1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Demokrasi Thailand Mati, Hidup Sang Raja

3 Desember 2008

Hanya wisatawan yang dapat bernafas lega, setelah pelaku pendudukan bandara menarik diri. Namun Thailand sendiri tetap berada di ambang konflik dalam negeri besar berikutnya. Komentar redaktur DW Bernd Musch-Borowska

https://p.dw.com/p/G8it
Suasana demonstrasi anti pemerintah di bandara Suvarnabhumi Bangkok (25/11)Foto: AP

Mahkamah Konstitusi Thailand membubarkan partai pemerintah, Perdana Menteri mengundurkan diri, dan mereka yang menduduki bandara mengakhiri aksi protesnya. Dan semua itu tanpa pengerahan polisi dengan aksi kekerasan. Dapat dikatakan sebuah penyelesaian yang bersih, walaupun dengan itu bukan berarti masalahnya benar-benar terselesaikan.

Tapi sebetulnya tidak ada yang berubah dalam komposisi mayoritas di parlemen. Dan jika pendukung aliansi rakyat mula-mula pulang ke rumah setelah aksi protes selama beberapa bulan untuk tidur, ketika terjaga mereka akan melihat bahwa kembali kubu politik yang sama yang naik ke puncak kekuasaan. Apa yang terjadi kemudian dapat dibayangkan. Karena para penentang pemerintah, dengan keputusan mahkamah konstitusi terhadap tindakannya yang tidak sesuai dengan undang-undang, merasa mendapat pembenaran.

Pendudukan bandara internasional Bangkok tidak lain daripada kekerasan dan ketidak adilan terhadap warga Thailand. Sektor pariwisata yang memiliki arti penting bagi keseluruhan ekonomi negara itu dipertaruhkan dengan darah dingin. Diduga jumlah wisatawan ke Thailand tahun depan paling banyak hanya 50 persen dari jumlah yang biasanya. Dan itu terjadi pada saat yang sudah diramalkan sebagai masa yang lebih buruk. Para pengamat memperhitungkan, satu juta lapangan kerja di bidang pariwisata di Thailand akan hilang.

Mahkamah konstitusi Thailand sekarang menyimpulkan, partai politik yang tidak dapat diajak bicara berarti mengubur sistem demokrasi di Thailand. Tapi Mahkamah sendiri membantu hal itu terjadi. Mereka menyetujui sikap tidak bertanggung jawab para pelaku pendudukan bandara. Tuduhan pembelian suara dalam pemilihan parlemen cukup berat dan kemungkinan besar dapat dibuktikan hal itu terjadi pada seluruh partai di Thailand, jika orang menelusurinya secara mendasar. Dalam sebuah masyarakat dimana jurang antara kaum kaya di kota-kota dan kaum miskin di kawasan pedesaan sangat besar, dimana seorang milyarder dari Bangkok mampu membeli mayoritas di parlemen, dalam masyarakat semacam itu keputusan yang jauh lebih mendalam lebih penting daripada sekedar melarang sebuah partai.

Di Thailand terjadi persaingan kelas antara kelompok elit yang mapan, para pebisnis dan akademisi dari Bangkok yang bersama dengan pihak kerajaan merasa takut terancam kekuasaan politiknya, jika masyarakat umum di negara itu melaksanakan hak demokrasinya. Dan masyarakat umum tidak akan peduli dengan keputusan pengadilan, yang dianggap sebagai persekongkolan dari pihak penguasa. Di pihak lain, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi sudah menunjukkan kepada seluruh negara dan dunia bahwa orang dapat meraih sesuatu jika orang bertekad bulat dan cukup berani.

Jika orang mencari pemberi dana dan dalang di belakang pendudukan bandara, di Thailand tidak ada yang berani membuka suara. Di negara itu berlaku peraturan, siapa yang menghina pihak kerajaan diancam hukuman penjara. Hari Selasa Raja Thailand menyampaikan pidato sehubungan acara militer parade tahunan. Tapi monarki yang paling lama memerintah di dunia ini tidak menyinggung masalah krisis politik. Demokrasi di Thailand sudah mati, hidup sang raja.