1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menteri Vaksinasi Jepang Maju Jadi Calon Ketua LDP

10 September 2021

Menteri Taro Kono raih popularitas saat menggalakkan vaksinasi COVID-19 di Jepang. Ia kini resmi mencalonkan diri sebagai Ketua Partai Demokrat Liberal (LDP) dan sebagai perdana menteri baru menggantikan Yoshihide Suga.

https://p.dw.com/p/409Gm
Taro Kono, calon Perdana Menteri Jepang
Taro Kono, calon Perdana Menteri JepangFoto: Reuters/T. Hanai

Menteri Vaksinasi Jepang, Taro Kono, pada hari Jumat (10/09) secara resmi mengumumkan pencalonannya untuk memimpin partai yang berkuasa di Jepang. Dengan demikian, ia juga punya kesempatan kuat menjadi perdana menteri berikutnya.

Taro Kono yang cukup populer di Jepang mengatakan dia akan menjadi pemimpin empatik yang "tertawa, dan menangis bersama" dengan rakyat Jepang, ujarnya dalam konferensi pers.

Kono menjadi kandidat ketiga yang mencalonkan diri untuk kepemimpinan Partai Demokrat Liberal (LDP), yang pendaftarannya dibuka minggu lalu saat Perdana Menteri Yoshihide Suga mengatakan akan mundur. Kono tampaknya memiliki keunggulan atas mantan Menteri Luar Negeri Fumio Kishida dan mantan Menteri Dalam Negeri Sanae Takaichi.

Sebelumnya Perdana Menteri Yoshihide Suga mengatakan dia tidak akan mencalonkan diri dalam pemilihan kepemimpinan LDP pada tanggal 29 September. Karena itu, siapa pun ketua LDP berikutnya akan memimpin partai tersebut menuju pemilihan umum pada Oktober atau November mendatang.

Kritikus penggunaan energi nuklir

Hampir sepertiga responden dalam jajak pendapat oleh media lokal pada pekan lalu mengatakan bahwa lelaki berusia 58 tahun yang lulusan Universitas Georgetown ini paling cocok menggantikan Suga. Media lokal juga melaporkan bahwa Kono telah memberi tahu Suga tentang niatnya untuk mencalonkan diri.

Ia sebelumnya dikenal sebagai kritikus penggunaan energi nuklir di Jepang. Namun pada saat pencalonan diri, Kono terdengar berbicara dengan nada yang lebih hati-hati tentang kebijakannya yang ia bagikan secara tertulis kepada wartawan.

"Kami akan melaksanakan kebijakan energi yang realistis yang akan meyakinkan industri," ujar Kono seperti tertulis dalam pernyataan tersebut. Kebijakan ini juga menyoroti pentingnya mempromosikan digitalisasi dan teknologi hijau. Kono berjanji untuk memperkuat peraturan yang mencegah "upaya-upaya sepihak untuk mengubah status quo" terkait langkah Beijing di Laut Cina Timur dan Selatan.

Populer di kalangan pemilih muda

Dukungan terhadap Perdana Menteri Suga menurun tajam akibat kebijakannya yang dinilai serampangan dalam menghadapi pandemi virus corona. Sementara Kono, yang selama ini bertanggung jawab atas program peluncuran vaksinasi, menjadi populer terutama di kalangan pemilih yang lebih muda. 

Popularitas ini sebagian tidak lepas dari kemampuannya menjangkau publik lewat Twitter kepada 2,3 juta pengikutnya. Jumlah follower sebesar ini adalah hal jarang ada dalam politik Jepang yang didominasi oleh pria tua yang kurang mahir bermedia sosial.

Dalam pernyataan tertulis tentang kebijakannya, Kono juga bertekad untuk melanjutkan perang melawan virus corona dengan mendapatkan suntikan booster COVID-19 untuk Jepang.

Apa dia terlalu muda?

Namun bila mengingat usia rata-rata perdana menteri yang menjabat sejak tahun 2000 di Jepang adalah sekitar 62 tahun, beberapa anggota LDP merasa Kono terlalu muda. Mereka khawatir akan gaya Kono yang menyerupai lone-wolf dalam sistem pemerintahan Jepang yang selama ini berjalan berdasarkan konsensus. Selain itu, Kono juga dinilai bersikap blak-blakan yang kadang terlihat ketika ia menantang garis-garis partai.

Terlepas dari reputasi itu, Kono mengikuti kebijakan utama Perdana Menteri Abe. Saat itu ia menjabat sebagai menteri pertahanan dan menteri luar negeri di kabinet Abe.

Sikap Taro Kono juga dinilai berbeda dengan sikap konservatifnya ayahnya Yohei Kono yang pernah menjabat sebagai kepala sekretaris kabinet. Tahun 1993 Yohei Kono pernah mengeluarkan kebijakan penting yakni menulis permintaan maaf untuk "wanita penghibur". Ini adalah eufemisme yang digunakan untuk menggambarkan perempuan yang dipaksa menjadi budak seks militer Jepang pada masa PD II.

ae/hp (Reuters, AFP)