1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Startups Indonesia Ini Tidak Hanya Kejar Profit

Anggatira Gollmer
7 Juni 2019

Startup atau bisnis rintisan semakin populer. Tahun 2019 Indonesia jadi negara keempat dengan jumlah startup paling banyak. Memang para pendiri tentunya ingin hidup dari bisnisnya, tetapi bukan itu saja yang diutamakan.

https://p.dw.com/p/3K12b
Podiumsdiskussion mit Kristina Sembiring, David Christian, Adi Reza Nugroho
Foto: DW/A. Gollmer

Pada musim semi tahun ini beberapa pendiri startup muda dari Indonesia diundang ke Berlin untuk berbagi keunikan dan proses perkembangan mereka dalam Asia Pacific Week, ajang dialog bisnis Eropa dan Asia yang diadakan sekali setahun. Pentingnya sisi kemanusiaan dinilai menjadi salah satu keistimewaan startup-startup Indonesia.

David Christian berkuliah di Kanada selama empat tahun dan ketika pulang ke Jakarta di tahun 2015, ia terkejut dengan masalah sampah dimana-mana. Menurutnya banyak orang Indonesia tidak peduli sampah karena belum sadar akan bahaya sampah plastik seperti pencemaran laut yang akhirnya juga meracuni makanan dan minuman.

Sekarang startup David, Evoware, menyediakan solusi untuk masalah sampah dengan gelas dan pembungkus yang terbuat dari rumput laut dan bisa dimakan. Jadi misalnya dengan kemasan Evoware, saset untuk kopi instan tidak perlu dibuang, melainkan akan meleleh ketika disiram air panas. David berkata, kemasan ini tidak mempunyai rasa, jadi tidak akan mempengaruhi makanan atau minuman.

Produksi melibatkan petani dan masyarakat ekonomi rendah

"Apapun yang kami lakukan harus ada dampak bagi lingkungan dan dampak sosialnya,” ujar David dengan semangat. Rumput laut digunakan karena sifatnya yang sangat berkelanjutan, tidak memakai lahan di daratan dan bisa menyerap CO2 serta bisa menghasilkan oksigen. Pembelian rumput laut juga dilakukan langsung dari petani dengan harga adil, yang kebanyakan berasal dari provinsi-provinsi miskin di Indonesia.

David Christian
David Christian, pendiri EcowareFoto: DW/A. Gollmer

Sisi sosial terutama bisa dilihat dari cara produksi gelas-gelas Evoware, yaitu oleh remaja di panti asuhan. "Kami membayar mereka sehingga mereka mempunyai mindset untuk bekerja. Ketika mereka jualan, profitnya 100% buat mereka, dari situ mereka bisa punya penghasilan sendiri tanpa harus bergantung sumbangan, mereka seharusnya tidak punya mindset menggantungkan diri pada sumbangan,” jelas David.

Startup yang dibentuk sekitar tiga tahun lalu ini sudah bekerja sama dengan 680 perusahaan di berbagai negara dan produk-produknya dipasarkan di Eropa, Amerika dan Asia. "Saya senang bekerja di bidang ini, karena ini bukan hanya terkait diri sendiri tetapi kami memberi dampak baik untuk lingkungan maupun sosial. Ini bukan masalah uang saja,” ujar David yang berusia 27 tahun.

Pengganti kulit dan materi bangunan dari jamur

Mencari solusi bagi problematika sampah juga menjadi salah satu pendorong bagi co-founder startup Mycotech Adi Reza Nugroho. Startup yang bermarkas di Bandung ini menggunakan limbah pertanian seperti kelapa sawit atau tebu yang dibantu dengan akar jamur mycelium untuk membuat material pengganti kulit dan papan untuk industri bangunan.

"Ini sangat penting karena industri fashion adalah salah satu penyumbang atau kontributor terbesar di dunia, yang pertama dari kulit sendiri, proses penyamakan menggunakan logam berat, dan banyak di Indonesia yang tidak mempunyai proses pengolahan, jadi limbahnya dibuang begitu aja,” jelas Adi Reza yang berusia 30 tahun. Ia juga menambahkan, bahwa sapi yang terutama diternak untuk kulitnya adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar.

Membuka kesempatan ekspor karena ramah lingkungan

Dengan produk pengganti kulit yang ramah lingkungan, Mycothech juga ingin turut mempromosikan mode yang etis. Melalui kerja sama dengan berbagai desainer, kulit yang berasal dari jamur ini sudah bisa dipakai dalam produk tas, dompet, sepatu serta jam tangan. Beberapa merk atau disainer Indonesia juga merasa terbantu dengan adanya alternatif kulit ini, karena selama ini mereka tidak bisa ekspor ke beberapa negara, dimana produk kulit dari Indonesia dilarang karena proses penyamakan dan pengolahan limbah yang buruk, demikian dijelaskan co-founder Mycothech pada acara di Berlin. Sekarang produk-produk disainer ini bisa go internasional.

"Kami ingin menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa ada startup Indonesia yang fokus pada lingkungan, dan pasarnya bukan hanya di Indonesia tetapi juga di Eropa,” ujar Adi Reza. Ia juga menceritakan, bahwa sebagai perusahaan Mycotech mempunyai beberapa visi sosial dan lingkungan yang penting, seperti berapa banyak petani yang bisa dilibatkan, berapa banyak limbah yang bisa dimanfaatkan lebih lanjut dan berapa besar jejak karbon mereka.

"Aspek sosial dan lingkungan adalah dua hal yang ingin kami capai dan kami hitung setiap tahunnya. Misalnya untuk jejak karbon, kami menghitung listrik yang digunakan atau apakah saya dan pegawai ke kantor pakai kendaraan pribadi. Semakin rendah, semakin bagus tentunya dan kami mencari tahu, bagaimana caranya di masa depan di kurangi lagi,” papar Adi Reza.

Adi Reza Nugroho
Adi Reza Nugroho, co-founder MycotechFoto: DW/A. Gollmer

Menciptakan lapangan pekerjaan bagi bidan dan perawat

Sementara itu, perubahan sosial melalui pekerjaan merupakan motivasi besar bagi Kristina Sembiring yang datang ke Berlin untuk memperkenalkan startupnya, yaitu aplikasi pemesanan jasa medis MOI. Dengan aplikasi ini orang bisa memesan bidan atau perawat untuk datang ke rumah atau mendampingi di rumah sakit. Tentunya layanan seperti ini bisa membuat keseharian banyak orang terutama di kota-kota besar lebih nyaman. Tetapi bukan pelanggan saja yang bisa mendapat keuntungan. "MOI hadir untuk membantu para tenaga kesehatan di Indonesia yang belum sejahtera,” jelas Christina

"Menurut data yang kami punya setiap tahun lebih dari 100.000 bidan dan perawat lulus tapi 30-40% menganggur di tiga tahun pertama,” papar bidan yang sebelumnya juga memberikan pelatihan untuk bidan, perawat dan dokter di sekeliling Indonesia. "Sayang sekali sekarang belum banyak yang memperhatikan keluhan teman-teman saya. Jadi tanpa menunggu ada yang berbuat sesuatu kami membuat digital platform,” lanjutnya.

Dengan bergabung MOI, para bidan dan perawat mendapatkan akses ke berbagai pelatihan secara cuma-cuma untuk menambah kompetensi mereka, contohnya perawatan luka bagi penderita diabetes atau pelatihan mind therapy dan yoga bagi para bidan. "Dan yang paling penting adalah membuat mindset, bahwa mereka melayani keluarga. Itu nilai yang ingin kami tanamkan. Supaya pasien benar-benar bisa dirawat seperti pasien VIP. Sekalipun mereka di rumah sendiri,” tutur Kristina Sembiring.

Yohanna, Kristina Sembiring und Lusi Fitriyanti
Kristina Sembiring (tengah), pendiri MOIFoto: DW/A. Gollmer

Permintaan dari luar negeri bermunculan

Pada setiap pemesanan tim MOI melakukan profiling secara manual, siapa yang akan diturunkan ke pelanggan, untuk memastikan agar tenaga profesional benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Setelah dua tahun berdiri MOI mempunyai 300 klinik bidan mitra di Medan saja, dan 800 bidan dan perawat anggota di Medan, Palembang dan Jakarta. Permintaan pengiriman perawat sekarang sudah datang dari Jepang, Korea dan Jerman.

Untuk bergerak lebih cepat dan lebih besar Kristina mengakui memang dibutuhkan pendanaan lebih. Beberapa investor sudah tertarik. "Tapi ini bukan hanya terkait uang,” ujar wanita asal Mendan ini. "Kami juga ingin mendapatkan investor selayaknya suami, yang sehati, yang bisa membawa kita berkembang sama-sama.” (hp)