1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Terorisme dan pemilihan presiden di Indonesia

9 September 2004

Terjadinya ledakan bom di depan kedutaan Australia di Jakarta Kamis pagi kemarin, 11 hari sebelum pemilihan presiden , menimbulkan pertanyaan apakah kejadian itu bisa mengganggu Pemilu pada tanggal 20 September mendatang.

https://p.dw.com/p/CPQx

Berkaitan dengan pemilihan presiden harian Kompas dalam tajuknya menulis, Indonesia lebih tepat membutuhkan perbaikan. Kami kutip:

Calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan calon wakil presiden Hasyim Muzadi hari Selasa lalu secara terpisah mengadakan pertemuan dengan kelompok masyarakat. Yang menarik, keduanya mengusung tema yang hampir sama, yakni perubahan. Kata itu memang sesuai dengan perasaan yang berkembang di tengah masyarakat, yang mengharapkan terjadinya perubahan, khususnya perubahan dalam kondisi kehidupan agar menjadi lebih baik.Enam tahun krisis merupakan perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Dilihat dari sisi produk domestik bruto, apa yang kita capai sekarang ini memang sudah bisa melewati apa yang dicapai sebelum krisis. Namun, masih banyak warga masyarakat yang belum bisa ikut menikmatinya dan itu bisa dilihat dari masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.Dilihat dari platform , baik dari sisi ekonomi dan sosial, yang disampaikan kedua calon presiden, kita cenderung melihat keduanya sama. MELIHAT platform yang hampir sama, tentunya bagi kita bukan persoalan siapa yang akan memenangi pemilihan presiden 20 September nanti. Yang lebih penting bagi kita, bagaimana presiden terpilih nanti menerjemahkan platformnya itu menjadi rencana aksi serta mengimplementasikan sehingga benar-benar bisa meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Pergantian itu harus diutamakan untuk membawa perbaikan. Selama ini setiap pergantian pimpinan nasional selalu membuat kita melangkah dari titik awal. Semua itu terjadi karena kita selalu menganggap apa yang dilakukan presiden sebelumnya itu keliru padahal, di samping kekurangan, tentunya ada hal-hal baik yang ditinggalkan presiden sebelumnya. Mengapa tidak kemudian kita memperbaiki saja hal-hal yang masih kurang dan melanjutkan apa yang memang sudah baik.

Masalah menangani terorisme kembali mencuat setelah terjadinya ledakan bom di depan kedutaan Australia Kamis pagi kemarin di Jakarta, dan diberitakannya bahwa Kapolri , Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar telah menegur Brigadir Jenderal (Pol) Gories Mere, penyidik antiteror Detasemen 88 Polri, berkaitan dengan keberadaan Gories di Kafetaria Starbucks, 1 September lalu, bersama salah seorang terpidana kasus bom Bali, Ali Imron.

Kasus itu juga dikomentari harian Jerman Frankfurter Rundschau yang menulis:

Ali Imron dan Gorries Mere merupakan dua tokoh terkenal di Indonesia. Keringanan yang diberikan kepada para terpidana di Indonesia bukanlah hal yang mengejutkan. Bob Hasan, misalnya, selama masa tahanannya, sering terlihat di lapangan golf. Tommy Suharto, putra mantan Presiden Suharto yang dijatuhi hukuman penjara karena dituduh mendalangi pembunuhan, disekap di sel penjara yang menurut para saksi mata lebih mewah daripada kamar hotel, lengkap dengan AC, sofa dan pesawat televisi. Karena Tommy Suharto di penjara diperkenankan menerima wartawan, namun tidak melakukannya, orang meragukan apakah Tommy memang selalu berada di penjara. Tommy dan Bob Hasan merupakan orang kaya, dan di Indonesia yang korup, segalanya bisa dibeli. Tujuan membawa Ali Imron ke restoran Starbucks masih dalam konteks penyidikan, demikian menurut keterangan polisi. Memang kepolisian Indonesia suka menempuh cara-cara yang tidak lazim. Pelaku bom Bali Amrozi pada tahun 2002 memberikan konferensi pers, agar rakyat mendengarkan pengakuannya. Banyak warga Indonesia menyangka AS berada di balik ledakan bom Bali, untuk melegitimasikan perang melawan terorisme. Sangkaan itu mendadak hilang, setelah tokoh militan Amrozi mengaku sebagai pelakunya. Para teroris Bali, tanpa kritik, juga dibawa ke luar penjara untuk mere-konstruksi perencanaan dan jalannya aksi pemboman. Namun undangan minum kopi di Starbucks Kafé, kepada Ali Imron mendapat teguran dari Kapolri.

Akirnya komentar harian Perancis Libération yang beranggapan semua orang asing adalah musuh teroris:

Baik tentara AS mau pun para relawan dari organisasi bantuan kemanusiaan dan wartawan asing, di mata teroris dipandang sebagai musuh. Satu-satunya tujuan para teroris , baik di Afganistan, Irak dan di mana pun di dunia , adalah untuk merintangi stabilitas, dan mengisolasi warga dalam satu-satunya realitas tentang perang dan aksi kekerasan, di mana semua itu diakibatkan oleh kehadiran kekuatan asing.