1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tekanan Kepada Rezim Militer Myanmar Harus Ditingkatkan

as12 Mei 2008

Waktu untuk para jenderal Myanmar kini sudah habis. Tekanan internasional harus diperkuat untuk menolong jutaan warga Myanmar dari ancaman kematian sia-sia.

https://p.dw.com/p/DyTw
Rakyat Myanmar di kawasan bencana harus berjuang sendiri mengatasi dampak bencana.Foto: AP

Kesengsaraan korban bencana badai Nargis di Myanmar dan sikap keras kepala rezim militer yang lebih mementingkan referendum untuk mengukuhkan kekuasaan, tetap menjadi tema komentar harian-harian internasional. Waktu untuk para jenderal Myanmar kini sudah habis. Tekanan internasional harus diperkuat untuk menolong jutaan warga Myanmar dari ancaman kematian sia-sia.


Harian konservatif Inggris The Daily Telegraph yang terbit di London dalam tajuknya berkomentar :


Di Myanmar sekitar satu juta orang dapat mati sia-sia, gara-gara sikap rezim yang memusuhi orang asing dan para jenderal yang goblok. Para diktatur dimanapun di dunia, dari Pyongyang hingga Harare, selalu memosisikan dirinya sebagai pelindung rakyatnya. Mereka mengisolasi diri. Tapi jika terbongkar, bahwa rezim penguasa ini sebetulnya jahat dan tidak becus, dampak ikutannya adalah runtuhnya kekuasaan. Dalam situasi bencana, junta militer di Myanmar melakukan segela cara, untuk menghambat masuknya tim penolong internasional. Para jenderal Myanmar lebih suka mengorbankan sejuta rakyatnya untuk mati, demi mempertahankan posisi kekuasannya.


Sementara surat kabar mingguan Inggris Sunday Times dalam tajuknya mengimbau masyarakat internasional agar terus memaksa rezim di Myanmar, untuk mengizinkan bantuan bagi rakyatnya yang menderita. Mingguan yang terbit di London ini berkomentar :


Langkah pertolongan harus dilakukan secepatnya. Sebab, ketika para politisi dunia terus berunding dengan rezim yang mengerikan dan keras kepala di Myanmar, bencana kemanusiaan babak kedua sudah mengancam. Yakni jika wabah penyakit dan kelaparan menyebabkan tewasnya lebih banyak rakyat, dibanding jumlah korban tewas akibat sapuan badai Nargis. Bencana itu tidak boleh terjadi. Jika terpaksa, masyarakat internasional harus memasok bantuan, melewati kepala para jenderal yang dungu itu. Rezim militer Myanmar tetap melakukan politiknya seperti biasa. Seratus ribu korban tewas akibat badai Nargis, bukan masalah bagi junta militer. Tapi, masyarakat internasional tidak boleh membiarkan bencana babak kedua terjadi.


Harian konservatif Norwegia Aftenposten yang terbit di Oslo berkomentar :


Bencana kemanusiaan di Myanmar merupakan contoh yang paling mengerikan, dari bagaimana sulitnya menggerakan sebuah rezim militer yang berkuasa, yang memiliki sikap tidak peduli apa yang dipikirkan masyarakat dunia. Ongkos yang harus dibayar bagi sinisme junta militer Myanmar adalah kesengsaraan jutaan rakyatnya yang sepekan lalu dilanda badai Nargis. Di balik penolakan bantuan internasional, terdapat pertimbangan absurd dari junta militer. Di garis depan adalah untuk menjaga mukanya sendiri. Yang paling mengerikan, di tengah tumpukan mayat ratusan ribu korban bencana, junta militer menggelar referendum, untuk mengukuhkan kekuasaannya. Jika tetap tidak diberikan izin bagi pertolongan internasional, bantuan dapat diberikan langsung tanpa mempedulikan para jenderal.


Dan terakhir harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma berkomentar :


Tidak ada yang tahu, berapa banyak rakyat yang masih punya kekuatan, untuk pergi ke bilik pemilihan setelah mereka luluh lantak dilanda badai Nargis. Di kawasan yang paling parah dilanda bencana, referendum akan digelar tanggal 24 Mei mendatang. Para korban yang kehilangan keluarga, harta benda dan harapan itu, dipastikan akan menyetujui konstitusi baru. Alasannya sederhana. Mereka perlu bantuan, atau itu sudah kebiasaan atau juga sebagai tanda menyerah kalah. Di tengah tumpukan ribuan mayat, junta militer Myanmar tertawa, karena berhasil mempertahankan kekuasaannya.