1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tanam Chip di Tubuh Pengidap HIV/AIDS Papua?

Ging Ginanjar29 November 2008

Sebuah gagasan ganjil muncul di Papua, menanamkan suatu chip mikro dalam tubuh orang-orang yang terinfeksi virus HIV. Dengan demikian, para pengidap HIV/AIDS bisa dipantau pergerakan dan segala perbuatannya.

https://p.dw.com/p/G5xV
Papua punya cara unik dalam memerangi aidsFoto: picture-alliance/dpa

Gagasan ini tertera dalam sebuah peraturan daerah yang akan dibahas di DPRD Papua mulai pekan depan. Si empunya gagasan adalah John Manangsang, anggota DPRD dari PNBK. Ia sebetulnya sudah memunculkan wacana ini sejak tahun lalu, dan sudah langsung ditolak banyak kalangan. Namun ia kukuh, dan terus memperjuangkannya. Sampai kemudian DPRD menjadwalkan pembahasan rancangan peraturan ini bulan Desember, yang kembali memicu kecaman dari berbagai pihak.

Seperti dilontarkan Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional KPAN, Dr. Nafsiah Mboi, "Itu ide yang sangat gila. Pertama itu melanggar hak azasi manusia. Kedua itu sama sekali tidak bisa diterapkan. Walau pun jika teknologinya ada, siapa yang akan monitor, di mana orang yang monitor dan bagaimana caranya. Sekarang estimasi itu ada 22 ribu orang yang sudah terinfeksi di Papua, apa semua mau dimonitor?"

John Manangsang berdalih, langkahnya justru upaya melindungi HAM dari penduduk Papua yang sehat. Manangsang mengatakan pula, chip mikro ini cuma sebagian dari rencana besar pencegahan AIDS di Papua. Dikatakannya, "Seluruh penduduk di Papua akan diwajibkan periksa HIV dan wajib mendapat kartu identitas AIDS. Itu perbarui tiap tahun. Setiap orang yang akan nikah harus diperiksa HIV. Setiap orang yang akan melamar kerja, sekolah, semua periksa HIV."

Hal ini pun dikecam Nafsiah Mboi. Menurutnya, gagasan ini malah justru akan makin menyulitkan dan merumitkan upaya pencegahan dan penanganan penyebaran HIV/AIDS. "Itu juga tidak mungkin. Pertama, wajib tes HIV itu pun melanggar hak azasi manusia. Itu harus melalui konsultasi, harus diinformasikan lebih dulu, dan sebagainya. Dan hasilnya wajib dirahasiakan, kecuali untuk orang itu sendiri, atau dia sudah membuka diri. Nah, kalau mewajibkan semua orang untuk dites, pertama semua orang akan takut. Nggak bakal mau, lah. Apalagi setelah dites dan ternyata positif, akan ditanam chip. Mereka akan sembunyi, tidak akan mau diperiksa. Itu berarti malah sebaliknya, itu akan menghambat upaya kami untuk pencegahan dan penanggulangan."

Jika peraturan daerah ini benar-benar diloloskan, Papua akan menjadi sebuah kawasan yang lain dari pada yang lain. Di satu sisi penduduknya miskin, infrastruktur dan tingkat pendidikannya sangat rendah. Namun mengeluarkan uang dalam jumlah raksasa untuk wajib tes HIV bagi seluruh penduiduk, menggunakan teknologi mahal untuk menanamkan chip mikro dalam tubuh warganya. Dan mengalokasikan dana besar untuk teknologi satelit  yang digunakan untuk mengawasi gerak-gerik warganya dari detik ke detik. Sesuatu yang hanya terjadi dalam cerita fiksi ilmiah, atau horor mengenai rezim penindas yang menakutkan masyarakat dunia.

Dengan enteng John Manangsang berkilah, "Kita persetan dengan dunia. Dunia mau apa, kita tidak perlu. Karena  masalah dunia kan berbeda dengan masalah di Papua. Kita kan indigenous people yang sudah sangat sedikit, yang hampir punah. Itu persoalan yang tidak dipahami banyak orang."

John Manangsang sendiri sama sekali bukan orang asli Papua, melainkan orang Batak. Terlepas dari itu, dalih bahwa gagasan itu dimaksudkan untuk melindungi orang Papua asli dari kepunuhan, dianggap Nafsiah Mboi dari Komisi Nasional Penanggulangan AIDS sebagai omong kosong belaka.