1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tekanan atas Obama? Hubungan Korut dan AS Sekarang

29 Mei 2009

Uji coba nuklir Korea Utara pekan ini mengejutkan dunia internasional. Banyak pakar berpendapat, dengan cara itu Pyongyang ingin meningkatkan tekanan atas AS dan Presiden Barack Obama.

https://p.dw.com/p/I0IG
Foto: AP

Tindakan Korea Utara mencapai dimensi baru dengan dimulainya kembali uji coba nuklir serta roket kedua pekan ini. Langkah pemerintah di Pyongyang itu ada latar belakang sejarahnya. Sejak setidaknya sepuluh tahun yang lalu, hubungan AS dan Korea Utara menegang, yaitu ketika AS masih dipimpin Presiden George W. Bush.

Bagian dari Poros Kejahatan

Segera setelah pidatonya yang pertama tentang situasi negara, Bush menyatakan negara komunis Korea Utara adalah bagian dari poros kejahatan. Itu adalah reaksi dari serangan teror 11 September 2001. Bush khawatir, bahwa rejim di bawah pimpinan Kim Jong Il akan membantu jaringan teror dengan senjata nuklir. Di Korea Utara serangan retorik dari Bush menyebabkan ketakutan akan adanya serangan AS. Pembicaraan enam partai antara Korea Selatan dan Utara serta AS, Rusia, Jepang dan Cina kemudian dibekukan.

Ketika pembicaraan itu dengan susah-payah dimulai kembali awal tahun 2005, Korea Utara pertama-tama menuntut janji dari AS untuk tidak menyerang. Tetapi Bush awalnya tidak menunjukkan perubahan sikap dan menampik semua spekulasi tentang aksi militer terhadap Korea Utara. Bush berkata, "Kami adalah orang-orang yang senang berdamai. Kami tidak punya rencana akan menyerang Korea Utara. Kami hanya bersikap defensif."

Saling Menekan

George W. Bush
Mantan Presiden AS, George W. BushFoto: AP

AS waktu itu punya sarana lain untuk menekan Korea Utara. Negara adi daya itu mengeringkan semua sumber dana Korea Utara yang sudah kekurangan, dengan menekan bank-bank. Oktober 2006 Korea Utara mengadakan uji coba bom atom yang pertama. Ini menjadi alasan dimulainya kembali pembicaraan enam partai.

Sebagai imbalan penutupan instalasi Yongbyon serta pemaparan semua program nuklirnya, Korea Utara dijanjikan akan mendapat pasokan minyak. Sikap pemerintahan Bush kemudian melunak. Awal tahun 2008 lalu Bush bahkan mengumumkan akhir sanksi terhadap Korea Utara, dan negara itu tidak dianggap pendukung terorisme lagi.

Sikap AS Kerap Melunak

Sejak dulu sikap AS kerap melunak jika Korea Utara memberikan tanda-tanda ancaman. Ini sudah dimulai di masa pemerintahan Bill Clinton. Tahun 1994 Presiden Clinton memerintahkan persiapan serangan militer terhadap Korea Utara. Tetapi kemudian ia mengirim mantan presiden Jimmy Carter sebagai utusan untuk misi perdamaian ke Pyongyang. Setelah pemerintah Korea Utara berjanji akan menghentikan sepenuhnya aktivitas nuklirnya, sebuah perjanjian yang mencakup berbagai bidang ditandatangani kedua belah pihak.

Korea Utara dijanjikan akan mendapat dukungan ekonomi, bahkan sebuah reaktor air ringan yang modern dengan bantuan dari AS. Presiden Clinton mengatakan, "Hari ini kita berhasil menandatangani kesepakatan yang akan menjadikan AS, seluruh semenanjung Korea dan seluruh dunia lebih aman."

Bill Clinton 2008
Mantan Presiden AS, Bill ClintonFoto: AP

Tetapi harapan ini ternyata keliru. Korea Utara tidak mematuhi kesepakatan. Pemerintah di Pyongyang secara diam-diam terus mengadakan proses pengayaan uranium. Oleh sebab itu di awal masa pemerintahan George W. Bush sikap kedua belah pihak kembali mengeras.

Tekanan terhadap Obama?

Sekarang, kemungkinan besar Presiden Korea Utara Kim Jong Il mengamati dengan seksama langkah-langkah Presiden Barack Obama terhadap Iran. Penawaran menguntungkan seperti yang diberikan Obama kepada Iran, yang menjadi ujung lain poros kejahatan, bisa juga menjadi sasaran diktator Korea Utara itu.

Memang April lalu Pyongyang telah membatalkan pembicaraan enam partai selanjutnya. Tetapi pembicaraan itu bisa saja dihidupkan kembali. Dengan cara itu, rejim yang bangkrut di bagian utara semenanjung Korea dapat memperoleh bantuan keuangan dan juga status politik yang lebih baik.


Daniel Scheschkewitz / Marjory Linardy

Editor: Asril Ridwan