1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Islamabad Terror

Thomas Bärthlein22 September 2008

Setelah serangan bunuh diri di Islamabad, apakah pemerintah Pakistan dalam perang anti teror akan meningkatkan operasi militer atau harus dicari jalan secara politis?

https://p.dw.com/p/FMlH
Presiden Pakistan Asif Ali Zardari dituding warganya sebagai boneka WashingtonFoto: picture-alliance/ dpa

Serangan bunuh diri yang dilancarkan terhadap Hotel Marriot di Islamabad, ibarat puncak dari sebuah gunung es. Betapa rumitnya situasi keamanan di Pakistan, terlihat dengan jelas di kawasan di sepanjang perbatasan dengan Pakistan, yang sejak lama sebagian besar wilayahnya dikuasai kelompok Taliban. Secara militer kelompok Taliban dan Al Qaida di bagian barat laut Pakistan tidak berhasil dikalahkan, seperti halnya di Afganistan dalam waktu tujuh tahun belakangan. Operasi militer yang dilancarkan secara besar-besaran untuk menciptakan keamanan dari aksi teror malah mendapat reaksi, dengan rangkaian serangan bom. Contoh ini sesuai dengan perkembangan terakhir.

Di pekan belakangan, Amerika Serikat meningkatkan tekanan di kawasan yang berbatasan dengan Afganistan. Presiden Bush memberikan lampu hijau untuk melancarkan operasi militer dengan memasuki wilayah Pakistan. Operasi ini menimbulkan dampak yang buruk. Kurang terpercayanya laporan dari dinas rahasia, serangan tentara Amerika Serikat dan juga tentara Pakistan sering tidak tepat sehingga mengenai sasaran warga sipil yang tidak bersalah. Menurut laporan yang layak dipercaya, ratusan ribu orang melarikan diri dari kawasan pertempuran.

Sementara itu, situasi politik di Pakistan sama sekali tidak mendukung dilancarkannya aksi militer yang sesungguhnya. Sikap anti Amerika Serikat di Pakistan semakin meningkat dan meluas. Kemungkinan sebagian besar warga Pakistan meyakini, bahwa dengan berkedok perang anti teror, Amerika Serikat sesungguhnya melancarkan perang terhadap dunia Islam. Banyak tentara Pakistan yang memandang pejuang Taliban bukan sebagai musuh, melainkan lebih memandangnya sebagai warganya sendiri. Tentara di bawah mantan Presiden Pervez Musharraf menyalahgunakan perang anti teror untuk menghilangkan tanpa jejak ratusan warga Pakistan, tanpa melewati proses pengadilan. Tentara dan Dinas Rahasia memainkan peranan ganda, dengan juga mendukung kelompok ekstremis.

Dengan demikian apa yang berkaitan dengan perang melawan teroris, ditanggapi dengan sinis. Meskipun demikian, pada hakekatnya tidak sulit untuk mencari kemungkinan sebuah strategi politik alternatif untuk menanggapi situasi yang berkembang. Dalam hal ini, bukan menerima kelompok Taliban, melainkan mengucilkan politik yang radikal. Tak banyak warga di Pakistan yang tertarik dengan politik . Ini ditunjukkan dalam pemilihan selama ini. Yang berkembang adalah yang berkaitan dengan negara hukum. Untuk membentuk aliansi demokrasi yang luas dengan kekuatan moderat, terlebih dahulu harus dijelaskan, bahwa perang melawan teroris bukan dengan petunjuk dan pengarahan dari luar negeri. Dan itu harus dilakukan dengan sarana yang dimiliki negara hukum. Setelah pemilihan parlemen, terbuka peluang untuk menjalin koalisi besar di Pakistan.

Tapi Presiden yang sekarang, Zardari, menyia-nyiakan peluang itu, ketia ia menolak untuk kembali menempatkan pengadilan yang independen. Dan Nawaz Sharif hengkang dari koalisi. Sebelum Zardari terpilih menjadi presiden, sebagian besar warga Pakistan menilai Zardari sebagai boneka Washington, sama seperti pendahulunya Pervez Musharraf atau seperti Presiden Afganistan Hamid Karsai, yang hadir sebagai tamu kehormatan ketika Zardari dilantik menjadi Presiden Pakistan. Dengan demikian perang melawan teror dan kelompok ekstremis semakin mencemaskan.(ar)