1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Duel Ketiga McCain-Obama di Televisi

Christina Bergmann (DW Washington) 16 Oktober 2008

Banyak anggapan Obama memenangkan duel verbal itu. Tetapi John McCain pastilah akan terus berjuang walaupun posisinya sudah terpojok.

https://p.dw.com/p/FbOf
Duel verbal antara Barack Obama dan John McCain di Hofstra University, Hempstead, N.Y.Foto: AP

Isi dari ketiga perdebatan di televisi antara kedua kandidat presiden itu bukan merupakan kejutan. Siapa yang mengikuti perkembangan kampanye pemilu di AS selama ini, sudah tahu mengenai posisi Barack Obama dari Partai Demokrat dan John McCain dari Partai Republik. Misalnya dalam soal perpajakan, kesehatan dan energi. Tetapi seluruhnya empat setengah jam perdebatan di televisi itu, juga memperjelas perbedaan dasar dari watak kedua pria yang ingin menjadi presiden AS.

Barack Obama, pengalamannya di bidang politik memang masih sedikit, tetapi tinggi ambisinya untuk menjadi presiden Afro-Amerika yang pertama. Dalam perjalanan karirnya dia hanya melakukan sedikit kesalahan dan dapat belajar dengan cepat. Kalau pada perdebatan pertama dia banyak membenarkan John McCain, tetapi pada perdebatan kedua sudah tidak dilakukannya lagi. Dia tampil tenang, obyektif, realistis dan mantap. Itu sudah cukup, dan dalam minggu-minggu terakhir dukungan pemilih terhadap dirinya nampak semakin besar.

Berbeda halnya dengan John McCain. Keunggulan terhadap Obama yang diraihnya dalam sidang partai Partai Republik di St. Paul, tidak berhasil dipertahankannya. Sebab John McCain punya masalah. Dia bangga menyebut dirinya sebagai suara yang berlawanan arus dengan basis partainya dalam banyak hal. Selain itu dia juga menjalin aliansi dengan politisi independen dan demokrat. Tetapi dia adalah kandidat dari Partai Republik. Jadi kampanye pemilunya senantiasa diwarnai keterpilahan.

McCain berusaha memikat basis Partai Republik dengan menjadikan Sarah Palin, gubernur ultra-konservatif dari Alaska sebagai calon untuk jabatan wakil presiden. Tetapi hal itu ibaratnya menampar para pemilih independen. Kalau dalam kampanye pemilu Palin menyamakan Barack Obama dengan teroris, sebaliknya McCain menyebutkan saingannya sebagai orang terhormat.

Perpecahan dan pesan yang saling bertolak belakang itu pun terasa jelas dalam perdebatan politik. McCain tidak dapat menyamai sikap tenang Obama. Ia mencoba untuk menyepelekan Obama, tapi itu justru menimbulkan kesan yang buruk. Sikap sopan yang ditunjukkannya, tidak diterima oleh partainya sendiri. McCain kemudian bersikap menyerang, tetapi tampak tidak mantap. Masalahnya dia terlalu memperhatikan masalah yang kecil-kecil dan tidak memanfaatkan hal-hal yang bisa diserangnya pada Obama, padahal itu ada. Seorang presiden harus punya kemampuan itu.

Christina Bergmann
Christina Bergmann Studio Washington

Pemilu memang belum berlangsung dan Obama pun belum menang. Keunggulan Obama mungkin akan mengecil kembali sampai pemilu diselenggarakan. Itu berdasarkan pengalaman masa lalu. Juga masih belum pasti, apakah mayoritas warga Amerika benar-benar mau memilih seorang tokoh kulit berwarna sebagai presiden. Kalau mereka mencoblos Partai Republik, artinya itu hanyalah karena menentang Obama tetapi bukan karena memang hendak memilih McCain. Yang jelas McCain tidak bisa mengandalkan hal itu. Jadi dia akan tetap berjuang, walaupun posisinya sudah terpojok. Masalahnya tiga kesempatan untuk membuat warga Amerika memihak pada dirinya, telah berlalu. (dgl)