup di negara orang tidaklah seindah yang dibayangkan. Namun bagi mereka yang punya mental kuat, mempunyai motivasi besar, visi yang jelas dan target yang realistis serta konsistensi dalam berkarya maka ada 80% kemungkinan akan sukses untuk menggapai impian, baik itu dalam urusan personal, studi maupun pekerjaan. (ml/hp)