1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Olimpiade Beijing dan Kerusuhan di Tibet

Mathhias von Hein17 Maret 2008

Tiba-tiba saja, Tibet jadi pusat perhatian. Pemerintah Cina, yang berusaha menghindari pemberitaan negatif menjelang olimpiade, sekarang harus berhadapan dengan isu pelanggaran hak asasi di Tibet.

https://p.dw.com/p/DQCn
Demonstrasi menentang penindasan Tibet di depan kedutaan besar Cina di Berlin, JermanFoto: AP
Dengan penyelenggaraan pesta olimpiade, Cina ingin tampil sebagai sebuah negara modern dan berdiri sejajar dengan negara-negara besar dunia. Selama 30 tahun, negara ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi untuk memoles citra barunya. Tapi saat ini, publik dunia tidak tertarik pada cerita tentang stadion-stadion megah, yang direncanakan menyuguhkan gambaran betapa harmonisnya kehidupan masyarakat Cina. Justru gambar-gambar para demonstran berjubah merah di Tibet yang jadi sorotan. Cina dengan brutal menindas segala bentuk aksi protes, sekalipun berusaha mengeluarkan pernyataan-pernyataan resmi yang terdengar ramah. Gambar-gambar dari kerusuhan dan aksi pembakaran di Tibet memprihatinkan. Eskalasi kekerasan ini adalah hasil dari penindasan paranoid terhadap bagian masyarakat yang punya pandangan berbeda dari pemerintah. Tindakan brutal aparat keamanan terhadap biksu yang tadinya berpawai dengan damai, akhirnya membuat masyarakat Tibet marah. Rasa frustasi yang sudah mendekam sejak lama meledak dalam aksi-aksi kekerasan di ibukota Tibet, Lhasa. Aksi kekerasan ini juga ditujukan pada para pendatang dari Cina yang dianggap elemen asing oleh warga Tibet. Pimpinan Cina di Beijing tidak lelahnya memuji apa yang mereka sebut kemajuan ekonomi di Tibet. Memang statistik pertumbuhan di kawasan itu cukup mengagumkan. Sayangnya, hasil pertumbuhan tidak dinikmati oleh warga Tibet. Mereka hanya jadi semacam pajangan eksotis untuk para turis. Pemerintah pusat di Beijing memang melaksanakan banyak hal untuk memperbaiki kondisi di kawasan itu. Kehidupan warga Tibet di bawah kekuasaan spiritual jaman dulu juga bukan kehidupan sejahtera sebagaimana yang sering digambarkan secara romantis oleh banyak pengunjung dan penduduk di negara-negara Barat. Jadi pemerintah Cina juga merasa bingung, mengapa warga Tibet tidak berterimakasih. Duduk perkaranya jelas: warga Tibet tidak ingin dikuasai Cina. Mereka dulu tidak pernah ditanya, sekarang pun tidak. Orang yang paling berkuasa di Tibet adalah sekretaris Partai Komunis Cina. Jabatan ini selalu diisi oleh etnis Cina. Presiden Cina saat ini, Hu Jintao, juga sudah pernah mengisi jabatan ini. Sebagai sekretaris partai untuk Tibet, tahun 1989 ia bertanggung jawab atas penindasan berdarah aksi protes massal warga Tibet ketika itu. Sekarang, pemerintah Cina tidak bisa bertindak sebebas dulu lagi. Sekarang sudah ada telefon genggam dan internet. Banyak pendatang yang berkunjung ke Tibet, jadi ada cukup banyak saksi mata. Pemerintah Cina akan berusaha keras meredam gelombang protes dengan segala cara, juga dengan menggunakan kekerasan. Boikot terhadap olimpiade adalah cara yang salah, pimpinan spiritual Tibet Dalai Lama yang hidup di pengasingan juga menentang boikot. Yang perlu sekarang adalah mendesak pemerintah Cina memperhatikan hak asasi manusia. Karena apa yang selama ini ingin dihindari Cina, yaitu menghubungkan politik dan situasi hak asasi dengan pesta olimpiade, sekarang tidak terhindarkan lagi. (hp)