1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Konferensi Uni Eropa-Afrika, Konferensi di Balik Pintu Tertutup

Johannes Beck10 Desember 2007

Sebetulnya KTT di Lissabon bisa menjadi kesempatan baik untuk berdiskusi secara terbuka tentang hak asasi manusia yang kerap terinjak-injak di berbagai negara Afrika.

https://p.dw.com/p/CZpv
Foto: Montage DW / AP

Untuk konferensi pers telah disiapkan 31 ruangan, dan hampir semuanya tidak digunakan selama dua hari. Situasi ini menjadi pertanda jelas. KTT antara Uni Eropa dan Afrika hampir seluruhnya berlangsung di ruang tertutup. Para politisi hanya kadang-kadang memberikan pernyataan singkat bagi wartawan. Hanya sedikit politisi yang menyempatkan diri untuk memberikan penjelasan panjang lebar. Diantaranya Perdana Menteri Spanyol, José Luis Zapatero, juga Perdana Menteri Tanjung Verde, José Maria Neves, dan Presiden Senegal, Abdoulaye Wade.

Bagian terpenting KTT sendiri, yaitu diskusi di ruang utama antara politisi dari kedua benua, diadakan secara tertutup sepenuhnya. Tidak ada kamera, tidak ada mikrofon dan tidak ada naskah pidato. Jika perundingan transparen, tentunya berbeda. Sayang sekali, karena KTT di Lissabon sebenarnya bisa menjadi kesempatan baik untuk berdiskusi secara terbuka tentang hak asasi manusia yang kerap terinjak-injak di berbagai negara Afrika. Ini juga kesempatan untuk menginformasikannya secara lebih luas. Misalnya situasi di Darfur, Simbabwe, Somalia, Anggola, Eritrea, dan masih banyak lagi.

Meskipun demikian, berbeda dengan kekhawatiran sebelumnya, Uni Eropa tidak sepenuhnya mengecualikan tema hak asasi. Pada perundingan dalam rangka KTT, Eropa menekankan kepada Presiden Sudan Omar Al Bashir bahwa pihaknya harus mengambil tindakan lebih banyak, untuk mendukung pasukan perdamaian dari Uni Afrika dan PBB. Sementara Kanselir Jerman, Angela Merkel menyatakan dengan jelas, bahwa situasi hak asasi di Zimbabwe sama sekali tidak dapat diterima.

Itu memang kemajuan, dibanding dengan KTT Uni Eropa dan Uni Afrika tujuh tahun lalu. Namun demikian, jika masyarakat umum lebih diikutsertakan, tentunya lebih baik. Jarang sekali, Eropa menerima begitu banyak diktaktor sebagai tamunya. Sangat jarang, Eropa mendapat kesempatan untuk menyatakan kepada Afrika, bahwa Eropa menjunjung tinggi hak asasi, demokrasi dan negara hukum.

Sisi negatif KTT di Lissabon adalah upaya Eropa untuk mengecualikan diskusi tentang kesepakatan perdagangan bebas atau Economic Partnership Agreements, yang disingkat EPA. Kesepakatan itu suah direncanakan. Beberapa negara Afrika menggunakan kesempatan di Lissabon untuk menegaskan kepada Eropa, bahwa mereka tidak setuju dengan cara Eropa berunding. Presiden Senegal, Abdoulaye Wade bahkan menyatakan kesepakatan ekonomi gagal sepenuhnya, dan menuntut diadakannya perundingan yang baru. Bagi wakil-wakil Uni Eropa, yang sampai akhir masih bersikap optimis, itu ibaratnya tamparan.

Tetapi tamparan itu memang pantas diterima para wakil Uni Eropa. Karena di balik kesepakatan perdagangan bebas, Uni Eropa berusaha mengadakan perundingan, misalnya soal kemungkinan ikutserta dalam pasar bidang jasa layanan di Afrika. Padahal dalam Organisasi Perdagangan Dunia – WTO masalah tersebut tidak didiskusikan lagi. Dalam sebuah kerjasama, perbedaan pendapat seperti itu harus dirundingkan antar mitra yang sejajar. Dan kedua belah pihak harus saling menerima kritik. Bagi Eropa hal ini berkenaan dengan kesepakatan ekonomi, sementara untuk Afrika masalahnya berkaitan dengan demokrasi dan hak asasi.